Oleh: Ahmad Bukhori, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Adakah yang masih asing dengan sistem perpajakan di Indonesia saat ini, jawabannya adalah banyak, utamanya untuk masyarakat dengan akses informasi yang masih minim, kondisi seperti ini membuat mereka sedikit awam untuk memahami bagaimana sistem perpajakan itu. Dan hal ini sekaligus menjadi fokus utama bagi sebagian besar kantor pelayanan pajak.

Banyak metode-metode untuk mengatasi kondisi yang demikian, salah satunya dengan kampanye melalu media sosial, cetak ataupun secara langsung yang masif dan rutin dilakukan. Namun demikian tentu masih ada bagian masyarakat yang belum menerima informasi tentang perpajakan kita saat ini karena faktor kondisi sosial masyarakat serta akses informasi yang minim.

Sebagai pelaksana seksi ekstensifikasi KPP Pratama Tenggarong, ada kejadian menarik yang saya alami. Seperti biasa seksi ekstensifikasi selalu rutin menerima konsultasi para wajib pajak baru yang pada umumnya di dominasi oleh wajib pajak non karyawan atau usahawan. Setiap hari ada banyak wajib pajak dengan berbagai macam latar belakang usaha yang datang untuk konsultasi terkait perpajakannya, dan kami selalu berusaha melayani dengan baik dengan berdasarkan prinsip layanan prima yang instansi ini miliki.

Siang menjelang sore saat itu datang seorang pria paruh baya ke loket helpdesk seksi ekstensifikasi, kebetulan petugas yang stand by saat itu salah satunya adalah saya, sapaan dan salam hangat saya haturkan ke beliau, saya persilahkan beliau untuk duduk dan menyampaikan kebutuhannya. Sapaannya bapak Adnan.

Maksud kedatangan bapak Adnan adalah untuk mencari penjelasan terkait kewajiban perpajakannya, bagaimana serta seperti apa prosedurnya. Karena sebagai wajib pajak yang baru saja mendaftarkan diri untuk mendapat NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) tentu sangat wajar jika beliau belum memahami kewajiban perpajakannya.

Kebetulan beliau memiliki usaha toko sembako yang memiliki omset (penghasilan kotor) bulanan yang baru mencapai 2 juta per bulan, sehingga masuk kategori wajib pajak UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah). Saya jelaskan bahwa sesuai PP 23 Tahun 2018 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, beliau memiliki kewajiban perpajakan yaitu sebesar 0,5% dari omzet per bulan, yang harus disetor rutin tiap bulan maksimal tanggal 15 bulan berikutnya.

Kemudian kewajiban selanjutnya adalah terkait pelaporan SPT (Surat Pemberitahuan) pajak penghasilan nya yang harus dilaporkan satu tahun sekali paling lambat tanggal 30 Maret di tahun berikutnya untuk satu tahun yang sudah terpenuhi. Saya mencoba untuk menjelaskan terkait metode pelaporan online namun nampaknya beliau kesulitan jadi beliau lebih memilih laporan manual untuk lapor SPT-nya nanti.

Selanjutnya beliau menanyakan terkait bagaimana cara membayar pajaknya, apakah harus datang ke kantor pajak setiap bulan atau seperti apa, saya mencoba menjelaskan bahwa pembayaran pajak adalah dengan menggunakan kode biliing atau id billing bisa kita sebut sebagai nomor virtual untuk pembayaran pajak yang setiap pembayaran baru, atau masa baru selalu berbeda dan dibayarkan melalui kanal, loket, atau bank persepsi yang telah ditunjuk oleh pemerintah.

Selanjutnya yang beliau khawatirkan adalah kode billing setiap bulan yang berbeda ini, mengingat beliau kurang memahami internet, saya jelaskan bahwa KPP Pratama Tenggarong memiliki layanan pembuatan billing dengan sms serta juga ada layanan melalui kontak WA, yang mudah dilakukan. Selain itu WA tersebut bisa digunakan untuk akses konsultasi jarak jauh.

Di akhir penjelasan saya, saya mencoba menekankan kembali apa yang menjadi kewajiban perpajakan beliau. Saya jelaskan bahwa setiap bulannya beliau sendiri yang menghitung penghasilannya dan menghitung pajaknya, kemudian beliau sendiri yang meminta billing untuk pembayaran pajaknya melalui sms atau WA, serta beliau sendiri yang membayarkan pajaknya melalui loket-loket bank atau kantor pos terdekat dengan rumah beliau. Baru setelah habis masa satu tahun beliau datang untuk melaporkan SPT Tahunannya ke kantor pajak kami ini, karena sistem perpajakan kita adalah Self Assessment.

Kemudian sejenak pak Adnan terdiam, saya pun ikut terdiam, raut muka pak Adnan nampak datar, dan saya mulai bertanya-tanya apakah beliau memahami penjalasan saya tadi. Kemudian reaksi mencengangkan pak Adnan mengagetkan saya. Beliau menanyakan hal yang tidak saya duga.

Pak Adnan mengatakan berarti beliau sendiri yang menghitung penghasilannya dan pajaknya. Saya mengiyakan itu. Kemudian beliau berkata, "Adakah manusia yang seperti Itu, yang dengan jujur mengakui besarnya penghasilannya dan menghitung pajaknya dengan benar. Bagaimana kalau bohong..."

Sejenak saya terdiam, seperti tidak menduga-duga, saya coba menarik nafas panjang dan melempar senyuman. Kemudian saya berkata ke pak Adnan "Ada Pak… mungkin Bapak salah satunya, dan saatnya bapak buktikan untuk menjadi bagian yang baik Itu." Kemudian pak Adnan tersenyum lega, dan mengiyakan perkataan saya. Hal itu sekaligus mengakhiri sesi konsultasi beliau, dan saya memberikan salam untuk mengakhiri perjumpaan kami.

Sistem perpajakan kita memang self assessment yang secara tidak langsung menuntut kita berperan aktif secara mandiri untuk memenuhi kewajiban perpajakan kita. Sudah saatnya kita buktikan bahwa kita semua mampu menjadi bagian yang baik dan jujur itu.

Sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh pak Adnan sejatinya layak untuk kita tanyakan pada diri kita masing-masing, dan mari kita jawab dengan tindakan nyata. Bahwa kita mampu berperan aktif dalam memenuhi kewajiban perpajakan kita dengan sabaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Sudah saatnya kita berperan aktif dalam membangun bangsa dengan sadar dan taat Pajak. Karena pajak kita adalah untuk kita.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.