Oleh: (Rendy Brian Pratama), pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Tepat 14 Juli 2025, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 tentang Penunjukan Pihak Lain sebagai Pemungut Pajak Penghasilan serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan Melalui SIstem Elektronik (PMK 37/2025). Bak petir pada siang bolong, pajak bagi pedagang online ini sukses mengejutkan masyarakat pada tahun 2025 ini.

Suara netizen mulai terpecah. Sebagian menanggapi dengan positif, tetapi narasi negatif tetap berseliweran di jagad maya. Pemerintah seakan-akan tutup mata pada saat menerbitkan aturan ini, terkesan tidak peduli dengan kondisi ekonomi di Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja. Begitu kata mereka.

Namun, nyatanya dengan terbitnya PMK 37/2025 ini, pemerintah justru sedang berupaya untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyatnya atau setidaknya para pedagang dalam bentuk memberikan perlakuan pajak yang sama dan tidak memihak.

Aturan yang masih hangat ini sebenarnya menghadirkan kemudahan bagi pedagang online dalam memenuhi kewajiban perpajakannya alih-alih menjadi beban baru di masyarakat.

Paradoks Pajak sebagai Kewajiban

Alangkah indahnya ketika masyarakat sudah paham betul bahwa pembayaran pajak sebetulnya merupakan kewajiban alih-alih sebagai beban.

Hatta, wakil presiden pertama Republik Indonesia pernah berkata, “Pajak seharusnya diperlakukan sebagai kewajiban, bukan beban.

Pandangan Hatta ini tentunya menarik, karena bagi seseorang yang pernah merasakan dinginnya dinding penjara penjajah, pajak ternyata mempunyai arti penting di mata beliau. Namun, kondisinya berbanding terbalik. Di mata masyarakat, pajak sering kali dipandang sebagai kewajiban dan sekaligus sebagai beban layaknya satu paket yang tidak dipisahkan.

Menilik Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpaturan Perpajakan, pajak didefinisikan secara gamblang sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan, bersifat memaksa, tidak mendapatkan imbalan secara langsung, dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Tentunya, sebagai masyarakat yang sadar hukum, ketaatan kita pada suatu aturan akan mengantarkan kita pada kesepakatan bersama bahwa pajak di negara ini hukumnya wajib adanya.

Dapat dipahami bahwa di masyarakat masih terdapat pandangan bahwa membayar pajak adalah suatu beban. Hal tersebut tidak bisa dihindari, apalagi bila dikaitkan dengan salah satu karakteristik dari pajak itu sendiri. Pajak tidak memberikan imbalan secara langsung bagi wajib pajak yang telah melakukan kewajiban perpajakannya.

Oliver Wendell Holmes, Jr., seorang Hakim Agung di Amerika pernah berujar, “Pajak adalah harga yang kita bayar untuk hidup di dalam masyarakat yang beradab.” Bukan kebetulan Pancasila pada sila kedua juga menyampaikan pesan yang sama dalam frasa kemanusiaan yang beradab.

Tidak ada salahnya bagi kita untuk mengubah mindset (pola pikir) dari “saya dipaksa bayar pajak” menjadi “saya siap membangun negara melalui pajak”. Pada dasarnya, pajak yang kita bayarkan akan digunakan untuk membayar gaji guru, tenaga medis, subsidi pendidikan, infrastruktur, dan banyak keperluan negara lainnya.

Keadilan untuk Pelaku Bisnis

Perlu dipahami bahwa PMK 37/2025 ini mengatur tentang bagaimana pihak lain akan ditunjuk sebagai pemungut pajak atas transaksi ekonomi yang menggunakan saluran elektronik. Aturan ini akan memberikan status pengusaha marketplace (lokapasar) sebagai pemungut pajak. Artinya, pedagang online akan dimudahkan karena tidak perlu lagi menghitung dan menyetorkan lagi pajaknya secara mandiri.

Aturan ini memberikan payung hukum bagi pengusaha marketplace untuk melakukan pungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 ataupun PPh Final Pasal 4 ayat (2) kepada merchant yang menjual barang/jasa di lapak mereka.

Pemerintah tentunya tidak melupakan aspek kehati-hatian dalam hal pemungutan pajak melalui saluran elektronik ini. Hanya pengusaha marketplace yang memiliki nilai transaksi di Indonesia melebihi jumlah tertentu dan memiliki jumlah pengakses melebihi jumlah tertentu dalam kurun waktu 12 bulan saja yang akan ditunjuk sebagai pemungut pajak.

Tidak benar apabila disebutkan bahwa dengan terbitnya aturan  ini menimbulkan jenis pajak yang baru. Nyatanya, PPh Pasal 22 dan PPh final itu sudah ada sejak 1983 silam. Dalam hal ini, perlu diluruskan bahwa pemerintah tidak sedang menciptakan beban baru bagi masyarakat. Kedua jenis pajak ini sudah familier di kalangan wajib pajak yang selama ini patuh melakukan pembayaran pajak.

Sebagian kita mungkin pernah mendengar sosok yang bernama Ki Bagus Hadikusumo, salah satu tokoh Muhammadiyah dan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam salah satu pidatonya, beliau pernah berkata, “Negara harus memelihara keadilan dalam pembagian rezeki dan beban”. Bukankah kita dapat menangkap dengan jelas ada makna keadilan di dalamnya?

Demikian pula dengan aturan ini yang disusun untuk memenuhi prinsip keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Pasalnya, tidaklah adil apabila selama ini pajak yang disetor ke kas negara hanya menyasar para pelaku usaha yang berjualan di pasar formal hanya karena kegiatan mereka “kasat mata”.

Menurut Databoks Katadata (2024), nilai tranksaksi di marketplace Indonesia pada tahun 2023 sudah mencapai angka Rp1.100,87 triliun, meningkat 40 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Dari sisi keadilan, dengan angka sebesar itu menjadi tidak fair apabila pemerintah tidak menyentuh para merchant di yang berjualan di marketplace saat ini untuk segera memenuhi kewajiban pajaknya.

Lagipula, merchant yang bertransaksi melalui saluran marketplace dan memiliki omzet yang tidak melebihi Rp500 juta dalam setahun, tidak akan dipungut pajaknya. Perlakuan ini sama dengan yang diberikan kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di pasar formal.

Dengan diterapkannya mekanisme baru ini, tidak dapat dipungkiri apabila ke depannya akan terjadi kelebihan pembayaran pajak. Dalam hal terdapat selisih lebih antara pungutan pajak yang telah dilakukan dibandingkan dengan pajak penghasilan yang seharusnya terutang, atas selisih lebih tersebut masih dapat diajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.

Melalui terbitnya aturan pajak bagi pedagang online ini pemerintah berupaya menggugah partisipasi aktif dari calon wajib pajak dan wajib pajak terdaftar secara berkeadilan dalam upaya sinergi untuk membangun bangsa. Pasalnya, kebutuhan negara ini tidak dapat dipenuhi dengan mencetak rupiah sebanyak-banyaknya, tetapi dengan menyumbang bersama melalui pajak demi kemakmuran bangsa. Pajak Tumbuh, Indonesia Tangguh!

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.