Oleh: Wahyu Eka Nurisdiyanto, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Geliat aktivitas perekonomian Indonesia tidak dapat terlepas dari peran pajak di dalamnya. Pajak telah menjadi tulang punggung keuangan negara. Kontribusinya terhadap pendapatan negara kian vital. Dalam postur APBN 2019, penerimaan perpajakan tercatat menyumbang 82,5 persen dari total pendapatan negara. Itu artinya bahwa segala ongkos yang dibutuhkan pemerintah untuk menjalankan roda pemerintahan dan menyediakan akses layanan dasar bagi masyarakat, sangatlah bergantung pada penerimaan perpajakan.

Sayangnya, tingkat kesadaran masyarakat dalam membayar pajak masih jauh dari harapan. Apabila dibandingkan dengan aktivitas perekonomiannya, Indonesia belum mampu menghimpun penerimaan pajak dalam jumlah yang ideal. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya tax ratio Indonesia. Pada 2018, tax ratio Indonesia hanya mencapai 11,5 persen. Artinya, porsi pajak yang berhasil dikumpulkan negara hanya sekitar 11 persen dari total aktivitas perekonomian Indonesia.

Hampir Seluruh Negara di Dunia Bergantung pada Pajak

Hampir semua negara di dunia memajaki rakyatnya demi kelangsungan hidup negara tersebut, tak terkecuali negara-negara maju. Sampai ada pepatah mengatakan bahwa hanya ada dua hal yang pasti dalam hidup, yakni kematian dan pajak. Maklum, bagi masyarakat di beberapa negara, tingkat pajak yang sangat tinggi setara dengan kematian. Di Perancis misalnya, muncul usulan untuk meningkatkan tarif pajak penghasilan menjadi 75 persen, naik hampir 50 persen dibandingkan tarif pajak sebelumnya sebesar 48 persen. Selanjutnya ada Aruba dengan tarif pajak penghasilan sebesar 58,95 persen, Swedia dengan tarif 56,6 persen, Denmark dengan tarif 55,4 persen, dan Belanda dengan tarif 52 persen. Disusul oleh Belgia, Austria, Jepang, dan Inggris dengan tarif pajak penghasilan sebesar 50 persen. Terakhir, Finlandia serta Irlandia dengan tarif pajak penghasilan masing-masing 49,2 persen dan 48 persen.

Pajak Seakan Masih Menjadi Fobia

Fobia terhadap pajak mungkin memang belum pernah terdengar di telinga kita, namun pada kenyataannya hal tersebut benar-benar ada dan menjangkit mayoritas masyarakat Indonesia sampai saat ini. Bagaimana tidak, kata “pajak” seolah menjadi “momok menakutkan” bagi sebagian besar masyarakat. Dalih bahwa pajak itu tidak adil, pajak itu menyengsarakan, pajak itu semata hanyalah akal-akalan para pembuat kebijakan untuk melanggengkan kepentingan pemangku kekuasaan, atau bahkan kata-kata yang menyebut dan mempertanyakan “apa pentingnya pajak” masih sering kita dengar.

Padahal bila kita dapat meresapi makna kemerdekaan Indonesia, bagaimana Indonesia dapat menyelenggarakan pembangunan nasional yang masih terus berlangsung hingga kini, tentunya hal tersebut tidak bisa terlepas dari sumber pendanaan yang tidak sedikit jumlahnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa sumber pendanaan terbesar republik ini masih bergantung pada penerimaan perpajakan.

Seberapa Krusialnya Pajak?

Sejatinya, pajak merupakan bentuk pengamanahan harta kita kepada penyelenggara pemerintahan, yang akan digunakan untuk kepentingan kita bersama, demi mewujudkan kemakmuran bangsa. Pembiayaan negara dari hasil sumber daya alam tentu saja belum mencukupi, begitupun dengan utang luar negeri yang justru akan menjadi beban dan memberatkan generasi mendatang. Sehingga menjadikan pajak sebagai pilihan terbaik.

Penerimaan perpajakan nantinya akan dialihkan untuk belanja dan pembiayaan negara, di antaranya untuk membiayai aparat dan keperluan negara agar pemerintahan berjalan dengan baik dan lancar, membangun infrastruktur yang lebih baik, membantu jutaan anak Indonesia agar mendapat pendidikan yang layak, membiayai keperluan pengamanan dan pertahanan negara, menyediakan pelayananan kesehatan yang lebih memadai, serta subsidi (BBM, listrik, pupuk, dan sebagainya) sehingga masyarakat dapat memperolehnya dengan harga murah.

Dapat disimpulkan bahwa kelangsungan hidup negara ini sangat bergantung pada pajak. Pajak sebagai sarana mencapai tujuan bernegara yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur serta sarana mobilisasi sumber daya yang berasal dari aktivitas ekonomi masyarakat untuk membiayai pembangunan nasional. Pajak juga merupakan instrumen untuk mengurangi kesenjangan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia, penerimaan pajak dari sektor Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Pulau Jawa adalah sebesar 81,3 persen dari total penerimaan pajak seluruh Indonesia.

Sedangkan penerimaan terkecil adalah dari Bali dan Nusa Tenggara sebesar 1,4 persen dari total penerimaan pajak yang ada. Kemudian, dana transfer terbesar adalah untuk Pulau Sumatera sebesar 28,3 persen, sedangkan yang terkecil adalah untuk Bali dan Nusa Tenggara sebesar 5,3 persen. Begitu pula dengan belanja APBD terbesar terjadi di Pulau Jawa, sedangkan yang terkecil adalah di Bali dan Nusa Tenggara. Dengan adanya penerimaan pajak yang optimal, kesenjangan seperti ini akan lebih mudah diatasi.             

Momentum Hari Pajak Kedua dalam Bingkai Reformasi Perpajakan

Dengan diperingatinya Hari Pajak yang kedua pada tanggal 14 Juli 2019, diharapkan tidak sekadar menjadi seremonial belaka atau sebatas huru-hara dimana-mana, tidak pula hanya dirasakan oleh pihak internal semata atau segelintir masyarakat saja, melainkan dapat menyentuh segenap lapisan masyarakat yang ada. Saat kita mampu bersyukur dan memahami bahwa negara membutuhkan anggaran untuk pembangunan melalui pajak, hanya nurani kita yang bisa menggerakkan rasa untuk membayar pajak.

Di Hari Pajak yang kedua kalinya ini, rasanya kita semua perlu menyadari kembali betapa krusialnya pajak untuk mendanai kebutuhan negara kita yang sangat besar dengan jumlah penduduk yang begitu banyak. Langkah yang diambil pimpinan tertinggi kita sepertinya sudah tepat, yaitu mendukung Direktorat Jenderal Pajak untuk bereformasi menjadi institusi yang kuat, kredibel, dan akuntabel demi kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsinya. Upaya untuk menyadarkan para Wajib Pajak juga terus digalakkan para otoritas pajak sehingga kontribusi Wajib Pajak bisa meningkat.

Tidak kalah penting yang perlu dijaga kedepannya adalah konsistensi dari semuanya, karena kegiatan sosialisasi dan penyuluhan (peningkatan pemahaman atau kesadaran) bukan suatu hal yang bisa dilakukan sekali atau dua kali saja, melainkan harus berulang dan terus menerus dilaksanakan. Dengan begitu, pemahaman masyarakat dan kesadaran Wajib Pajak akan semakin meningkat. Akhirnya apa yang kita cita-citakan pun dapat tercapai, yakni terwujudnya masyarakat adil dan makmur seiring dengan terpenuhinya target penerimaan pajak. Karena pajak milik kita bersama, pajak kita untuk kita.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.