Oleh: Sintayawati Wisnigraha, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Ada yang berbeda di penghujung bulan Maret tahun ini. Tanggal 31 Maret adalah batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang menjadi puncak  hajatan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Ya, ‘hajatan’ penerimaan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.

Meskipun DJP sudah mencanangkan penggunaan e-Filing sejak tahun 2007 dan berbagai upaya sosialisasi kemudahan penggunaan e-Filing yang bisa dilakukan secara mandiri oleh wajib pajak kapan saja, di mana saja, namun sampai dengan tahun 2019, masih saja tampak pemandangan antrean WP yang akan melaporkan SPT nya secara elektronik di tenda-tenda atau Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) Kantor Pelayanan Pajak (KPP).

Kebanyakan wajib pajak merasa lebih yakin ketika mengisi SPT elektroniknya di depan petugas pajak, tetap di Kantor Pajak sehingga tenda-tenda di KPP selalu tampak penuh seperti layaknya tempat hajatan.

Pada 2020 ini, sejalan dengan upaya pemerintah dalam pencegahan penyebaran virus Corona (COVID-19), mulai tanggal 16 Maret sampai dengan 21 April 2020, pelayanan perpajakan yang dilakukan di TPT pada KPP di seluruh Indonesia untuk sementara ditiadakan.

Peniadaan sementara pelayanan perpajakan yang dilakukan secara langsung ini, termasuk juga pelayanan perpajakan yang dilakukan di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTST) dan Layanan Luar Kantor (LDK) baik yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak sendiri maupun yang bekerja sama dengan pihak lain.

Perubahan model layanan perpajakan yang semula masih semi otomatis, masih terdapat interaksi tatap muka langsung antara wajib pajak dan fiskus, menjadi tanpa tatap muka tentu saja membutuhkan adaptasi bagi kedua belah pihak. Sebagian pegawai DJP melaksanakan work from home atau bekerja dari rumah dengan mengakses aplikasi terkait pelaksanaan tugas melalui Virtual Private Network (VPN).

DJP sudah memberikan Panduan Pelayanan Perpajakan selama Periode Pencegahan Covid-19 yang dapat diakses di laman pajak.go.id. Panduam Layanan ini antara lain meliputi pelaporan SPT Tahunan, permintaan aktivasi EFIN, layanan EFIN, pelaporan SPT Masa, permohonan NPWP/PKP, sertifikat elektronik, pemeriksaan, pengajuan upaya hukum dan VAT Refund For Tourists.

Layanan perpajakan dilakukan dengan mengoptimalkan aplikasi yang ada di laman pajak.go.id, telepon, email, chat, maupun saluran komunikasi online lainnya. 

Call center Direktorat Jenderal Pajak (Kring Pajak) juga dialihkan sementara, dengan  layanan konsultasi melalui nomor telepon 1500200 ke kanal-kanal alternatif seperti :akun Twitter @kring_pajak; email  untuk informasi perpajakan; email pengaduan@pajak.go.id untuk layanan pengaduan; dan Live Chat pada situs web www.pajak.go.id.

Situasi darurat akibat pandemi Covid-19 yang harus dialami baik di Indonesia maupun di seluruh dunia mengharuskan banyak perubahan dalam melaksanakan aktivitas keseharian. Jika belakangan ini banyak diskusi publik tentang disrupsi akibat revolusi industri 4.0 dunia menghadapi tatanan baru peradaban seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

Kemunculan superkomputer, robot pintar, kendaraan tanpa pengemudi, dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) menandai hadirnya era digital baru. Selain revolusi industri 4.0 itu sendiri, maka Pandemi Covid-19 saat ini menjadi akselerator  yang mempercepat ‘shifting’ (meminjam istilah Rhenald Kasali dalam bukunya “The Great Shifting”).

Pencegahan penyebaran virus Covid-19 dengan social distancing ataupun physical distancing mendorong shifting atau perpindahan platform kehidupan ke platform digital.

Di balik keprihatinan atas pandemi Covid-19, percepatan shifting ini bisa jadi merupakan blessing in disguise bagi DJP, sebuah berkah tersembunyi, Mengapa demikian?

Dalam salah satu inisiatif strategis Proses Bisnis DJP sebagai pelaksanaan Reformasi Perpajakan Jilid III akan diimplementasikan kemudahan layanan perpajakan dengan program 3 C (Click, Call, Counter) mulai tahun 2020 ini.

Pelayanan berbasis web dan call center di DJP bukanlah hal yang baru. Setidaknya sudah terdapat 31 jenis permohonan layanan DJP yang dapat dilakukan secara webbase. Namun sayangnya hingga saat  ini layanan tersebut masih  tersebar dalam beberapa alamat dan belum terintegrasi dalam satu  portal.

Penyempurnaan proses bisnis pelayanan (to-be) DJP yang merupakan bagian dari program Reformasi Perpajakan III telah menentukan bahwa pelayanan DJP ke depannya akan menerapkan layanan berbasis teknologi informasi dengan prinsip layanan 3C (Newsletter Reformasi Perpajakan, edisi 6/2019).

Pada layanan 3C itu wajib pajak akan diberikan pilihan layanan melalui 3 cara yaitu pelayanan berbasis web, pelayanan melalui call center, dan pelayanan konvensional melalui Tempat Pelayanan Terpadu (TPT).

Dari ketiga jenis  layanan yang ada, wajib pajak  akan didorong untuk  lebih memilih pelayanan berbasis web dan call center terlebih dahulu, kemudian baru  pelayanan melalui TPT. Dengan adanya pelayanan berbasis web dan call center maka pelayanan dapat dilakukan lebih cepat, tepat, dan akurat.

Kondisi darurat selama satu bulan lebih yang memaksa perpindahan platform layanan perpajakan ini secara tidak langsung akan menjadi masa latihan baik bagi ajib pajak maupun pegawai DJP. Mengubah pola pikir melalui sosialisasi akan lebih sulit dibandingkan kondisi nyata yang memaksa seseorang mau tak mau harus berubah.

Pada saat 3C diimplementasikan nanti, bayangkan wajib pajak bisa mengurus  soal pajak cukup lewat sentuhan jari di ponsel, bisa dilakukan kapan pun dan di mana pun tanpa perlu datang ke kantor pajak yang memerlukan  waktu khusus. Tentu membawa dampak positif jika di tahun 2020 ini saja wajib pajak sudah cukup terlatih untuk itu.

Bisa jadi kalau mengurus pajak semakin dipermudah, masyarakat akan lebih patuh melaksanakan kewajiban pajaknya, dan rasa kebersamaan selama menghadapi masa-masa pandemi Covid-19 juga bisa menumbuhkan rasa nasionalisme wajib pajak untuk ikut berkontribusi pada negeri ini. 

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Al-Qur’an, Surat Alinsyirah ayat 6)

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.