Oleh: Anang Purnadi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Lima seri debat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) telah diselenggaran sebagai bagian proses pemilihan umum tahun 2019. Masih teringat debat Cawapres Minggu (17/3/2019) pertanyaan sesi I tentang Pendapatan Domestik Bruto (PDB) diprediksi menempati posisi 5 besar dunia pada tahun 2045. Pencapaian itu mensyaratkan pembangunan berbasis ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi dimana riset menjadi kebutuhan utama. Kedua calon diberi pertanyaan bagaimana komitmen keduanya atas hal tersebut.

Pada April tahun lalu Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto pernah menyatakan, saat 100 tahun Indonesia merdeka pada 2045, Insya Allah Indonesia akan masuk lima negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Hal ini didasari gemilangnya kinerja industri nasional serta jumlah penduduk usia produktif dekade 2020-2030 yang diperkirakan mencapai 52% dari jumlah total.

Riset PricewaterhouseCoopers (PwC) bahkan merilis Indonesia mencapai posisi tersebut pada tahun 2030 dengan estimasi nilai PDB sebesar 5,424 miliar dolar Amerika Serikat (AS). Pada 2050 akan menempati posisi empat dengan perkiraan PDB sebesar 10,502 miliar dollar.

Posisi Riset Indonesia

Ada beberapa lembaga yang mewadahi riset di Indonesia antara lain Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan TInggi (Kemristekdikti), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Peringkat LIPI masih nomor satu di Indonesia versi Cybermatrics Lab, nomor enam puluh di Asia, 563 dari seluruh dunia. Sedangkan untuk wilayah ASEAN, LIPI berada di nomor empat, dibawah Agency for Science Technology and Research Singapore Singapura, International Rice Research Institute Filipina, dan Singapore General Hospital Singapura.

BPPT menempati posisi dua dalam negeri, 23 tingkat ASEAN, 274 untuk wilayah Asia, dan 1923 dari seluruh dunia.

Posisi 10 besar Asia masih ditempati Jepang dengan 6 institusi, sedangkan ASEAN didominasi Singapura dengan 6 institusi di 10 besar. Level dunia masih dipegang Amerika Serikat dengan 5 institusi di 10 besar.

Negara-negara dengan perekonomian maju mempunyai komitmen tinggi untuk berinvestasi dalam riset. Keyakinan riset berperan dalam mendorong kemajuan ekonomi, hal ini bisa dilihat raiso pengeluaran penelitian dan pengembangan terhadap PDB.

Data Bank Dunia pada akhir 2017 menyebutkan bahwa dana riset Indonesia hanya 0,3 persen dari PDB. Jumlah yang tertinggal jauh dari Thailand sebesar 0,6 persen, Malaysia 1,1 persen, Cina dua persen, dan Singapura sebesar 2,6 persen.

Dalam Nota Keuangan APBN 2019, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk Kemristekdikti sebesar Rp41,26 triliun. Anggaran tersebut naik dibanding 2018 sebesar Rp39,87 triliun, 2017 sebesar Rp37,7 triliun dan 2016 sebesar 37,67 triliun.

Dari nilai tersebut, anggaran untuk penguatan riset dan pengembangan tahun ini hanya dialokasikan sebesar Rp2,01 triliun, naik dari 2018 sebesar Rp1,84 triliun, dan 2017 sebesar Rp1,5 triliun.

Anggaran yang dikeluarkan pemerintah memang masih terpecah-pecah di berbagai Kementerian/Lembaga dan belum memberikan hasil yang signifikan. Secara ideal seharusnya hasil riset menjadi bahan inovasi dan bisa diterapkan dalam industri.

Peran Swasta dan Pemerintah

Permasalahan anggaran yang dinilai terlalu kecil harus diselesaikan bersama. Pihak swasta diharapkan mengambil peranan dalam membangkitkan semangat riset dan membangun link match antara peneliti dan industri, serta meningkatkan kemanfaatan riset bagi masyarakat.

Kondisi di Indonesia saat ini 80% dana riset berasal dari APBN, sedangkan 20% dari Industri. Keadaan ini terbalik dengan Singapura dan Korea Selatan di mana 80 hingga 84% berasal dari industri.

Pemerintah bisa memberikan kemudahan dan fasilitas melalui berbagai insentif dan disinsentif kepada pihak swasta untuk menarik minat pengembangan riset. Diantaranya melalui double tax deduction, yakni insentif pajak yang memberikan keringanan membayar pajak bagi perusahaan yang melakukan riset.

Perlakuan pajak atas dana riset berbeda-beda. Negeri tetangga, Malaysia memberi insentif pajak untuk riset sebesar 100% dari biaya riset. Wajib pajak disyaratkan mendapat persetujuan lebih dahulu dari pemerintah federal sebelum melaksanakan proyek riset. Insentif lain juga diberikan dalam bentuk pengurangan pajak terkait investasi yang biasa disebut dengan Investment Tax Allowance (ITA).

Sementara Singapura memberikan super deduction tax berupa 250% dari biaya atas riset yang berbasis di Singapura dan 300% atas riset di luar Singapura. Pengurangan pajak hingga 51% dari tarif seharusnya diberikan pada akhir masa pajak setelah riset rampung. Pengeluaran yang bisa dikurangkan adalah gaji peneliti, bahan material dan peralatan untuk riset.

Tarif pajak royalti untuk peneliti di Indonesia juga dirasakan masih terlalu tinggi. Mereka akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 23 atau 26 dengan tarif mulai dari 2%  hingga 15%.

Saat ini rencana pemerintah memberikan super deduction tax hingga 200%. Wacana pembebasan pajak untuk peneliti, meniru Prancis tengah dipertimbangakan untuk mendukung lembaga penelitian di Indonesia lebih cepat berkembang.

Misalkan, perusahaan melakukan riset selama satu tahun menjadi produk jadi mengeluarkan biaya riset sebesar Rp100 miliar. Jika super deduction tax 200% berarti pemerintah bisa memberikan pembebasan pajak sebesar Rp200 miliar.

Sebagai antisipasi, riset sebelum dilakukan harus didaftarkan di badan riset dalam hal ini Kemristekdikti, dan produk hasil riset telah didaftarkan di Kementerian Perindustrian. Hal ini sebagai tindakan untuk mencegah kecurangan dalam perolehan insentif pengurangan pajak.

Apakah tidak terjadi potensi kehilangan penerimaan pajak? Dalam jangka pendek akan terjadi kehilangan penerimaan. Namun dalam jangka panjang, riset dan yang dilakukan oleh industri berhasil dan menghasilkan suatu produk, maka akan dipastikan menambah pendapatan pajak dari PPh pasal 21 dan PPN.(*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.