Selain Jadi Content Creator, Ini 'Side Hustle' Wajib Gen Z Demi Indonesia Emas

Oleh: (Apriandi), pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pada tahun 2025, Indonesia berada pada persimpangan demografis dan digital yang paling menarik. Generasi Z, yang lahir dan besar dalam naungan internet super cepat, ekonomi gig, dan platform digital, bukan lagi sekadar ‘calon’ pemimpin masa depan. Mereka adalah aktor ekonomi nyata hari ini.
Sebuah Paradoks di Era Digital
Transaksi mereka—dari membeli kopi dengan quick response code Indonesian standard (QRIS), berlangganan layanan streaming, hingga menjadi content creator dengan penghasilan ratusan juta—semuanya meninggalkan jejak digital. Secara tidak langsung, jejak digital tersebut juga meninggalkan jejak perpajakan. Namun, di balik kecanggihan dan literasi digital mereka yang mumpuni, terselip sebuah paradoks: seberapa dalam pemahaman mereka tentang kontrak sosial bernama pajak?
Program Pajak Bertutur yang digalakkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menemukan momentumnya yang paling strategis di era ini. Kegiatan ini bukan lagi sekadar sosialisasi biasa, melainkan sebuah investasi intelektual yang mendesak. Tujuannya jelas tetapi ambisius: mentransformasi Generasi Z 2025 dari sekadar digital native menjadi tax literate citizen. Mengapa ini penting? Karena merekalah tulang punggung yang akan menggerakkan Indonesia menuju visi Generasi Emas 2045.
Kesadaran pajak yang tertanam kuat hari ini adalah fondasi bagi pembiayaan pembangunan yang berkelanjutan dan mandiri di masa mendatang. Tulisan ini akan membedah urgensi program tersebut dengan kacamata teori dan konteks kekinian, serta bagaimana pemerintah dan masyarakat dapat berkolaborasi untuk mewujudkannya.
Potensi Ekonomi dan Tantangan Kesadaran Pajak
Generasi Z Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan berjumlah lebih dari 70 juta jiwa. Mereka merupakan kelompok usia produktif terbesar yang tengah memasuki dunia kerja dan kewirausahaan. Karakter mereka unik: pragmatis, mandiri, berwawasan global, dan sangat melek teknologi. Mereka adalah generasi yang tidak takut untuk menjadi founder start-up, selebgram, trader, atau freelancer dengan penghasilan yang sering kali tidak terikat pada struktur formal.
Di sinilah letak tantangannya. Penghasilan yang tidak tetap dan berasal dari berbagai platform (multi-platform income) sering kali tidak dipersepsikan sebagai objek pajak yang wajib dilaporkan. Budaya ‘gig economy’ menciptakan persepsi bahwa setiap rupiah yang masuk adalah hasil jerih payah individu semata, terlepas dari ekosistem negara yang memfasilitasinya. Padahal, infrastruktur digital, keamanan siber, dan stabilitas ekonomi yang mereka nikmati adalah prasyarat yang disediakan oleh negara, yang dananya berasal dari pajak.
Dari Sosialisasi Menuju Edukasi
Program Pajak Bertutur harus berevolusi menghadapi karakter Gen Z ini. Pendekatannya tidak bisa lagi satu arah dan normatif. Pada tahun 2025, program ini harus menjadi sebuah gerakan edukasi yang memberdayakan, interaktif, dan seamlessly integrated dengan dunia digital mereka. Kontennya harus bergeser dari “apa itu pajak dan mengapa harus bayar pajak” menjadi “bagaimana pajak memberdayakanmu dan masa depanmu”.
Materi perlu dikemas dengan studi kasus nyata: “Bagaimana pajak dari transaksi e-commerce membangun pusat-pusat inovasi dan riset yang suatu hari bisa kamu gunakan?” atau “Bagaimana kontribusi pajakmu sebagai content creator mendanai beasiswa untuk adik-adik kelasmu di daerah?”.
Metode penyampaiannya harus memanfaatkan augmented reality (AR), virtual reality (VR) untuk simulasi dampak pajak, gamifikasi melalui aplikasi, serta kolaborasi dengan influencer muda yang kredibel. Tujuannya adalah untuk menciptakan ‘aha moment’ di mana Gen Z melihat pajak bukan sebagai kewajiban yang memotong penghasilan, tetapi sebagai investasi kolektif untuk masa depan mereka sendiri.
Theory of Planned Behavior dan Social Learning Theory
Keefektifan program ini dapat dirancang dengan pendekatan teori psikologi sosial yang tepat, seperti misalnya theory of planned behavior dan social learning theory. Theory of planned behavior (Icek Ajzen, 1991) menyatakan bahwa niat seseorang untuk melakukan perilaku tertentu (seperti taat pajak) dipengaruhi oleh tiga faktor.
Faktor pertama adalah attitude toward the behavior, yaitu berkaitan dengan apakah ia memandang taat pajak sebagai hal yang positif atau negatif. Faktor kedua adalah subjective norm yang berkaitan dengan apakah orang-orang di sekitarnya, seperti teman dan keluarga, mendukung perilaku taat pajak. Faktor ketiga adalah perceived behavioral control, yakni mengenai seberapa mudah ia merasa dapat memenuhi kewajiban perpajakannya.
Pajak Bertutur 2025 harus menargetkan ketiga faktor ini secara simultan. Pertama, membentuk attitude positif dengan menunjukkan manfaat nyata pajak. Kedua, membangun subjective norm dengan membuat taat pajak menjadi tren dan norma sosial yang cool di kalangan anak muda. Ketiga, meningkatkan perceived behavioral control dengan memastikan bahwa aplikasi dan prosedur perpajakan (seperti aplikasi mobile yang user-friendly) sangat mudah diakses dan digunakan oleh Gen Z.
Sementara itu, dalam kaitannya dengan social learning theory (Albert Bandura, 1977), Gen Z belajar dari observasi dan meniru model yang mereka kagumi. Oleh karena itu, kehadiran ‘role model’ seperti young entrepreneur sukses, tech founder, atau influencer yang secara terbuka membicarakan pentingnya taat pajak dan mendemonstrasikan cara melakukannya akan jauh lebih efektif daripada sekadar ceramah dari pihak berwenang. Mereka adalah bukti hidup (living proof) bahwa sukses secara finansial dan taat pajak adalah dua hal yang berjalan beriringan.
Pajak sebagai Pilar Kedaulatan Bangsa
Visi Indonesia Emas 2045 adalah visi tentang Indonesia yang berdaulat, maju, adil, dan makmur. Kedaulatan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh kemandiriannya dalam pembiayaan pembangunan. Ketergantungan pada utang luar negeri atau fluktuasi harga komoditas adalah model pembiayaan yang rapuh. Pajak adalah pilar paling kokoh untuk membangun kedaulatan fiskal tersebut.
Generasi Z 2025 adalah generasi yang akan memimpin puncak bonus demografi menuju 2045. Jika hari ini mereka dibekali dengan kesadaran pajak yang kuat, maka dalam 20 tahun ke depan, kita akan memiliki sebuah generasi pemimpin, profesional, dan pengusaha yang tidak hanya cerdas secara teknologi dan bisnis, tetapi juga memiliki integritas dan tanggung jawab fiskal yang tinggi.
Mereka akan menjadi wajib pajak yang patuh karena memahami filosofinya, bukan karena takut diperiksa. Inilah warisan yang lebih berharga daripada sekadar infrastruktur fisik: sebuah budaya patuh pajak yang tertanam dalam DNA generasi penerus bangsa.
Sinergi Segitiga Emas
Keberhasilan misi besar ini tidak bisa dibebankan hanya pada pundak Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Diperlukan sinergi yang kuat dari tiga pilar utama atau ‘Segitiga Emas’.
Pemerintah (Otoritas DJP), bertugas sebagai regulator dan enabler yang menyediakan platform teknologi yang canggih, data terbuka tentang alokasi pajak yang dapat diakses publik, serta kebijakan insentif yang menarik bagi wajib pajak muda (misalnya, tax holiday untuk start-up pemula).
Dunia Pendidikan, dalam hal ini kurikulum pendidikan, mulai dari sekolah menengah atas (SMA) hingga perguruan tinggi, perlu memasukkan literasi pajak dan kewarganegaraan fiskal (fiscal citizenship) bukan sebagai mata pelajaran kaku, tetapi sebagai bagian dari diskusi proyek kolaboratif dan kewirausahaan.
Komunitas digital dan sektor privat, platform digital besar, fintech start-up, dan komunitas online (seperti forum developer, komunitas kreator, dan sebagainya) dapat menjadi mitra strategis untuk mengintegrasikan nilai-nilai kepatuhan pajak dalam ekosistem mereka. Misalnya, dengan menyediakan fitur pengingat dan tutorial pelaporan pajak dalam aplikasi mereka.
Sebuah Panggilan Kolaborasi
Pajak Bertutur 2025 lebih dari sekadar program tahunan. Ia adalah sebuah gerakan nasional untuk memastikan bahwa transisi Indonesia dari negara dengan bonus demografi menjadi negara dengan bonus intelektual dan integritas fiskal berjalan mulus. Memahami Gen Z bukan dengan kacamata lama. Namun, kunci utamanya adalah dengan pendekatan yang sesuai dengan bahasa dan dunianya.
Membangun kesadaran pajak pada Gen Z adalah investasi jangka panjang dengan imbal hasil yang luar biasa, yaitu terciptanya Generasi Emas 2045. Generasi yang tidak hanya unggul dalam sumber daya manusia, tetapi juga memiliki komitmen kolektif untuk membiayai masa depannya sendiri secara mandiri. Mereka adalah generasi yang akan menyanyikan lagu baru: “Bayar pajak bukan karena kita takut, tapi karena kita paham. Bukan karena kita dipaksa, tapi karena kita berpartisipasi”.
Ayo dukung dan kolaborasi dalam setiap inisiatif Pajak Bertutur. Masa depan Indonesia yang berdaulat dimulai dari kesadaran yang kita tanam di ruang-ruang kelas dan di ruang-ruang digital hari ini. Mereka bukan hanya penonton yang menunggu warisan. Mereka adalah arsitek yang siap membangun dan setiap kontribusi pajak adalah bata pertama untuk Indonesia yang lebih kokoh.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 102 views