Sebuah forum dunia bernama Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes dibentuk OECD (Organization for Economic Cooperation & Development) sebagai kelanjutan dari sebuah forum yang dibuat pada awal tahun 2000-an.

Anggota asli forum ini terdiri dari negara-negara OECD dan yurisdiksi yang telah sepakat untuk menerapkan transparansi dan pertukaran informasi untuk tujuan perpajakan. Forum Global direstrukturisasi pada bulan September 2009 sebagai tanggapan atas seruan G20 untuk memperkuat penerapan standar ini.

Forum yang memiliki 142 negara ini termasuk Indonesia  telah menguji transparansi dan pertukaran informasi yang efektif masing-masing negara anggota dan telah memberikan peringkat kepada 113 negara atau yurisdiksi. 

Berdasarkan penilaian yang bersifat secara keseluruhan tersebut, Indonesia telah ditempatkan dalam peringkat "Patuh Sebagian" (Partially Compliant), alasannya karena tidak adanya kewenangan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) selaku otoritas perpajakan di Indonesia untuk memperoleh dan menyediakan informasi keuangan (power to obtain and provide financial information)

Pemberian peringkat “patuh sebagian“ itu disebabkan masih adanya pembatasan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dalam undang-undang di bidang perpajakan, perbankan, perbankan syariah, dan pasar modal, serta peraturan perundang-undangan lainnya.

Akibatnya Indonesia dianggap tidak transparan dan kurang efektif dalam pertukaran informasi keuangan oleh seluruh negara atau yurisdiksi mitra pertukaran informasi dan sejumlah lembaga internasional.

Terkait pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, selain dilakukan dengan cara permintaan, dapat juga dilakukan dengan cara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information/AEOI). Saat ini terdapat 100 negara atau yurisdiksi termasuk Indonesia, telah menyatakan komitmennya untuk mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis berdasarkan Common Reporting Standard (CRS), yang disusun oleh OECD dan G20.

Komitmen Indonesia tersebut diwujudkan dengan ditandatanganinya Persetujuan Multilateral Antarpejabat yang Berwenang (Multilateral Competent Authority Agreement) atas AEOI pada tanggal 3 Juni 2015 dan Indonesia menyetujui untuk mulai melakukan pertukaran informasi keuangan secara otomatis pada bulan September 2018.

Untuk pelaksanaan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (AEOI), Global Forum telah memberikan peringkat kepada Indonesia sebagai negara yang berisiko gagal (at risk) untuk memenuhi komitmen AEOI karena belum tersedianya perangkat hukum primer berupa peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang untuk melaksanakan AEOI di Indonesia.

Apabila sampai dengan batas waktu tanggal 30 Juni 2017 Indonesia belum membentuk perangkat hukum primer dimaksud, Indonesia akan dipublikasikan sebagai negara yang gagal memenuhi komitmen (fail to meet its commitment) untuk pelaksanaan AEOI.

Dalam hal Indonesia dipublikasikan sebagai negara yang gagal dalam mewujudkan komitmen pada standar AEOI, Indonesia akan dimasukkan dalam daftar negara tidak kooperatif (Non-Cooperative Jurisdictions). Hal tersebut akan mengakibatkan kerugian yang signifikan bagi Indonesia, antara lain menurunnya kredibilitas Indonesia sebagai anggota G20, menurunnya kepercayaan investor, dan berpotensi terganggunya stabilitas ekonomi nasional, serta dapat menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan penempatan dana ilegal.

Dalam pergaulan internasional dua julukan buat Indonesia yaitu negara dengan peringkat Patuh Sebagian dan negara yang gagal dalam mewujudkan komitmen standar AEOI itu tentu tidak kita inginkan.

Untuk itu awal Mei 2017 lalu pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.

Sebuah langkah yang harus ditempuh untuk menghilangkan kendala akses yang luas dari sisi prosedur dan persyaratan bagi Ditjen Pajak untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan dalam pembentukan basis data perpajakan yang lebih kuat dan akurat.

Karena kendala akses itu memberikan ruang untuk wajib pajak yang tidak patuh dalam melaporkan penghasilan dan harta sesungguhnya. Pun, dapat menghambat terwujudnya keberlanjutan efektivitas kebijakan pengampunan pajak. Sekali lagi, ini yang kita tidak inginkan.

Dan jangan dilupa, harapan jangka pendek kita saat ini adalah agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat menyetujui Perppu itu untuk menjadi undang-undang. Semoga.