Penyidik PNS Direktorat Penegakan Hukum Direktorat Jenderal Pajak kembali melakukan penyitaan atas kasus tindak pidana pajak (Kamis, 10/10). Penyitaan dilakukan atas aset perusahaan PT GBP dan Direkturnya HJG (65 Thn), Pengusaha bidang properti tersebut diduga melanggar Pasal 39A huruf a dan Pasal 39 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP yaitu menggunakan Faktur Pajak Fiktif untuk mengurangi PPN terutang dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar dengan cara melaporkan hanya sebagian penghasilannya. Dari perbuatan yang dilakukan HJG, negara terindikasi menderita kerugian negara kurang lebih sebesar Rp200 miliar.

Kegiatan penyitaan tersebut dilakukan atas rumah mewah milik HJG di Jawa Timur dan hotel berkapasitas 200 kamar yang masih dalam tahap finishing di kawasan Bali. Dalam melakukan penyitaan, PPNS DJP didampingi oleh Teguh Widodo, Kepala Seksi Penyidikan I Direktorat Penegakan Hukum, personel dari Kanwil DJP Jawa Timur I dan Kanwil DJP Bali, juga mendapatkan back-up langsung dari Kepala Korwas PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Prasetijo Utomo.

Pendampingan yang dilakukan oleh Korwas PPNS Bareskrim Polri tersebut memang merupakan tugas dan fungsi dari Korwas PPNS untuk melakukan pengawasan operasional serta memberikan bimbingan teknis penyidikan dan administrasi penyidikan yang dilaksanakan oleh PPNS. Terlebih lagi mengingat bahwa PT GBP termasuk perusahaan yang cukup besar. Sejak proses Pemeriksaan Bukti Permulaan, HJG diketahui kurang kooperatif dalam merespon panggilan oleh Penyidik. Maka, dalam kegiatan penyitaan tersebut juga melibatkan Babinsa dan  Bhabinkamtibmas POLDA Bali untuk melakukan pengamanan.

Selama proses penyitaan, pihak HJG didampingi oleh kuasa hukumnya. Kuasa hukum tersebut mengatakan pihaknya akan berupaya negosiasi ulang dengan DJP. "Dengan adanya negosiasi, maka Menteri Keuangan dapat menyurati Kejaksaan Agung untuk menghentikan proses pidana pajak," ucap kuasa hukum pihak HJG. 

Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan diakomodir dalam Pasal 44B UU KUP. Hal tersebut sejalan dengan asas hukum ultimum remedium yang dianut dalam KUP. Penghentian dimaksud dapat dilakukan dengan syarat wajib pajak mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan setelah melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan sebelum perkara pidana dilimpahkan ke pengadilan.