Oleh: Rifky Bagas Nugrahanto, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Permulaan tahun 2020, Indonesia harus menghadapi perubahan kondisi alam yang sangat drastis.  Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pun mengimbau masyarakat untuk lebih waspada menghadapi cuaca ekstrem, khususnya bencana hidrometeorologi akibat curah hujan yang tinggi. Masyarakat diharuskan menghindari tempat-tempat yang dapat menimbulkan risiko ancaman, terutama masyarakat yang tinggal di daerah-daerah yang dialiri oleh aliran sungai.  Demikian juga bagi warga yang tinggal di daerah rendah dan sekitar bukit yang rawan longsor.

Bencana sendiri dapat didefinisikan dalam berbagai arti baik secara normatif maupun pendapat para ahli. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.

Bencana alam seperti banjir yang terjadi di sebagian wilayah Indonesia adalah salah satu kejadian atau serangkaian kejadian yang meningkatkan jumlah korban dan atau kerusakan, kerugian harta benda, infrastruktur, pelayanan-pelayanan penting atau sarana kehidupan. Diperlukan manajemen bencana dengan proses dinamis, berlanjut, dan terpadu untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan observasi dan analisis bencana serta pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi bencana (UU 24/2007).

Tujuan utama secara umum manajemen bencana adalah mencegah dan membatasi jumlah korban manusia serta kerusakan harta benda dan lingkungan hidup, menghilangkan kesengsaraan dan kesulitan dalam kehidupan dan penghidupan korban, mengembalikan korban bencana dari daerah penampungan/ pengungsian ke daerah asal bila memungkinkan atau merelokasi ke daerah baru yang layak huni dan aman. Selain itu, untuk mengembalikan fungsi fasilitas umum utama, seperti komunikasi/transportasi, air minum, listrik, dan telepon, termasuk mengembalikan kehidupan ekonomi dan sosial daerah yang terkena bencana, mengurangi kerusakan dan kerugian lebih lanjut, meletakkan dasar-dasar yang diperlukan guna pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dalam konteks pembangunan (University British Columbia).

Adanya mitigasi yang merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Kegiatan mitigasi dapat dilakukan melalui pelaksanaan penataan ruang, pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan, dan penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern (UU Nomor 24 Tahun 2007 Pasal 47 ayat 2 tentang Penanggulangan Bencana).

Lebih lanjut serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang (UU 24/2007) atau upaya untuk memberikan tanda peringatan bahwa bencana kemungkinan akan segera terjadi akan sangat diperlukan. Pemberian peringatan dini harus dapat menjangkau masyarakat (accesible), segera (immediate), tegas tidak membingungkan (coherent), bersifat resmi (official).

Seperti hanya yang dibangun Indonesia, yaitu Cadangan Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (InaTEWS) yang ditempatkan di Provinsi Bali. Pada tahun 2019 di Provinsi Bali telah dibangun dua shelter seismik, dan sedang disiapkan untuk instalasi dua seismograf guna memperkuat jaringan pengaman sistem peringatan dini gempabumi dan tsunami di Provinsi Bali. Dua shelter tersebut berada di Kecamatan Kintamani-Bangli dan Nusa Penida-Klungkung. Di Provinsi Bali pun akan dibangun sistem yang sama dengan InaTEWS Jakarta antara lain Sistem Pengolahan (SeisComP3) dengan fitur-fitur terbaru serta Sistem Modelling Tsunami (TOAST) yang sudah dilengkapi dengan 18.000 skenario di seluruh Indonesia (Sumber : Pemprov Bali).

Melihat dampak yang timbul akan bencana ini pun tergambarkan pula dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk menanganinya. Dalam APBN Kita bulan Desember 2019, peningkatan kinerja belanja K/L paling besar terjadi pada belanja bantuan sosial, dimana realisasinya sampai dengan 30 November 2019 mencapai 108,9 persen terhadap pagu APBN tahun 2019 terdapat tambahan kebutuhan termasuk untuk penanganan tanggap bencana. Realisasi tersebut lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 95,0 persen dari pagu APBN tahun 2018.

Kebutuhan pembangunan infrastruktur untuk tanggap bencana dan penanganannya saat ini pun dirasa cukup mendesak dan perlu disokong pendanaan yang cukup sehingga realisasinya tidak terkesan terlambat. Kebutuhan pendanaan nyata lainnya, seperti yang dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang melaporkan pembangunan Bendung Gerak di Kanal Banjir Barat untuk pengendalian banjir di Kota Semarang, Jawa Tengah.

Bendung KKB yang memiliki 4 span pintu ini dikerjakan sejak November 2017 lalu oleh kontraktor PT Adhi Karya dan PT Minarta lewat skema Kerja Sama Operasi (KSO) dengan nilai kontrak Rp 147,24 miliar. Bangunan ini juga dilengkapi dengan rumah pompa dan rumah jaga untuk operasionalisasi bendung. Salah satu perhitungan atas jumlah besar yang harus digelontorkan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur, selain biaya-biaya yang harus dipergunakan mengganti rugi atas kerusakan yang timbul.

Menurut APBN Kita bulan Desember pun, terlihat target belanja modal hingga 30 November 2019 hingga 189,34 triliun rupiah, yang di dalamnya penuh dengan kebutuhan pembangunan fisik yang secara langsung mempengaruhi perekonomian masyarakat pula. Jika semua pos pengeluaran bermuara ke APBN maka secara langsung sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran tersebut. Bukan hanya untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara namun juga mencakup kegiatan-kegiatan dalam menanggulangi bencana. Semua unsur pendapatan ini lebih dari 80% diperoleh dari penerimaan pajak.

Sehingga jika dapat dibayangkan beban pajak sangatlah besar. Apalagi kebutuhan akan tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini kembali lagi diharapkan dari sektor pajak. Sebenarnya melalui pajak, masyarakat secara langsung ikut serta berempati di dalam memberikan bantuan sosial. Dana yang dikeluarkan oleh tiap-tiap Kementerian maupun Lembaga terkait bencana, semua berasal dari pajak. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat pun diharapkan selalu konsisten dan dengan komitmen penuh jika menginginkan adanya sistem pembangunan pencegahan bencana cepat terealisasi dan dapat melindungi masyarakat secara menyeluruh.

Bukan hanya atas kepatuhan formal pelaporan pajak, namun komitmen untuk berkontribusi melalui uang pajak sangatlah diharapkan. Sehingga, dengan adanya komitmen melalui penyetoran pajak yang jujur dan sukarela, pastinya masyarakat membantu peran pemerintah dan mengurangi beban pembiayaan yang harus dipikul. Semua yang dilakukan ini bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Jika masyarakat mendukung APBN berjalan normal dan seimbang maka lewat pajaklah peran nyata itu dapat direalisasikan.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.