Oleh: Rendy Brayen Latuputty, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

SEDEKADE lalu, masyarakat seantero negeri dihebohkan dengan kemunculan seorang bocah yang sangat fenomenal bernama Ponari. Konon, bocah tersebut dapat menyembuhkan segala macam penyakit hanya dengan mencelupkan sebuah batu ke dalam air untuk dikonsumsi para pasien—entah diminum ataupun dibasuhkan ke bagian tubuh yang sakit. Saat itu, setiap hari tak henti-hentinya media di televisi memberitakan tentang bocah tersebut.

Sepuluh tahun berselang atau tepatnya hari ini, fenomena seperti Ponari muncul kembali. Kali ini gaungnya lebih menghebohkan berkat adanya media sosial yang di zaman Ponari belum begitu populer. Ya, fenomena yang dimaksud adalah kemunculan sosok perempuan paruh baya bernama Ningsih Tinampi. Ia disebut-sebut dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Saking banyaknya orang yang percaya akan kehebatannya, pelbagai sumber menyebut bahwa antrean pasien perempuan satu ini sudah sampai tahun 2021. Artinya, kalau ada yang daftar berobat hari ini, baru bisa dilayani di tahun 2021. Wow, sungguh luar biasa untuk ukuran praktik pengobatan yang belum teruji secara ilmiah!

Kedua fenomena “orang pintar” di atas memunculkan sebuah pertanyaan yang sama, yaitu apakah praktik pengobatan alternatif yang mereka lakukan dikenai pajak? Berangkat dari pertanyaan tersebut, tulisan ini akan membahas mengenai aspek perpajakan yang ada pada praktik pengobatan alternatif. Agar lebih mudah dipahami, tulisan ini akan menggunakan contoh kasus beserta contoh perhitungannya.

 

Daftar Jadi Wajib Pajak

            Ketentuan perpajakan mengatur bahwa seseorang disebut sebagai Wajib Pajak apabila memenuhi dua persyaratan, yaitu persyaratan subjektif dan objektif. Persayaratan subjektif terpenuhi saat seseorang telah dewasa (18 tahun menurut ketentuan perpajakan). Kemudian, persyaratan objektif terpenuhi saat seseorang menerima atau memperoleh penghasilan. Apabila kedua persyaratan ini telah terpenuhi, ia wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di daerah tempat tinggalnya dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebagai tanda pengenal dalam menjakan hak dan kewajiban perpajakannya. Selain itu, apabila seseorang punya satu atau lebih tempat usaha yang lokasinya berbeda dengan tempat tinggalnya, ia juga wajib mendaftarkan diri pada KPP di daerah masing-masing tempat usahanya tersebut dan kepadanya diterbitkan NPWP Cabang.

            “Orang pintar” kemungkinan besar telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Biasanya, “orang pintar” telah berusia 18 tahun. Kemudian, ia juga menerima penghasilan dari praktik pengobatan alternatif yang dijalankannya. Oleh sebab itu, “orang pintar” wajib mendaftarkan diri pada KPP di daerah tempat tinggalnya untuk diterbitkan NPWP. Selain itu, apabila lokasi tempat praktik “orang pintar” berbeda dengan tempat tinggalnya, ia juga wajib mendaftarkan diri pada KKPP di daerah masing-masing tempat paraktiknya untuk diterbitkan NPWP Cabang.

Contoh Kasus:

Neng Esih (TK/0) bertempat tinggal di Pasuruan serta mempunyai tempat praktik pengobatan altenatif di Cibinong dan Cileungsi. Dalam kasus ini, Neng Esih wajib mendaftarkan diri pada KPP Pratama Pasuruan dan kepadanya diterbitkan NPWP. Ia juga wajib mendaftarkan diri pada KPP Pratama Cibinong dan KPP Pratamama Cileungsi dan kepadanya diterbitkan NPWP Cabang oleh masing-masing KPP tersebut.

 

Hitung Pajaknya dan Setorkan

Kewajiban selanjutnya yang harus dipenuhi seorang “orang pintar” adalah menghitung besarnya pajak yang harus ia bayar. Mekanisme perhitungannya dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah mekanisme menggunakan tarif pajak penghasilan (PPh) Final 0,5%. Pada mekanisme ini, PPh terutang dihitung dengan cara mengalikan omzet setiap bulan dengan tarif PPh Final 0,5%. Patut diingat bahwa mekanisme ini hanya boleh digunakan apabila omzet “orang pintar” tidak lebih dari Rp4,8 miliar pada tahun pajak sebelumnya. Kemudian, mekanisme kedua adalah menggunakan tarif PPh Pasal 17 berdasarkan pembukuan. Mekanisme ini wajib digunakan apabila omzet “orang pintar” telah melebihi Rp4,8 miliar pada tahun pajak sebelumnya. Pada mekanisme ini, “orang pintar” wajib menyelenggarakan pembukuan yang outputnya adalah Laporan Keuangan berupa Laporan Laba Rugi dan Neraca. Lalu, atas laba bersih pada Laporan Laba Rugi dilakukan koreksi fiskal untuk mendapatkan penghasilan neto fiskal (laba fiskal). Laba fiskal tersebut kemudian dikalikan dengan tarif PPh Pasal 17 untuk mendapatkan jumlah PPh terutang.

Contoh Kasus:

Melanjutkan contoh pada judul kecil sebelumnya, omzet Neng Esih dari seluruh tempat praktiknya pada tahun pajak 2018 berjumlah Rp3,5 miliar. Maka pada tahun 2019, Neng Esih dapat menghitung pajaknya menggunakan mekanisme PPh Final 0,5%. Berikut rekapitulasi omzet Neng Esih selama tahun 2019 beserta perhitungan PPh Final-nya:

Bulan

Omzet

PPh Final 0,5%

Cibinong

Cileungsi

Jumlah

Cibinong

Cileungsi

Jumlah

Januari

 Rp   200.000.000

 Rp   100.000.000

 Rp   300.000.000

 Rp  1.000.000

 Rp   500.000

 Rp  1.500.000

Februari

 Rp   250.000.000

 Rp   160.000.000

 Rp   410.000.000

 Rp  1.250.000

 Rp   800.000

 Rp  2.050.000

Maret

 Rp   280.000.000

 Rp   160.000.000

 Rp   440.000.000

 Rp  1.400.000

 Rp   800.000

 Rp  2.200.000

April

 Rp   270.000.000

 Rp   170.000.000

 Rp   440.000.000

 Rp  1.350.000

 Rp   850.000

 Rp  2.200.000

Mei

 Rp   280.000.000

 Rp   180.000.000

 Rp   460.000.000

 Rp  1.400.000

 Rp   900.000

 Rp  2.300.000

Juni

 Rp   300.000.000

 Rp   130.000.000

 Rp   430.000.000

 Rp  1.500.000

 Rp   650.000

 Rp  2.150.000

Juli

 Rp   250.000.000

 Rp   150.000.000

 Rp   400.000.000

 Rp  1.250.000

 Rp   750.000

 Rp  2.000.000

Agustus

 Rp   310.000.000

 Rp   140.000.000

 Rp   450.000.000

 Rp  1.550.000

 Rp   700.000

 Rp  2.250.000

September

 Rp   300.000.000

 Rp   120.000.000

 Rp   420.000.000

 Rp  1.500.000

 Rp   600.000

 Rp  2.100.000

Oktober

 Rp   270.000.000

 Rp   170.000.000

 Rp   440.000.000

 Rp  1.350.000

 Rp   850.000

 Rp  2.200.000

November

 Rp   260.000.000

 Rp   200.000.000

 Rp   460.000.000

 Rp  1.300.000

 Rp 1.000.000

 Rp  2.300.000

Desember

 Rp   280.000.000

 Rp   180.000.000

 Rp   460.000.000

 Rp  1.400.000

 Rp   900.000

 Rp  2.300.000

Total

 Rp3.250.000.000

 Rp1.860.000.000

 Rp5.110.000.000

 Rp16.250.000

 Rp9.300.000

 Rp25.550.000

PPh Final hasil perhitungan di atas wajib disetor oleh Neng Esih setiap bulannya, paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya mengunakan Kode Akun Pajak (KAP) 41128 dengan Kode Jenis Setoran (KJS) 100. PPh Final tersebut Wajib disetor menggunakan NPWP Cabang masing-masing tempat praktik. Sebagai contoh, PPh Final masa Januari wajib disetor sebesar Rp1.000.000 menggunakan NPWP Cabang Cibinong dan sebesar Rp500.000 menggunakan NPWP Cabang Cileungsi paling lambat tanggal 15 Februari.

Pada tahun 2020, Neng Esih tidak bisa lagi menghitung pajaknya menggunakan mekanisme PPh Final 0,5% karena omzetnya selama tahun 2019 sudah melebihi Rp4,8 miliar. Jadi, ia harus menghitung pajaknya menggunakan mekanisme PPh Pasal 17 dan harus menyelenggarakan pembukuan.

 

Lapor SPT-nya

            Setelah menghitung dan menyetorkan pajaknya, “orang pintar” juga wajib melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. SPT Tahunan ini merupakan sarana untuk mempertanggungjawabkan perhitungan dan penyetoran pajak yang telah dilakukan selama tahun pajak yang bersangkutan. SPT Tahunan tersebut wajib dilaporkan paling lambat tiga bulan setelah tahun pajak berakhir (umumnya paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya). Kemudian, SPT Tahunan tersebut dilaporkan hanya pada KPP di daerah tempat tinggal “orang pintar” menggunakan NPWP Pusat, bukan menggunakan NPWP Cabang.

Contoh Kasus:

Melanjutkan contoh kasus sebelumnya, Neng Esih wajib melaporkan SPT Tahunan untuk tahun pajak 2019 pada KPP Pratama Pasuruan menggunakan formulir 1770. Rekapitulasi omzet dan perhitungan PPh Final 0,5% serta bukti penyetoran PPh Final 0,5% yang telah dilakukan menggunakan NPWP Cabang Cibinong dan Cileungsi selama tahun 2019 harus dikumpulkan dan dilampirkan dalam SPT Tahunan tersebut. Kemudian, SPT Tahunan tersebut harus dilaporkan Neng Esih paling lambat tanggal 31 Maret 2020.

 

Kena PPN?

            Sampai dengan judul kecil sebelumnya, kewajiban PPh atas praktik pengobatan alternatif oleh “orang pintar” dapat dikatakan sudah selesai. Akan tetapi timbul pertanyaan, apakah praktik pengobatan alternatif tersebut dikenai PPN?

            Pada prinsipnya, semua penyerahan barang atau jasa dikenai PPN, kecuali barang atau jasa tersebut masuk dalam negative list UU PPN. Jadi, perlu dilihat terlebih dahulu dalam UU PPN, jasa pengobatan alternatif masuk dalam negative list atau tidak.

            Menurut UU PPN, jasa pelayanan kesehatan medis termasuk jasa yang tidak dikenai PPN (masuk dalam negative list). Dalam penjelasan ketentuan tersebut, disebutkan bahwa jasa pelayanan kesehatan medis salah satunya mencakup jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal. Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa praktik pengobatan alternatif oleh “orang pintar” tidak dikenai PPN.[rbl/djp]

 

*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.