Oleh: Lindarto Akhir Asmoro, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Beberapa saat lalu beredar kabar bahwa makan pecel lele dan pempek akan dikenakan pajak. Dan tidak tanggung tanggung jumlahnya sangat besar yaitu 10%. Wow...

Dengan beredarnya berita ini lini masa netizen sangat dihebohkan. Pasalnya pecel lele merupakan makanan yang sangat dekat dengan warga masyarakat. Terlebih, warung pecel lele sudah seperti destinasi kuliner yang paling populer di seluruh negeri +62 ini. Dari ujung barat Indonesia sampai dengan pulau Papua kita dengan mudah menemukan jenis masakan ini. Tanpa batasan suku dan ras semua orang gemar dengan makanan ini. Yang kaya yang miskin semua menikmati kuliner yang satu ini. Fix, pecel lele adalah idola kita semua.

Tiap daerah memiliki makanan khas masing-masing. Ada Bika Ambon yang berasal dari kota Medan, ada Wingko Babat yang berasal dari Semarang. Tapi kalau kita menyebutkan pempek tidak ada daerah lain selain kota Palembang. Yes Palembang. Makanan ini sudah menjadi identidas dari Palembang. Mungkin tiap hari orang orang di sana makan pempek. Sarapan pagi makan pempek, makan siang menunya pempek, bahkan mungkin menu dalam pernikahan juga pempek. Sepopuler itu. Maka tidak heran apabila dengan berkembangnya isu pempek dikenai pajak maka “ngamuk” lah wong kito galo. Seolah-olah hak mereka terenggut oleh adanya pajak 10 %. Begitu pun dengan penggemar pempek di seluruh Nusantara. Mereka marah dengan adanya berita ini, seolah-olah pemerintah menjadi penjahat dengan mengenakan pajak kepada makanan yang memiliki bahan baku dari ikan tengiri ini. Well bisa dimengerti memang, karena saya juga iya hehhehe....

Kaget tidak hanya dirasakan oleh pelanggan pecel lele dan pempek, saya juga kaget. Kok ada pajak kepada usaha kecil sebesar 10%? Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 pengusaha kecil dan UMKM dikenakan pajak sebesar 0,5 % bersifat final berdasar dari omzet usaha tiap bulannya. Lalu sebenarnya jaka jenis apakah yang ada dalam berita tersebut?

Pajak rumah makan yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah

Awalnya saya mengira berita ini hanyalah hoaks. Karena dalam peraturan ataupun Undang-undang Perpajakan tidak ada. Sempat juga terbesit di pikiran bahwa ini hanyalah tes ombak, melihat respon masyarakat terhadap kebijakan yang akan diberlalukan. Seperti halnya dahulu kebijakan full day school yang hanya berumur sesaat kemudian diubah kembali. Setelah saya mencari tahu dengan beberapa referensi lain, ternyata benar pajak pecel lele dan pempek benar adanya.

Pemungutan pajak pecel lele dan pempek didasari Perda Nomor 84/2018 tentang Pemungutan Pajak Restoran sebesar 10%. Pajak ini dikenakan terhadap pedagang kaki lima, rumah makan, hingga pengusaha kuliner lainya. Jenis pajak ini dikenakan bagi masyarakat yang makan di tempat ataupun dibungkus atau take away.

Pajak 10% itu, sebenarnya sudah diterapkan sejak jauh hari. Namun untuk kali ini, Pemkot Palembang mulai serius menangani potensi penerimaan daerah dari pajak UMKM. Hal ini dilakukan untuk mengejar target PAD sebesar Rp1,3 triliun.

Pemkot setempat memasang alat pemantau e-tax, sehingga semua transaksi akan terpantau. Saat pengusaha mengajukan izin mendirikan rumah makan, usaha atau sebagainya sudah diinformasikan adanya pajak 10%. Dasar pengenaannya berupa omzet usaha selama sehari. Selama ini pedagang ini memang melakukan pembayaran, tetapi jumlahnya tidak sesuai dengan penghasilan sebenarnya yang mereka dapatkan.

Penggunaan alat tapping box

Untuk memaksimalkan perolehan pajak dibidang kuliner, pemerintah kota Palembang menggunakan alat berupa tapping box yang diberi nama NPos. Pemkot Palembang telah memasang sekitar 300 unit tapping-box di restoran dan rumah makan. Hingga akhir tahun ini, ditargetkan terpasang sebanyak 1.000 unit tapping-box supaya PAD Rp1,3 triliun dapat tercapai.

Alat tapping-box dipasang di tiap usaha. Fungsi dari alat ini adalah untuk memantau pendapatan harian dari pengusaha. Pendapatan minimal 2 Juta rupiah akan dipasang alat tapping box ini sehingga pajaknya dapat langsung dibayarkan dan mengurangi kecurangan dari pengusaha dalam membayar pajak daerah.

Dengan demikian masyarakat sebenarnya tidaklah perlu khawatir. Walaupun sebenarnya pengenaanya untuk pembeli, tetapi pada praktiknya pemilik usaha lah yang membayar pajak daerah ini. Pedagang dan pengusaha kuliner dituntut transparansinya dalam pembayaran pajak daerah. Oleh sebab itu pemerintah kota Palembang melakukan tindakan penegasan terhadap aturan yang sudah ada.

Tapping box menjadi alternatif

Melihat usaha yang cukup maksimal dalam pencapaian PAD Pemerintah Kota Palembang dalam mengamankan penerimaan pajak sektor kuliner, sistem ini dapat di adopsi oleh Ditjen Pajak. Ditjen Pajak menggunakan alat seperti NPOs yang dipasang pada usaha usaha strategis dari wajib pajak. Tujuannya bukan memata-matai usaha wajib pajak, tetapi lebih pada penegakan aturan pembayaran pajak oleh wajib pajak. Dengan alat itu, Ditjen Pajak dapat memastikan jumlah yang dibayar wajib pajak adalah benar sesuai dengan perhitungan petugas pajak.

Selain penegakan aturan, fungsi pengawasan dari Accout Representatif akan lebih ringan. Karena alat sejenis ini dapat mengawasi berapa pendapatan yang diperoleh wajib pajak secara langsung dan real time. 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.