Oleh: Edwin Reynaldo Pasaribu, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Neraca Perdagangan Indonesia kembali mengalami defisit, update terakhir yang berumber dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa Neraca Perdagangan Indonesia mencapai titik yang cukup rendah untuk periode Januari sampai dengan Juni 2019 angka defisitnya mencapai –US$ 1.933,90 juta. Bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (periode Januari sampai dengan Juni 2019) dengan defisit neraca perdagangan sebesar –US$-1.196,00, maka neraca perdagangan Indonesia mengalami penurunan sebesar 61,7%. Jika ditinjau lebih lanjut, angka defisit ini berasal dari sektor migas dengan defisit -US$4.781,70juta dan surplus dari sektor non migas US$2.847,80juta.

Pemerintah bertekad untuk mengatasi masalah defisit neraca perdagangan ini. Mengatasi defisit neraca perdagangan secara sederhana diartikan sebagai upaya meningkatkan kegiatan ekspor dan menurunkan kegiatan impor. Sejumlah langkah telah dan sedang dilaksanakan oleh pemerintah. Termasuk dari aspek perpajakan. Keberadaan pajak bukan hanya sebagai media untuk mengumpulkan dana demi terselenggaranya kegiatan pemerintahan. Lebih dari itu, perpajakan diselenggarakan juga untuk kepentingan lain, salah satunya peran pajak terhadap stabilitas neraca perdagangan. Pemerintah telah melakukan setidaknya beberapa kebijakan dalam bidang perpajakan untuk memberikan insentif kepada para pelaku usaha dan masyarakat secara keseluruhan untuk berperilaku lebih produktif.

Diawali dengan UU No. 42 tahun 2009 pasal 7 ayat 2 yang mengatur bahwa tarif Pajak Pertambahan Nilai untuk ekspor adalah sebesar 0%. Kemudian pada pasal 8 ayat 2 undang-undang ini bahwa ekspor barang kena pajak yang tergolong mewah juga dikenakan pajak dengan tarif 0%. Sementara itu, selain ekspor (yaitu impor, maupun transaksi jual beli dalam negeri), tarif yang dikenakan adalah 10%, bahkan bisa lebih dari itu bila objeknya adalah barang mewah. Jadi memang sejak awal pemerintah melalui pajak juga sudah mengupayakan perilaku produktif di masyarakat terutama untuk kegiatan ekspor.

Lebih lanjut, melalui PMK 110/PMK.010/2018 pemerintah memberlakukan kenaikan tarif Pajak Penghasilan 22 Impor. Sebenarnya, bagaimana dampak Pajak Penghasilan Impor ini dalam menekan kegiatan impor? Benar saja bila ada pernyataan bahwa PPh 22 impor ini bukan jenis pajak final, yang mana terhadap pemungutan PPh ini dapat dikreditkan di akhir tahun, pada saat penghitungan PPh Badan. Artinya, uang pembayaran PPh 22 impor tersebut dapat dikatakan kembali ke perusahaan pada akhir tahun. Namun, yang perlu diperhatikan adalah bahwa dengan adanya PPh 22 impor ini maka perusahaan harus menanggung opportunity loss atas kegiatan impor yang dilakukan, karena arus kas perusahaan terpengaruh, perusahaan harus menyetorkan sejumlah uang ke negara pada saat impor meskipun akan dikembalikan – melalui mekanisme kredit pajak -  di akhir tahun.

Dengan kata lain, PPh 22 impor berperan dalam menurunkan kegiatan impor dengan memberikan efek opportunity loss tersebut. Dengan dinaikkannya PPh 22 Impor maka opportunity loss ini juga akan semakin besar. Sebagai contoh, suatu perusahaan melakukan impor dengan nilai impor Rp 10 miliar pada awal Januari, dikenakan tarif PPh 22 Impor 2,5%, maka pada saat itu perusahaan akan dipungut pajak sebesar Rp250 juta. Atas pembayaran Rp250 juta ini sebenarnya akan dikembalikan oleh negara melalui mekanisme kredit pajak pada penghitungan pajak penghasilan badan di akhir tahun. Memang dikembalikan, namun ada opportunity loss.

Dengan PPh 22 impor, maka perusahaan kehilangan pendapatan yang seharusnya dapat diperoleh jika uang sebesar Rp 250 juta tersebut diinvestasikan melalui deposito misalnya dengan tingkat pengembalian 7%. Tarif PPh 22 Impor melalui PMK 110/PMK.010/2018 dinaikkan, artinya opportunity loss bagi importir karena kegiatan impornya meningkat, diharapkan dapat ikut menekan defisit neraca perdagangan.

Satu berita baik, adalah ditandatanganinya perpanjangan kebijakan anti dumping, salah satu ketentuannya PMK Nomor 24/PMK.010/2019. Pertimbangan terbitnya aturan ini adalah bahwa berdasarkan hasil penyelidikan Komite Anti Dumping Indonesia telah membuktikan bahwa masih ditemukan adanya praktik dumping terhadap impor produk H Section dan I Section yang berasal dari Negara Republik Rakyat Tiongkok. Kali ini pajak berperan dalam melindungi industri dalam negeri dari serbuan produk impor. Dengan PMK Nomor 24/PMK.010/2019, kegiatan impor terkait aturan ini akan dikenakan tambahan Bea Masuk Anti Dumping sebesar 11,39%. Kecenderungan untuk impor karena adanya praktik dumping dapat ditekan dengan aturan-aturan Bea Masuk Anti Dumping.

Kemudian apakah semua terkait impor dilakukan peningkatan tarif oleh pemerintah? Tidak. Pemerintah juga memberikan insentif berupa penurunan tarif meskipun untuk kegiatan impor, dalam prinsip bahwa impor yang dilakukan untuk kegiatan produktif. Pemerintah misalnya menerapkan salah satu insentif fiskal berupa pembebasan bea masuk. Mengapa dibebaskan? Bea masuk yang dibebaskan dalam hal ini adalah bea masuk atas  impor barang tertentu yang sifatnya produktif, contohnya pembebasan bea masuk atas impor bibit dan benih.

Kemudian ada Tax Holiday. Tujuan utamanya adalah penarikan investasi. Aturan terbarunya PMK 150/PMK.010/2018, isinya pengurangan Pajak Penghasilan Badan sampai dengan 100%, sampai dengan 20 tahun. Ekstremnya, ada fasilitas dimana perusahaan dimungkinkan untuk tidak membayar pajak sampai selama 20 tahun. Dengan menggunakan Fasilitas Tax Holiday ini perusahaan dapat memperoleh pengurangan pajak penghasilan badan sampai dengan 100% dari pajak penghasilan badan yang terutang, dan pengurangan ini dapat dimanfaatkan sampai dengan 20 tahun, sesuai ketentuan.

Perusahaan dalam industri pionir seperti industri logam dasar hulu, industri pemurnian atau pengilangan minyak dan gas bumi tanpa atau beserta turunannya yang terintegrasi, dan perusahaan-perusahaan dalam 16 industri lainnya yang tercantum dalam peraturan tersebut dapat memanfaatkan fasilitas Tax Holiday dengan syarat penanaman modalnya minimal Rp 100 milyar.  Aturan ini dibuat untuk mendorong perekonomian, meningkatkan ekspor, menjaga stabilitas neraca perdagangan. Diharapkan para penerima fasilitas pengurangan PPh Badan dapat bergerak lebih bersemangat untuk berproduksi.

Dengan PMK ini juga, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak meminta para penikmat fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan menyampaikan Laporan Realisasi Produksi tiap akhir tahun (paling lambat 30 hari setelah berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan) untuk memastikan bahwa perusahaan melakukan realisasi kegiatan usaha yang sesuai dengan rencana kegiatan utama berdasarkan tujuan aturan ini selama jangka waktu pemanfaatan pengurangan pajak penghasilan badan.

Aspek perpajakan yang merupakan salah satu lingkup kebijakan fiskal dapat digunakan oleh pemerintah dalam menghadapi tantangan perekonomian. Meskipun dari data ketahui bahwa defisit neraca perdagangan Indonesia bersumber dominan dari sektor migas, namun tidak salah untuk juga mengupayakan penurunan defisit neraca perdagangan dengan meningkatkan surplus di sektor non migas.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.