Belanja fashion di  kota Bandung memang sangat  populer dan banyak diminati wisatawan domestik maupun asing. Berbagai pilihan tersedia di distribution outlet (distro), factory outlet (FO), Pasar Baru, dan jalan Tamim. Produk fashion tersebut merupakan salah satu hasil industri tekstil. Dimulai dari industri pemintalan kapas menjadi benang, industri pertenunan dan rajut yang merubah benang menjadi kain, lalu industri penyempurnaan kain (pemberian warna pada kain) dan industri garmen yang memproduksi pakaian jadi. Ada perusahaan yang melakukan hanya satu bagian saja misal pemintalan atau pertenunan, namun ada juga yang melakukan usaha dari hulu sampai ke hilir. Bagaimana aspek perpajakan sektor tersebut? Dua nara sumber dari KPP Pratama Majalaya, Account Representative Avi Miraj Sidik dan Jackiline Hendari Nancy Marlissa membahasnya dalam Talkshow di Radio PR FM Bandung (Jumat, 23/8).

Avi menyampaikan untuk sektor tekstil, pada dasarnya pajak yang dikelola Pemerintah Pusat di kantor pajak mencakup Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hanya perbedaan perlakuan bergantung pada kriteria apakah wajib pajak (WP) memiliki omzet di atas atau kurang dari Rp4,8 miliar dalam 1 tahun, dan bentuk usahanya Badan atau Orang Pribadi. Untuk PPN, apakah penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penjualannya dalam negeri atau ekspor. Bagi WP yang memiliki omzet di bawah Rp4,8 miliar WP cukup membuat catatan omzet setiap bulan dan melaksanakan Peraturan pemerintah nomor 23/2018 dengan tarif 0,5% setelah periode Juli 2018. Bagi WP yang omzetnya telah melebihi Rp4,8 Miliar, maka wajib membuat pembukuan dan laporan keuangan. Besarnya pajak yaitu tarih PPh dikalikan laba bersih dalam laporan Laba Rugi yang telah direkonsiliasi fiskal. Selain itu juga ada kewajiban untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). PKP harus menerbitkan faktur pajak, melakukan pemungutan PPN 10% setiap melakukan penjualan, dan tentu setor dan lapor SPT PPN.

Menanggapi pertanyaan pendengar, Jackiline menambahkan ada juga kewajiban bagi pengusaha tersebut untuk melakukan pemotongan atas penghasilan yang diterima pihak lain (yang dibayarkan dan dibiayakan oleh WP, meliputi PPh Pasal 21 atas pembayaran gaji pegawai yang memiliki penghasilan dfi atas Penghasilan Tidak kena Pajak (PTKP), PPh Pasal 23 (misal maklon celup warna kepada pihak lain, jasa twisting benang), PPh Pasal 4(2) jika tempat usaha merupakan sewa.

Pertanyaan yang tidak kalah penting yaitu tentang insentif bagi industri tekstil di tahun 2019 yang dapat menstimulus daya saing. Avi menjawab bahwa pemerintah telah menerbitkan payung hukum untuk kebijakan pengurangan pajak super alias super deduction tax. Kebijakan insentif tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2019 tanggal 25 Juni 2019 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan. Beleid baru tersebut merupakan perubahan atas PP Nomor 94 Tahun 2010 dan mengatur pengurangan penghasilan bruto hingga 200% bagi industri yang menyelenggarakan vokasi dan hingga 300% bagi industri yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan. Salah satu tujuan kebijakan ini adalah mendorong investasi pada industri padat karya, meningkatkan daya saing serta mendorong peran dunia usaha dan industri. (SW)