Oleh: Endang Dwi Ari Surjaningsih, pegawai Diretkorat Jenderal Pajak

Ciri dan corak sistem perpajakan Indonesia yang digulirkan sejak reformasi pajak pada tahun 1983  dan ditandai dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), adalah:

  1. pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
  2. tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat wajib pajak sendiri. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian, dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan wajib pajak berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
  3. anggota masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terutang (self assesment), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana, dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat wajib pajak.

            Berdasarkan ketiga prinsip pemungutan pajak tersebut, wajib pajak diwajibkan menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga penentuan penetapan besarnya pajak yang terutang berada pada wajib pajak sendiri.

Sistem pemungutan pajak yang ditentukan menurut undang-undang ini, memberi kepercayaan lebih besar kepada anggota masyarakat wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Dalam UU KUP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) menyebutkan bahwa terdapat empat pilar yang menjadi standar kepatuhan wajib pajak yaitu registration, lodgment, correct reporting, dan on-time payments.

Kepatuhan sukarela (voluntary compliance) pada dasarnya merujuk pada prinsip bahwa wajib pajak mematuhi sistem perpajakan yang berlaku dengan mengisi secara jujur dan benar serta melaporkan kewajiban pajaknya setiap tahun. Sukarela (voluntary) mengandung arti bahwa setiap wajib pajak diharapkan menyiapkan/menghitung dan melaporkan pajaknya sendiri sesuai ketentuan perundang-undangan tanpa ada keterlibatan pemerintah.

Prinsip self assessment yang dianut sistem perpajakan di Indonesia diarahkan pada terciptanya kepatuhan sukarela wajib pajak atas kewajiban perpajakannya sehingga pada akhirnya mampu mendorong penerimaan negara yang diperlukan untuk pembiayaan pembangunan.

Wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok wajib pajak.

Setelah terdaftar, wajib pajak harus menghitung sendiri kewajiban pajaknya yang seharusnya terutang sesuai ketentuan perundangan, dan membayar jumlah tersebut ke kas negara, kemudian melaporkan pajak yang telah dihitung dan dibayar tersebut ke DJP dengan menggunakan Surat Pemberitahuan.

UU KUP mendefinisikan Surat Pemberitahuan sebagai surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Setiap wajib pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor DJP tempat wajib pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana bagi wajib pajak untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:

  1. pembayaran atau pelunasan Pajak Penghasilan yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
  2. penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak;
  3. harta dan kewajiban; dan/atau
  4. pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.          
  5. penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang serta untuk melaporkan tentang pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran dan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  6. pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkan sebagai pemotong/pemungut pajak .

Yang dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah mengisi formulir Surat Pemberitahuan, dalam bentuk kertas dan/atau dalam bentuk elektronik, dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk pengisian yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sementara yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi Surat Pemberitahuan adalah sebagai berikut:

  1. benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
  2. lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan; dan
  3. jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan.

Adapun batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang adalah sebagai berikut:

  1. untuk Surat Pemberitahuan Masa PPh bagi pemotong/pemungut PPh, paling lama 20 hari setelah akhir Masa Pajak dan Surat Pemberitahuan Masa PPN bagi Pengusaha Kena Pajak disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak. ;
  2. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan PPh wajib pajak orang pribadi paling lama 3 bulan setelah akhir Tahun Pajak dan untuk wajib pajak badan paling lama 4 bulan setelah akhir Tahun Pajak.

Data dalam Laporan Tahunan 2018 DJP per 10 September 2019 menunjukkan jumlah wajib pajak terdaftar di DJP adalah 42.479.485 dengan proporsi 90,98% Orang Pribadi, 7,82% Badan dan 1,2% Bendahara.

Dari jumlah wajib pajak tersebut, 17.653.046 merupakan wajib pajak yang wajib SPT Tahunan PPh. Namun demikian dari keseluruhan wajib pajak yang wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh tersebut, baru 71,1% yang patuh menyampaikan SPT Tahunan atau 12.551.444 wajib pajak.

Data tersebut baru menunjukkan jumlah pemenuhan kewajiban terkait pelaporan SPT Tahunan, sementara kebenaran dan kejelasan isi/materi yang dilaporkan wajib pajak diperlukan penelitian lebih lanjut oleh DJP.  DJP sebagai pihak yang berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan wajib pajak di Indonesia harus selalu berusaha meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.

Salah satu upaya DJP untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dan memberikan kemudahan Wajib Pajak dalam menunaikan kewajibannya, adalah dengan melakukan berbagai pengembangan di bidang teknologi diantaranya dengan adanya sistem single login. Hanya dengan satu kali login, Wajib Pajak akan memperoleh akses ke layanan digital yang disediakan oleh DJP seperti pelaporan, pembayaran, dan layanan administrasi lainnya. Transformasi kebijakan digital yang dilakukan DJP diharapkan selain untuk mempermudah Wajib Pajak juga dapat mendeteksi ketidakpatuhan, mempersempit kesempatan tidak patuh, dan memperluas cakupan pengawasan.

Tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya yang belum mencapai 100%, boleh jadi disebabkan oleh masih besarnya jumlah Wajib Pajak yang tidak paham pajak memilih untuk tidak memenuhi kewajiban karena menganggap pajak itu rumit, ketidakpercayaan pada pemanfaatan hasil pajak, serta adanya perilaku aparat pemerintah yang mengecewakan. Kepatuhan pajak akan tercipta jika wajib pajak memiliki moral pajak (tax morale) yaitu motivasi intrinsik yang timbul dari kewajiban moral untuk membayar pajak. Bahwa kemajuan suatu negara membutuhkan biaya yang tidak sedikit, dan pajak adalah salah satu sumber pembiayaan Negara. Dukungan Wajib Pajak dalam pembangunan dapat diwujudkan melalui niat dan itikad baik dalam menunaikan kewajiban perpajakannya secara sukarela, jujur, dan tepat waktu.

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.