Oleh: Ahmad Dahlan, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Pagi itu, saya bertemu satu lagi dengan orang hebat. Adalah Pak Agus. Nama lengkapnya Agus Tri Haryanto. Beliau adalah kepala sekolah Yayasan Sayap Ibu Cabang Provinsi Banten, atau disebut juga Yayasan Sayap Ibu – Bintaro (YSIB). Saya bertemu beliau saat kunjugan bakti sosial dalam rangka memperingati Hari Pajak. Ini merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan memperingati pertama kalinya kata "pajak" muncul dalam rancangan UUD pada 14 Juli 1945. Tahun ini merupakan peringatan yang kedua sejak dicanangkan pada 14 Juli tahun lalu.

YSIB merupakan yayasan yang merawat sejumlah anak penyandang tuna daksa ganda yang diterlantarkan dan ditinggalkan oleh orang tua maupun sanak saudara di dalam panti. Di samping itu, kegiatan sosial lainnya adalah memberikan bantuan kepada anak-anak tuna daksa yang masih mempunyai orang tua atau keluarga yang merawatnya dalam kondisi kurang mampu atau prasejahtera.

Saat ini, yayasan yang pendiriannya diinisasi oleh oleh Ibu JS Nasution (istri Alm. Jend. AH Nasution) itu, menampung 36 anak penyandang disabilitas ganda yang tinggal di panti. Usia mereka 8 sampai 24 tahun. Sementara jumlah anak yang diberikan bantuan lebih dari 300, yang tinggal di beberapa kota, termasuk sebagian ada yang tinggal di luar pulau jawa. Bantuan yang diberikan, menurut salah satu pengurus yayasan, berupa pemberian nutrisi, konseling, pendampingan terapi, dan hal lain yang diperlukan bagi perkembangan mental dan fisik "anak-anak istimewa" itu.

Dalam sambutannya pada acara bakti sosial tersebut, kepala KPP PMA 6 Ramos Irawadi menyampaikan "Senang sekali saya bisa hadir di tempat ini. Ini adalah pengalaman yang tidak biasa bagi saya. Bertemu dengan mereka, melihat kegembiraan mereka, adalah juga kebahagiaan buat saya."

Beliau juga menambahkan, "Kita semua berharap, agar penerimaan pajak makin optimal, sehingga ke depannya mampu bertambah besar perannya untuk menyentuh yayasan-yayasan sosial seperti ini, di samping peruntukkan pembangunan infrastruktur."

Kami kemudian diberikan kesempatan oleh Pak Agus untuk berkomunikasi secara langsung dengan anak-anak yang sebagian besar duduk di kursi roda itu. Beberapa dari kami bahkan tampak akrab dengan mereka. Ada yang berswafoto-ria dan saling "menggoda".

"Lihatlah bapak-bapak ibu-ibu," cetus Pak Agus mengiringi keintiman kami dengan beberapa patah kata. "Tanpa harus memetikkan bulan buat mereka, cukup dengan mengajak berbicara, mereka sudah sangat bergembira. Merasa ada yang memperhatikan. Merasa ada teman," lanjut pak Agus yang tahu dari ekspresi muka bahwa mereka sangat berbahagia.

Secara khusus, saya kemudian mengajak berbicara Pak Agus. Dari awal mulai datang, saya memperhatikan beliau. Tampak semangat sekali dari mulai menyambut kami datang, mengajak senam pagi bersama, memberkan kesempatan kepada kami untuk berinterksi dengan mereka. Dari ekspresi wajah dan intonasi suaranya menunjukkan bahwa beliau sangat menikmati hidupnya. Pria yang kemudian diketahui kelahiran Wonogiri 46 tahun yang lalu itu, bercerita.

“Mengabdi ke sayap ibu merupakan lompatan buat saya. Selama 13 tahun, tepatnya dari tahun 1999-2011 saya bekerja di biro psikologi dan tempat terapi untuk anak -anak autisme dan hepraktif. Saya bangga dengan pekerjaan ini. Terbukti mampu menjalani selama itu. Namun seiring perjalanan waktu ada kejenuhan karena sifat kasusnya yang repetition atau pengulangan dan jarang sekali muncul hal unik dan baru.

Sampai pada titik antara tahun 2010-2011. Saya merasa stagnan, di mana saat itu yang saya rasakan adalah kepala mau pecah. Isi kepala serasa mau keluar. Di saat bingung, saya bersyukur masih menempatkan diri pada dimensi Illahi. Dalam kondisi seperti itu, doa saya hanya satu, “Ya Allah taruh saya di sebuah tempat yang menuruMu terbaik buat saya.”

Doa itu terkabul. Suatu pagi, Jum'at jam 07.30 di pada Mei 2012, karena suatu alasan saya bisa sampai di Yayasan Sayap Ibu ini. Suatu mu'jizat karena saya melihat 12 anak dengan kondisi laying. Berbaring sedang di jemur dan ditemani satu perawat.  Perasaan syok dan kaget. Yang terjadi saat itu, saya merasa seperti kenyang perut penuh. Situasi itu hampir seminggu saya rasakan. Saya mencoba merenungi, bersyukur dan muncul pikiran, apa yang dapat saya lakukan untuk membantu anak-anak ini.”

Pria lulusan S-1 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu kemudian melanjutkan ceritanya.

“Pertanyaan besarnya, saya mau donasi? Tapi saya tidak punya uang. Apa yang yang saya bisa? Keahlian mengajar anak-anak autisme dan ADHD. Maka, pada 1 Oktober 2013 saya resmi menjadi staf YSIB. Seiring berjalannya waktu banyak pelajaran yang saya petik. Salah satunya persepsi yang harus saya rubah baik secara individu dan masyarakat.

Mungkin orang menganggap pekerjaan saya begitu mulia. Melayani anak -anak disabilitas ganda. Padahal yang sebenarnya, saya menggunakan punggung mereka untuk hidup saya. Spirit yang saya miliki sumbernya dari mereka. Yang lebih besar, dalam iman saya merasa melihat hidayah dan miracle ada pada anak-anah ini.

"Saya jadi bisa terus mensyukuri agama dan semakin mencintai dan menghormati orang tua saya,” Pak Agus menutup cerita hidupnya.

Pak Agus adalah satu dari beberpa orang hebat yang pernah saya temui. Yang hidupnya didedikasikan untuk kebaikan. Ada yang dengan cara mendirikan yayasan untuk menampung anak-anak yatim, padahal ianya sendiri orang yang tak mampu. Ada yang seluruh hidupnya “disedekahkan” untuk merawat orang dengan gangguan jiwa yang dibuang oleh oleh keluarganya dan tak dipedulikan oleh dunia. Dan lain-lain, yang darinya mereka justru memperoleh kebahagiaan. Adalah kebahagiaan yang hakiki.

Hal yang saya tangkap dari kebahagiaan hidup orang-orang seperti Pak Agus, dan kebahagiaan kami pagi itu, adalah karena adanya semangat untuk berbagi. Berbagi apa sahaja yang mampu kita berikan. Maka pada akhirnya balasan kebaikan akan sampai kepada kita. Bukankah setiap agama mengajarkan demikian? Tuhan akan membalas kebaikan dengan kebaikan yang berlipat. Dunia juga mengajarkan hal yang sama dengan hukum “law of attraction”-nya, bahwa apa yang kita berikan, maka itulah yang akan kita terima.

Itulah maka, dalam setiap peringatan Hari Pajak, pucuk pimpinan di DJP menginstruksi kepada jajaranya untuk berbagi melalui bakti sosial. Dana donasi berasal dari saweran para pegawai. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur yang diwujudkan dalam bentuk kepedulian terhadap sosial kemasyarakatan.

Membayar pajak, sejatinya merupakan wujud berbagi yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Terstruktur, karena  digerakkan dari pucuk pemerintahan hingga aparatur di bawah. Sistematis berarti dilakukan secara terencana, yakni melalui peraturan perundang-undangan. Sedangkan masif karena dilakukan secara meluas di seluruh Indonesia.

Pajak, adalah wujud berbagi dari si kaya kepada si miskin. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara  yang lebih dari delapan puluh persennya bersumber dari pajak, terdapat alokasi langsung untuk meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat miskin. Alokasi tersebut setiap tahun mengalami kenaikan.

Dalam APBN 2019,  alokasi dana Program Keluarga Harapan (PKH) 2019 naik hampir dua kali lipat, dari Rp19,3 triliun menjadi Rp34,4 triliun. Dana yang diberikan kepada 10 juta orang yang termasuk kelompok miskin itu, dinaikkan untuk menurunkan tingkat kemiskinan yang masih di atas 9 persen.

Di samping itu, pemerintah mengalokasi anggaran pendidikan pada APBN 2019 naik sebesar Rp48,4 triliun dibandingkan 2018 lalu, menjadi sebesar Rp492,555 triliun. Sedangkan alokasi untuk kesehatan mengalami kenaikan sebesar Rp14,6 triliun dari tahun lalu, menjadi Rp123.1 triliun.

Dengan naikknya alokasi belanja negara di bidang sosial, diharapkan masyarakat yang masih tergolong misikin mendapat kesempatan yang sama dalam memperoleh haknya di bidang pendidikan dan kesehatan. Itu semua didapatkan dari hasil berbagi secara langsung dari si kaya dalam bentuk pajak.

Sementara hasil berbagi dari orang kaya kepada masyarakat lainnya yang secara tidak langsung adalah dalam bentuk pembangunan infrastruktur dan fasilits-fasilitas umum yang dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat.

Namun demikian, mengingat Indonesia merupakan negara yang jumlah penduduknya besar dan wilayahnya luas, alokasi perlindungan sosial yang berasal dari uang pajak itu belum bisa menjangkau seluruh masyarakat kurang mampu. Untuk itu diperlukan juga kepedulian masyarakat yang kemampuan ekonomi lebih, termasuk juga perusahaan-perusahaan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR).

Maka, Hari Pajak ini, mari kita jadikan momentum untuk berbagi. Berbagi dangan cara membayar pajak dengan benar sesuai jumlah yang seharusnya. Di samping itu, juga berbagi dalam bentuk donasi kepada masyarakat kurang mampu. (*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.