Media Sosial DJP, Santai Tetapi Ngena
Oleh: Devitasari Ratna Septi Aningtiyas, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Media sosial berkembang pesat akhir-akhir ini. Facebook, Twitter, Instagram, dan jejaring sosial lainnya tumbuh seiring dengan perkembangan masyakarat untuk selalu tahu atas semua hal. Juga, mesin pencari seperti Google.com telah berhasil membuat orang kecanduan.
Media sosial sejatinya merupakan wadah bagi masyarakat untuk mengekspresikan dirinya. Melalui akses terhadap media sosial, masyarakat mulai membentuk karakter diri dan memublikasikan apapun yang ia ingin bagikan kepada khalayak umum. Hal-hal publikatif ini membuat media sosial menjadi sarana penyebaran informasi yang dinilai sangat komunikatif.
Lewat media sosial, informasi yang bersifat terbuka akan diolah menjadi berita yang akan diterima oleh penggunanya berdasarkan klasifikasi penggunanya. Misalnya, si A sedang mencari informasi terkait Pajak Penghasilan, maka melalui media sosial ia akan mencari tahu bagaimana tata cara menghitung Pajak Penghasilan. Media sosial menemukan solusi atas masalah si A. Hasil pencarian di media sosial akan terklasifikasikan berdasarkan query yang diinginkan oleh penggunanya.
Peranan media sosial dalam kehidupan masyarakat dianggap mampu untuk memengaruhi penggunanya untuk meningkatkan wawasan sehingga akan mengubah cara berpikir serta bertindak. Media sosial juga berperan aktif dalam mengampanyekan aksi maupun dukungan atas suatu kasus tertentu kepada masyarakat. Melalui media sosial, pemikiran atas suatu masalah/kasus akan disebarluaskan kepada masyarakat sehingga dapat memunculkan aksi maupun gerakan pendukung bahkan kontra.
Sejurus dengan itu, Direktorat Jenderal Pajak gencar memanfaatkan media sosial sebagai salah satu sarana penyuluhan perpajakan kepada wajib pajak. Media sosial mempunyai andil besar dalam proses sosialisasi hak dan kewajiban perpajakan. Media sosial yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak telah menggunakan konsep one branding, yaitu satu informasi yang terpusat. Langkah ini diambil untuk mengantisipasi adanya hoax maupun perbedaan informasi antarunit vertikal.
Konsep ini dimulai dari adanya logo jenama (branding) Direktorat Jenderal Pajak. Logo yang mempunyai warna biru dan kuning serta berbentuk persegi melambangkan instansi yang kokoh, taat hukum, dan bersifat formal. Unsur sinergi juga tersirat dari logo ini. Logo ini digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk menyosialisasikan segala bentuk kebijakannya kepada masyarakat.
Wajib pajak dapat mengakses media sosial Direktorat Jenderal Pajak jika membutuhkan layanan perpajakan. Mulai dari Facebook, Instagram, Twitter hingga Youtube telah disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan berbagai materi perpajakan. Materi perpajakan disini dapat berupa info peraturan terbaru, pengingat batas akhir pembayaran maupun pelaporan, berita pajak terbaru, dan berbagai kegiatan perpajakan lainnya.
Sebagai contoh, di Instagram Direktorat Jenderal Pajak sering memberikan infografis mengenai pembayaran pajak menggunakan e-Billing. Tata cara lengkapnya dapat dilihat di Youtube. Wajib pajak tidak perlu repot jika masih kebingungan mengenai hak dan kewajibannya karena dapat mengakses informasinya dengan cepat di media sosial.
Juga, melalui Twitter, Kring Pajak siap sedia menjawab segala pertanyaan. Sebagai contoh, pada saat periode pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, ketika banyak wajib pajak yang ingin menyampaikan SPT melalui e-Filing. Saat wajib pajak lupa EFIN, wajib pajak tinggal mengirimkan pesan kepada Kring Pajak melalui Twitter kemudian adminstrator Twitter Kring Pajak memverifikasi dan memberikan nomor EFIN yang diperlukan.
Kemudahan lain juga dapat dilihat dengan membuka laman resmi Direktorat Jenderal Pajak yakni www.pajak.go.id. Di sana sudah tersedia berbagai macam peraturan dan formulir yang dapat diunduh, bahkan pembaruan e-Faktur pun tersedia.
Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) yang bekerja sama dengan Pusat Data dan Analisa TEMPO mengungkapkan hasil survei atas kepatuhan, keadilan, dan efisiensi pelayanan pajak tahun 2019 bahwa 75% Wajib Pajak Orang Pribadi mengetahui informasi perpajakan melalui internet. Bahkan 85% dari Wajib Pajak Orang Pribadi tersebut merupakan kaum milenial. Sedangkan untuk Wajib Pajak Badan sebesar 79% dari responden yang dilibatkan.
Untuk menarik perhatian masyarakat Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak tidak mau kaku. Santai tetapi ngena, bisa dibilang seperti itu jika melihat aktivitas media sosial Direktorat Jenderal Pajak. Caranya, dengan mengikuti perkembangan hal-hal yang viral di linimasa. Jika sedang hangat membicarakan tentang B, maka B akan dikaitkan dengan dunia perpajakan. Lebih berkesan, bukan?
Sebagai contoh, ketika linimasa media sosial sedang hangat dengan pernikahan artis A dan B, Direktorat Jenderal Pajak turut meramaikannya. Direktorat Jenderal Pajak kemudian membuat “cuitan” tentang besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak atas orang yang telah menikah dengan menambahkan desain animasi yang mirip dengan pasangan artis tersebut.
Upaya penyuluhan Direktorat Jenderal Pajak melalui media sosial ini bertujuan untuk senantiasa memberikan informasi perpajakan yang aktual dan faktual. Juga untuk memberikan pembinaan kepada wajib pajak agar pengetahuan dan keterampilan perpajakannya meningkat serta mengubah perilaku wajib pajak agar semakin paham, sadar, dan peduli dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya.
Harapan utamanya, seluruh masyarakat di negeri ini dapat memanfaatkan teknologi informasi yang akan terus berkembang sedemikian rupa, guna membangun negeri tercinta.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 1343 views