Oleh: Andreas Perkasa Zebua, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

“…and yet I’m one of the lucky ones. People are suffering, people are dying. Entire ecosystems are collapsing.”

"Dan saya adalah salah satu yang beruntung. Orang-orang menderita dan sekarat. Seluruh ekosistem sedang hancur."(Terjemahan bebas)

Sebuah kalimat yang diucapkan Gretha Thunberg dalam pidatonya di United Nations Climate Action Summit di New York beberapa waktu lalu.

Dalam pidatonya yang cukup viral tersebut, Greta Thunberg dengan lantang menyuarakan kegelisahannya terhadap krisis polusi yang sedang dialami oleh bumi. Masalah lingkungan memang terdengar sepele bagi beberapa pihak. Namun, bila saja kita meluangkan waktu tuk mengingat kondisi lingkungan di sekeliling kita dalam beberapa tahun silam, sepertinya kita bisa sepakat bahwa lingkungan kita bergerak menuju peradaban yang semakin modern. Namun tak bisa dimungkiri bahwa modernisasi seringkali erat hubungannya dengan lingkungan hidup yang tercemar, populasi tumbuhan yang berkurang, serta kondisi udara yang memburuk.

Seperti halnya rantai makanan, setiap aktivitas yang dilakukan oleh bagian masyarakat selalu berdampak dengan bagian lain dan akhirnya kan berefek pada keseluruhan masyarakat. Salah satu masalah pelik dalam problema lingkungan hidup ini adalah plastik. Penggunaan produk polimer ini memang sudah seperti kebutuhan dalam kehidupan masyarakat. Hampir setiap bagian masyarakat di dunia menggunakan plastik dalam aktivitasnya sehari-hari.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jenna R. Jambeck dari University of Georgia, Indonesia menghasilkan 3,22 juta ton sampah plastik yang tak terkelola dengan baik. Termasuk angka yang sangat besar dan menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu dari negara-negara yang menyumbangkan sampah plastik dengan masif di dunia.

Penelitian mengatakan bahwa untuk menghancurkan bahan anorganik seperti plastik, alam membutuhkan waktu 50-100 tahun. Membakar plastik pun bukanlah solusi, partikel kimia plastik yang terurai oleh panas hanya akan menjadikan udara kita semakin sarat akan racun dan polusi.

Itu mengapa, bukanlah hal yang aneh bila Kementerian Keuangan mengimbau agar setiap instansi vertikalnya untuk mulai menerapkan Kantor Ramah Lingkungan (Program Eco-Office) di Lingkungan Kementerian Keuangan. Dalam Surat Edaran Nomor SE-6/MK.1/2019, Menteri Keuangan memberikan arahan dan pedoman bagi para pejabat/pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan untuk bisa ikut berpartisipasi dalam mewujudkan kantor ramah lingkungan yang bukan sekadar berorientasi pada kinerja tapi juga meningkatkan kualitas lingkungan hidup.

Sebagai respon positif dari Surat Edaran tersebut, berbagai inovasi ramah lingkungan mulai diterapkan secara perlahan dan progresif dalam lingkungan Kementerian Keuangan. Hal ini menunjukkan bahwa masalah lingkungan hidup ini bukanlah masalah yang sepele dan perlu ditanggapi dengan serius.

Berikut adalah beberapa hal sederhana yang telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai bagian dari Kementerian Keuangan:

1. Penggunaan tumbler sebagai pengganti botol minum sekali pakai.

Air minum kemasan memang adalah hal yang sering sekali dipergunakan dalam kegiatan perkantoran. Kebiasaan baru dengan menggunakan tumbler atau botol minum sendiri bisa menimbulkan dampak positif yang sifatnya radikal dalam lingkup lingkungan.

2. Pendayagunaan dispenser di lingkungan kerja pegawai maupun pada kantor pelayanan publik.

Begitu juga dengan pendayagunaan dispenser dalam lingkungan perkantoran. Air mineral kemasan bisa dikurangi dengan drastis dan dengan begitu sampah plastik pun dapat dihindari.

3. Pengadaan reusable bag.

Menggunakan kantong kresek sebagai tempat belanja ataupun sekedar wadah untuk membawa barang adalah hal yang lumrah di lingkungan masyarakat. Mengganti plastik dengan reusable bag yang bisa digunakan berkali-kali merupakan langkah yang signifikan dampaknya. Beberapa pemerintah daerah pun sudah mulai mengambil sikap radikal dalam menentang penggunaan plastik kresek. Misalnya Bali (melalui Peraturan Gubernur Bali No.97/2018) yang sudah melarang penggunaan plastik baik di swalayan, tempat makan, hingga warung kecil.

4. Penggunaan Nadine sebagai sistem surat menyurat di lingkungan kantor.

Beberapa bulan terakhir, instansi-instansi pusat di Kementerian Keuangan mulai menggiatkan penggunaan NADINE 2.0. Sistem Tata Naskah Dinas (TND) ini sungguh bersifat paperless sehingga akan mengurangi penggunaan kertas secara drastis bila dilaksanakan dengan baik. Penggunaan tanda tangan elektronik salah satunya akan menciptakan perubahan yang besar dalam lingkup surat menyurat di perkantoran.

5. Penggunaan kertas bekas untuk konsep naskah dinas atau cetakan yang sifatnya tidak final.

Dalam aktivitas kantor, penggunaan kertas dalam tata naskah dinas sangat vital perannya. Pendayagunaan kertas dua sisi sungguh perlu ditingkatkan. Naskah-naskah yang tidak bersifat rahasia atau resmi (final) dapat dicetak di bagian kosong kertas bekas (yang sisi satunya telah digunakan).

6. Pengimbauan rutin agar menggunakan listrik dan air sebaik mungkin.

Listrik dan air adalah kebutuhan yang vital. Namun, tidak jarang terjadi pemborosan dalam penggunaan dua komoditi tersebut. Seperti tidak mematikan lampu dan AC ketika aktivitas bekerja telah selesai hingga lupa mematikan keran air yang dibuka.

Di sinilah perlunya, imbauan terus menerus untuk mengingatkan para pegawai dalam bentuk poster hingga imbauan lisan untuk mematikan peralatan atau fasilitas kantor yang menggunakan daya listrik. Juga mengingatkan para pengguna toilet kantor yang baru saja menggunakan toilet untuk memastikan menutup keran air dengan rapat.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.