Oleh: Fala Amalina, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

“Lariiilambateee…!” (Dorong yang kuat!)

Begitu teriakan pemersatu diserukan, tali-tali dikencangkan dan ditarik sekuat tenaga. Kapal pinisi pun bergerak maju, sedikit demi sedikit, menuju lepas pantai.

Begitulah arti tradisi Annyorong Lopi, ritual mendorong kapal pinisi ke laut. Tradisi milik masyarakat Bonto Bahari, Bulukumba, tepatnya di Tana Beru. Meskipun ada yang berpendapat bahwa pinisi bukanlah pinisi apabila menggunakan mesin sebagai tenaga pendorongnya, nama pengrajin kapal pinisi Tana Beru tetap melegenda.

Pinisi sendiri merupakan kapal layar tradisional khas Indonesia yang berasal dari suku Bugis. Pada mulanya dimanfaatkan sebagai moda transportasi untuk mengangkut komoditas. Seiring berkembangnya zaman, pemanfaatan pinisi pun semakin beragam. Ada yang digunakan untuk menangkap ikan, ada pula yang digunakan untuk berwisata. Pinisi tradisional disulap menjadi kapal pesiar mewah dengan fasilitas kabin tak kalah dengan hotel berbintang.

Meskipun berubah menjadi kapal modern, bentuk dasar pinisi yang menjadi ciri khasnya tidak berubah: dua tiang layar utama dan tujuh layar. Bahan pembuatan pinisi menggunakan kayu bitti, jenis kayu besi yang pasokannya semakin terbatas. Kini para pengrajin kapal di Tana Beru bahkan perlu mengirim pasokan kayu bitti dari Sulawesi Tenggara karena area Sulawesi Selatan tak lagi mampu memenuhi kebutuhan persediaan kayu bitti.

Sebelum dilaksanakan ritual mendorong kapal ke laut, ada beberapa tahapan yang dilakukan. Pertama, penyembelihan hewan kurban sehari sebelum kapal diluncurkan. Kedua upacara Appasili, bertujuan mendoakan agar kapal senantiasa dilindungi saat berlayar. Ketiga, ritual Ammossi, yaitu upacara pemberian pusat pada pertengahan lunas kapal. Setelah rangkaian tahapan dilaksanakan, perahu dapat didorong ke laut.

Ritual Annyorong Lopi sendiri biasanya dilakukan pada siang hari dan pada saat laut sedang pasang. Beberapa pengrajin percaya bahwa Jumat adalah hari yang baik untuk melaksanakan ritual. Acara ini melibatkan pemilik kapal, pembuat kapal, hingga tokoh masyarakat dan tamu undangan. Lazimnya, ditampilkan atraksi pencak silat dan dilanjutkan pembunyian gong yang menandakan bahwa kapal siap diluncurkan.

 

Solidaritas yang Kuat

Butuh tenaga belasan hingga puluhan orang untuk dapat menarik kapal pinsi tanpa bantuan mesin katrol. Untuk menarik sebuah kapal berukuran kecil saja—disebut perahu—butuh waktu sekitar dua jam dengan tenaga lebih dari dua puluh orang. Itulah alasan ritual Annyorong Lopi ini melibatkan cukup banyak peserta.

Kerja sama dan solidaritas yang kuat merupakan kunci utama kesuksesan penarikan kapal pinisi ke laut. Tanpa kenal lelah, saling menyemangati. Dengan kerja sama dan solidaritas yang baik, tentu pekerjaan menjadi lebih efektif dan efisien. Prinsip ini pula yang seharusnya berlaku dalam sebuah organisasi agar visi organisasi tercapai.

 

Organisasi Besar

Negara sebagai sebuah organisasi yang besar tidak akan berjalan tanpa adanya sinergi antara masyarakat dan pemerintah. Pemerintah selaku penyelenggara negara membutuhkan dukungan dari masyarakat agar program-program pembangunan dapat berjalan. Bayangkan, untuk menarik sebuah kapal pinisi ke laut saja dibutuhkan tenaga puluhan orang dengan waktu yang tidak sebentar, apalagi untuk mewujudkan negara yang adil dan makmur, tentu dibutuhkan dukungan seluruh rakyat. Salah satu cara mendukung Pemerintah adalah dengan menjalankan kewajiban perpajakan.

Pajak merupakan sumber utama pendapatan negara yang digunakan untuk membiayai program-program pembangunan pemerintah. Dalam APBN 2019, penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp1.786,4 triliun atau setara dengan 80% pendapatan negara. Dibandingkan dengan targetnya yang semakin besar, tingkat rasio pajak Indonesia dari tahun ke tahun justru semakin kecil. Hal ini juga disebabkan masih rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak Indonesia.

Mengapa tingkat kepatuhan wajib pajak Indonesia masih rendah? Minimnya pengetahuan tentang perpajakan menjadi salah satu penyebabnya. Tingkat kepedulian akan peran serta manfaat pajak dirasa masih kurang. Membayar pajak dianggap sebagai beban ketimbang investasi kepada negara. Padahal, untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dibutuhkan biaya untuk membangun fasilitas publik yang tidak murah dan sebagian besar dibiayai dari pajak.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia belum optimal dalam bergotong royong membangun negara.

 

Menjadi Pahlawan

Menjadi pahlawan negara memang harus ikut berperang. Kalau dahulu, sebelum merdeka, rakyat Indonesia berperang melawan penjajah, sekarang, setelah merdeka, rakyat Indonesia berperang melawan ketimpangan sosial. Bagaimana caranya? dengan melakukan pemerataan pembangunan agar tercipta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan bunyi sila ke-5 dalam Pancasila. Saat seluruh butir-butir dalam Pancasila terwujud artinya negara sukses menjalankan tugasnya.

Tak sulit menjadi pahlawan negara masa kini, cukup menjadi wajib pajak yang taat. Menjadi wajib pajak yang taat berarti paham akan hak dan kewajiban sebagai wajib pajak. Kesadaran menjadi wajib pajak yang taat harus dimulai dari diri sendiri sehingga diharapkan menular kepada masyarakat secara meluas.

Ini, baru namanya gotong royong membangun negara.

Sudahkah Anda berkontribusi menjadi pahlawan negara?

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.