Pembaruan Ketentuan PKP via PER-19/PJ/2025: Keseimbangan antara Kemudahan dan Pengawasan
Oleh: Nurdin, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pengusaha perlu mengantisipasi serangkaian pembaruan aturan terkait pengusaha kena pajak (PKP). Beleid anyar itu perlu kita cermati karena dapat berdampak pada pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban pajak, khususnya para PKP. Perubahan beleid ini bukan hanya berkaitan dengan penggunaan Coretax DJP untuk pembuatan faktur pajak (FP) dan pelaporan SPT PPN saja, melainkan juga mencakup administrasi PKP seperti permohonan pengukuhan dan pengawasannya. Ketentuan yang bersifat pemberian fasilitas PPN, pada prinsipnya diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi atau mendongkrak daya beli masyarakat sedangkan pembenahan regulasi terkait administrasi PPN diharapkan semakin memberikan kemudahan. Meskipun demikian, pemerintah juga terus memperkuat proses pengawasan terhadap PKP mengingat tingginya risiko pajak dari sistem pemungutan PPN di Indonesia.
Kemudahan Pengukuhan PKP
Apabila dirunut dari peraturan pengukuhan PKP sebelumnya, terdapat pergeseran pendekatan dalam administrasi pengukuhan PKP. Pada awalnya, desain aturan pengukuhan diarahkan untuk memastikan pengusaha yang dikukuhkan sebagai PKP memiliki kepatuhan yang tinggi. Dalam aturan sebelumnya yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-04/PJ/2020 (PER-04) diatur bahwa selain mengisi formulir dan melengkapi dokumen persyaratan, pengusaha tersebut harus memenuhi syarat kepatuhan yaitu telah lapor SPT Tahunan untuk 2 (dua) tahun terakhir yang menjadi kewajibannya dan tidak ada tunggakan pajak kecuali yang sudah disetujui untuk diangsur atau ditunda. Syarat kepatuhan tersebut juga berlaku bagi para pengurus badan untuk pengusaha yang berbentuk badan.
Saat ini, pemerintah mempermudah pengusaha untuk dapat dikukuhkan sebagai PKP berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PMK 81/2024). Juga ada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-7/PJ/2025 tentang Petunjuk Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengusaha Kena Pajak, Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan serta Perincian Jenis, Dokumen, dan Saluran untuk Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (PER-7). Kedua ketentuan itu tidak mensyaratkan kepatuhan pelaporan SPT Tahunan dan utang pajak.
Berdasarkan PER-7, pengusaha cukup mengisi dan menyampaikan formulir pengukuhan disertai foto dan peta lokasi usaha. Adapun bagi pengusaha yang menggunakan kantor virtual, terdapat tambahan persyaratan yang terkait dengan penggunaan kantor virtual tersebut. Kemudian, kantor pajak cukup melakukan penelitian kantor untuk menguji kelengkapan data dan/atau dokumen terkait identitas, pendirian, dan kegiatan usaha, menguji kelengkapan lampiran foto dan peta lokasi usaha, dan memastikan bahwa pengusaha tersebut tidak sedang dilakukan penonaktifan akses pembuatan FP. Simplifikasi tersebut diharapkan mempermudah pengusaha untuk masuk dalam ekosistem PPN yang pada akhirnya berdampak positif pada penerimaan pajak.
Kemudahan lainnya adalah pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai PKP langsung diberikan akses pembuatan FP sejak tanggal dikukuhkan. Ini merupakan hal yang progresif karena dalam ketentuan sebelumnya, pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai PKP tidak otomatis dapat langsung menerbitkan FP. PKP tersebut harus mengajukan permohonan aktivasi akun PKP terlebih dahulu yang ditindaklanjuti dengan penelitian lapangan oleh kantor pajak. Apabila kantor pajak menyetujui permohonan aktivasi maka PKP atau wakil dari wajib pajak harus hadir langsung di kantor pajak untuk menuntaskan tahapan prosesnya. Selain dimudahkan dalam penerbitan FP berdasarkan aturan terkini, PKP juga tidak perlu lagi melakukan permintaan nomor seri FP karena penomoran FP sudah otomatis menggunakan Coretax DJP secara nasional. Dengan demikian, penyederhanaan administrasi pengukuhan PKP melalui perubahan aturan tersebut sangat menguntungkan terutama bagi pengusaha yang belum PKP yang ingin segera dikukuhkan sebagai PKP untuk menerbitkan FP.
Peningkatan Pengawasan PKP
Kemudahan bagi PKP untuk masuk dalam sistem PPN tentu harus diimbangi dengan perbaikan tata kelola pengawasan PKP oleh kantor pajak karena sistem PPN yang dianut Indonesia memiliki karakter pajak tidak langsung dimana penanggung pajak berbeda dengan pihak penyetor PPN ke negara. Sesuai dengan ketentuan PPN, penanggung beban PPN adalah konsumen akhir yang menyerahkan uang PPNnya melalui penjual. Penjual kemudian memperhitungkan PPN yang dibayar dengan PPN yang dipungut sehingga diperoleh PPN yang kurang atau lebih bayar yang nantinya dilaporkan melalui SPT. Sebagai sarana pemungutannya, para penjual yang dikukuhkan sebagai PKP menerbitkan FP yang dapat menjadi bukti untuk mengklaim PPN yang dibayar.
Aktivitas PKP dalam menerbitkan FP, menyetor PPN kurang bayar, dan melaporkan kegiatannya dalam SPT tentu harus diawasi dengan seksama karena terdapat risiko penerimaan pajak yang bahkan berpotensi menjadi tindak pidana perpajakan. Dalam pembuatan FP, tidak diatur batas maksimal nilai FP yang dapat diterbitkan sehingga FP tidak sah yang terbit tapi tidak berdasarkan transaksi sebenarnya dengan nilai signifikan tentu akan menggerus penerimaan melalui pengkreditan pajak masukan. Berbeda dengan pengamanan uang kertas yang diterbitkan Bank Indonesia berupa jenis kertas dan tinta khusus, tanda air, dan pita pengaman, selembar FP yang secara substansi memiliki nilai uang tidak memiliki fitur-fitur pengamanan seperti pada uang kertas. Bahkan FP tidak perlu dicetak karena saat ini sudah berbentuk dokumen elektronik. Oleh karena itu, pengawasan kantor pajak sangat penting untuk memastikan bahwa FP yang terbit benar secara formal dan material.
Untuk menyeimbangkan kemudahan pengukuhan PKP, PER-7 mengatur bahwa kantor pajak harus melakukan penelitian lapangan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak PKP dikukuhkan. Penelitian ini bertujuan untuk memastikan pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif dari PKP dengan membandingkan lokasi dan kegiatan usaha yang sebenarnya dengan data dan/atau dokumen yang disampaikan dalam permohonan. Apabila lokasi usaha ternyata tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya maka hasil penelitian dapat dijadikan sebagai dasar untuk mencabut pengukuhan PKP.
Selain penelitian pasca pengukuhan PKP, kantor pajak juga dapat menonaktifkan akses pembuatan FP atau lebih dikenal sebagai suspend PKP. Sesuai PMK 81/2024, PKP yang terindikasi menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak pengukuhan PKP serta PKP yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai kriteria yang ditetapkan DJP, dapat dikenai suspend PKP sehingga tidak bisa menerbitkan FP. Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan aturan pelaksanaan untuk kegiatan suspend PKP melalui peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-9/PJ/2025 tentang Penonaktifan Akses Pembuatan Faktur Pajak dalam rangka Penanganan Terhadap Kegiatan Penerbitan dan/atau Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah (PER-9). Ketentuan ini mengatur wewenang DJP untuk suspend PKP yang terindikasi menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak pengukuhan PKP.
Kemudian, Dirjen Pajak juga baru-baru ini menerbitkan peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2025 (PER-19) yang memperbarui ketentuan dalam PER-9 pada tanggal 22 Oktober 2022 untuk suspend PKP yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan.
Dalam PER-19 dijelaskan kriteria yang dapat menjadi dasar bagi kantor pajak menonaktifkan akses pembuatan FP yaitu tidak memotong atau memungut pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut secara berturut-turut dalam 3 (tiga) bulan, tidak menyampaikan SPT yang sudah menjadi kewajibannya, tidak menyampaikan SPT PPN yang sudah menjadi kewajibannya secara berturut-turut dalam 3 (tiga) bulan, tidak menyampaikan SPT PPN yang sudah menjadi kewajibannya untuk 6 (enam) masa pajak dalam 1 tahun kalender, tidak lapor bukti potong atau pungut yang sudah dibuat secara berturut-turut dalam 3 (tiga) bulan, atau memiliki tunggakan pajak dalam jumlah tertentu yang sudah ditegur dan tidak mendapatkan persetujuan tunda atau angsur. Kriteria tidak melaksanakan kewajiban pajak ini lebih luas apabila dibandingkan dengan aturan mengenai suspend PKP sebelumnya.
Pemungutan PPN yang Berintegritas
Sebelumnya, suspend PKP hanya dilakukan terhadap PKP yang terindikasi menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak pengukuhan PKP, menyampaikan dokumen pengukuhan PKP yang tidak sesuai keadaan sebenarnya atau dipalsukan, tidak lapor SPT PPN secara berturut-turut dalam 3 (tiga) masa pajak, atau tidak lapor SPT PPN untuk 6 (enam) masa pajak dalam 1 tahun kalender. Kriteria tidak melaksanakan kewajiban pajak dalam PER-19 juga menambahkan syarat pengukuhan PKP sebelumnya yaitu terkait pelaporan SPT Tahunan dan tunggakan pajak. Dengan demikian, meskipun PKP sudah dikukuhkan sebagai PKP dan sudah melalui proses penelitian lapangan tetapi apabila seiring berjalannya waktu PKP tidak melakukan kewajiban sesuai kriteria dalam PER-19 maka PKP tersebut terancam tidak dapat menerbitkan FP. Dalam kasus tertentu, suspend PKP ini dapat berujung pada pencabutan pengukuhan PKP. Penguatan ketentuan terkait pengawasan PKP ini diharapkan mendongkrak kepatuhan PKP dan risiko kebocoran penerimaan negara dari PPN dapat ditambal.
Keen dan Lockwood (2006) menyebutkan dalam artikel berjudul “Is the VAT a Money Machine?” bahwa PPN bisa menjadi mesin uang bagi pemerintah karena perkembangan ekonomi dalam suatu negara dapat berpengaruh positif pada potensi PPN yang dapat dikumpulkan. Dengan berbagai program pemerintah yang sudah ditetapkan maka PPN diharapkan bisa terus menjadi sumber penerimaan pajak yang andal sekaligus menekan dampak regresifnya terhadap masyarakat luas. Hal ini dapat dicapai dengan bauran kebijakan yang tepat. Insentif PPN dan pembaruan beleid yang mengatur administrasi PPN di tahun 2025 diharapkan dapat menjawab tantangan ini. Pengusaha diberikan kemudahan dalam menjadi bagian sistem PPN tetapi pelaksanaan hak dan kewajiban sebagai PKP tetap dilakukan secara bertanggung jawab karena adanya sistem pengawasan yang semakin komprehensif.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 212 views