Alkisah dalam sebuah tayangan video yang viral di media sosial beberapa waktu yang lalu, tampak seorang pemuda memungut sampah yang dibuang keluar dari sebuah mobil polisi, dan mengembalikan kepada pemiliknya sembari berpesan kepada pak polisi untuk membuang sampah pada tempatnya bukan dijalanan.

Pengalaman berikutnya,  pernahkah pada saat berkendara di ibukota anda dipotong seenaknya oleh pengendara lain? Saya pernah dan lumayan sering. Hingga suatu saat saya pernah nyaris jatuh karena keluar badan jalan. Bukannya minta maaf, si pengendara yang menyalip saya ini malah mengacungkan tinjunya ke arah kami. Saya cuma bisa geleng2 kepala sambil menghela nafas. Sabar ya mas kata istri saya.

Itu tadi kisah di ibukota, pun demikian pada saat memberikan pelayanan di Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) KP2KP Sarolangun. Meski termasuk daerah remote karena jarak tempuh dari bandara terdekat (Muara Bungo / Jambi) lebih dari 3 jam, namun jumlah wajib pajak KP2KP Sarolangun mencapai 28 ribu Wajib Pajak lebih. Banyaknya jumlah wajib pajak yang datang untuk dilayani yang tidak seimbang dengan jumlah petugas mengakibatkan panjangnya nomor antrian. Seringkali petugas pelayanan TPT mendapat cacian dan makian pada saat melayani, apalagi saat sistem aplikasi melambat kecepatannya atau mengalami kondisi kahar karena berbagai hal.

Dalam keseharian kita yang berkecimpung di dunia pelayanan, menerima hal-hal negatif seperti umpatan, cacian, makian, sumpah serapah, amarah, sindiran dan sejenisnya mungkin pernah atau bahkan sering kita alami.
Banyak Wajib Pajak yang di dalam dirinya menyimpan hal-hal negatif (sampah jiwa) tersebut. Lama kelamaan sampah jiwa itu menumpuk, semakin banyak dan semakin banyak lagi. Tanpa dia sadari tubuh dan jiwanya telah menjadi penimbunan sampah jiwa. Pada suatu titik sampah tersebut akan meluber keluar karena telah melebihi  kapasitas daya tampungnya.

Dia membutuhkan tempat untuk membuang sampah jiwanya sehingga menjadi mudah marah, mudah tersinggung, dan mudah membuang sampahnya ke semua orang yang ada di sekelilingnya.
Nah, jika kita menanggapi luberan sampah tadi dengan negatif juga, maka kita bersikap menerima sampah itu. Namun, saat kita bersikap sebaliknya, maka kita memilih untuk bebas dari sampah tersebut.

Apa pilihannya jika kita menghadapi luberan sampah dari WP yang kita layani? Apakah kita membalasnya dengan cara yang sama? Ataukah membalasnya dengan sesuatu yang positif dan  baik? Apakah kita mengembalikannsampah yang dibuangnya kepada kita dengan sumpah serapah, atau membalasnya dengan sesuatu yang penuh berkah? Mampukah kita membalas air tuba dengan susu strawberry milkshake yang diatasnya ada es krim dengan buah cherry segar?
Semua itu adalah pilihan.

Bersikap sabar dan ikhlas dalam situasi tersebut sudah merupakam sikap awal pilihan kita bahwa kita memilih untuk berada di sisi bebas sampah (jiwa).

(THL/16042018)