Agar Lapor Tak (Lagi) Jadi Bayar

Beberapa waktu lalu ramai publik merespons Ditjen Pajak agar telepon genggam dan barang mewah lainnya turut dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan wajib pajak. Tanpa diduga, opini bahwa ponsel pintar dan kawan-kawannya itu akan dijadikan objek pajak tambahan menjadi viral. Sebuah anekdot nyata yang membuktikan bahwa lema “lapor” bisa mengalami asosiasi makna menjadi “bayar” bila terkait dengan institusi pengumpul pundi-pundi negara. Demikian kuatnya sebuah citra (branding) tersemat pada instansi ini.

Andrew Beattie, dalam artikel berjudul “The Power of Branding”, mendefinisikan citra melampaui sebuah merk dagang, kumpulan dari total pengalaman konsumen atas produk yang dikenal dan efeknya sangat kuat. Yang membuat frustrasi para investor, citra sebuah produk merupakan aset tak berwujud yang kadang tak mampu dibukukan dengan baik. Hal ini disebabkan sebuah citra lekat dengan karakter emosional yang sulit terukur dan prinsip akuntansi tidak mampu secara akurat mengalkulasi hal ini. Pada akhirnya, pemangku kebijakan akan menggunakan psychological choice, alih-alih berhitung dengan angka, dalam menginvestasikan sumber dayanya pada peningkatan citra organisasi.

Di satu sisi, citra “Bayar Pajak” merupakan modal awal bagi Ditjen Pajak untuk dapat memitigasi masalah secara bijak dan menangkap momen ini untuk mengubahnya demi memperkuat slogan “Bayar Pajak Keren”. Di sinilah agen-agen kehumasan Ditjen Pajak mulai berperan.

Siapakah mereka?

Proses reformasi perpajakan yang terus bergulir selayaknya mengantarkan kesadaran akan wajah baru kita yang diidamkan masyarakat. Menurut data riset dari Markplus, citra institusi yang diinginkan oleh mayoritas publik di Indonesia adalah Muda (Youth), Energik, dan Bermanfaat. Maka strategi kehumasan Ditjen Pajak secara adaptif mentransformasi upaya masif menuju citra tersebut.

Pada akhir September lalu, Ditjen Pajak mengadakan Workshop Kontributor Konten Situs Pajak dan Media Sosial yang dihadiri lebih dari 45 peserta yang berasal dari unit kerja vertikal se-Indonesia. Selama dua hari, agen-agen kehumasan ini mendapatkan materi penuh gizi dari para pakar di berbagai lini: jurnalistik, analisis sosial media, ilmu desain grafis, dan gaya hidup digital. Sungguh menu yang komplet dan memberikan tambahan amunisi bagi para ksatria pewarta reformasi pajak.

Di hari kedua, para undangan juga berkenalan dengan perwakilan dari agen @kring_pajak. Sebagaimana diketahui, di akhir Januari 2016 lalu, Ditjen Pajak meluncurkan akun resmi @kring_pajak di media sosial Twitter selain @DitjenPajakRI sebagai alternatif saluran yang diharapkan mampu memberikan nuansa baru dalam mewujudkan gambaran citra sesuai ekspektasi follower-nya yang mempunyai rentang usia 18-34 tahun. Ini adalah inovasi lain yang perlu didukung dalam meningkatkan nilai aset tak berwujud institusi.

Seluruh peserta yang mewakili sejumlah Kantor Wilayah DJP, Kantor Pelayanan Pajak (KPP), dan Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Pajak se-Nusantara ini merupakan para informan yang akan meresonansikan kebijakan, pencapaian, dan inovasi baru Ditjen Pajak kepada khalayak. Posisi mereka sangat strategis sebab kreativitasnya dalam bekerja dan mengomunikasikan aturan-aturan yang rumit menjadi lebih membumi dan mudah dipahami masyarakat awam sungguh bukan pekerjaan mudah. Maka kerja cerdas dalam mengoptimalkan kecanggihan teknologi menjadi pilihan utama.

Terakhir, sebuah kalimat menutup kegiatan di atas dengan epik, “Institusi ini butuh lem perekat dan kalian adalah lem itu.” Ya, nilai-nilai positif dan perbaikan terus-menerus yang terjadi di dalam tubuh institusi ini, bisa jadi kurang bermakna tanpa peran mereka sebagai penyambung lidah kita; sebagaimana kita tak akan pernah bisa menikmati mitos legendaris Hercules tanpa eksistensi Iolaus yang selalu konsisten mengisahkan kedigdayaan manusia setengah dewa itu.(*)