Gotong Royong, “Koentji” Keberhasilan Pajak

Oleh: Dony Himawan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pada bulan Juli setidaknya terjadi dua peristiwa besar dan bersejarah bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni Hari Pajak dan Hari Koperasi. Keduanya diperingati berdekatan—Hari Koperasi pada tanggal 12 Juli dan Hari Pajak pada tanggal 14 Juli—seakan mengingatkan kita bahwa keberlanjutan bangsa tidak cukup hanya dengan semangat individu, tetapi juga harus ditopang oleh kerja kolektif. Dalam konteks Indonesia, kerja kolektif itu dikenal sebagai gotong royong.
Gotong royong bukan hanya tradisi warisan nenek moyang, melainkan juga falsafah yang mengakar dalam praktik-praktik sosial modern. Ketika pajak menjadi instrumen utama pembiayaan negara dan koperasi menjelma sebagai model ekonomi kerakyatan, keduanya merepresentasikan bagaimana nilai-nilai gotong royong tetap hidup dan bertransformasi dalam kehidupan kontemporer.
Pajak dan Gotong Royong
Hari Pajak yang diperingati setiap tanggal 14 Juli memiliki makna historis dan filosofis yang mendalam. Tanggal tersebut menandai saat istilah "pajak" pertama kali dimuat secara resmi dalam konstitusi negara melalui Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 (versi terakhir amandemen ketiga). Namun, lebih dari sekadar penanda sejarah, Hari Pajak menjadi ajakan kolektif untuk melihat kembali bahwa setiap rupiah yang disetor oleh wajib pajak adalah bentuk "urunan" rakyat bagi kelangsungan dan kesejahteraan bangsa.
Dalam semangat gotong royong, pajak bukan beban, melainkan partisipasi aktif warga negara. Kita menyumbang, bukan karena takut sanksi, tetapi karena sadar bahwa jalan yang mulus, sekolah yang layak, layanan kesehatan yang murah, dan perlindungan sosial yang adil membutuhkan biaya bersama. Dalam konteks ini, pajak menjadi wujud gotong royong dalam bentuk yang paling konkret: semua berkontribusi sesuai kemampuan dan semua memperoleh manfaat sesuai kebutuhan.
Lebih jauh, pajak adalah landasan kemandirian negara. Negara yang kuat tidak selamanya bergantung pada pinjaman luar negeri atau hibah internasional. Ia berdiri di atas kaki sendiri, dibangun dari peluh rakyatnya yang rela menyisihkan sebagian penghasilan demi kepentingan bersama. Kemandirian fiskal inilah yang memberi ruang bagi pemerintah untuk bergerak bebas, membuat kebijakan yang berpihak pada rakyat tanpa tekanan asing, dan menjamin kelangsungan pembangunan berkelanjutan.
Selain menjadi fondasi kemandirian, sistem pajak juga memuat unsur solidaritas sosial. Melalui mekanisme redistribusi, pajak mengalir dari kelompok masyarakat yang lebih mampu ke mereka yang membutuhkan. Subsidi, bantuan sosial, pendidikan gratis, hingga jaminan kesehatan nasional adalah bukti bahwa dengan membayar pajak, warga yang lebih kuat membantu menopang yang lemah. Ini adalah gotong royong dalam makna yang sangat aktual dan adil.
Koperasi dan Gotong Royong
Namun, gotong royong tidak hanya hadir dalam dimensi fiskal. Dalam ranah ekonomi mikro dan keseharian masyarakat, koperasi memainkan peran yang tak kalah penting sebagai wadah gotong royong yang berbasis solidaritas dan kebersamaan.
Hari Koperasi yang diperingati setiap tanggal 12 Juli menjadi pengingat akan pentingnya membangun ekonomi yang tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga manfaat kolektif. Koperasi hadir dengan prinsip “dari, oleh, dan untuk anggota”. Tidak ada dominasi pemilik modal besar. Setiap anggota memiliki suara yang setara. Keuntungan dibagi bukan berdasarkan seberapa besar modal yang ditanamkan, melainkan berdasarkan partisipasi dalam kegiatan usaha koperasi. Di sinilah nilai egalitarian dan keadilan sosial menemukan bentuknya dalam praktik ekonomi.
Di tengah tantangan kapitalisme global yang kerap mempertajam kesenjangan, koperasi menjelma sebagai solusi ekonomi yang lebih inklusif. Masyarakat yang kerap termarjinalkan dalam sistem ekonomi konvensional menemukan ruang untuk berdaya melalui koperasi. Dengan saling urun modal, mereka bisa membangun usaha bersama, memperkuat posisi tawar, dan memenuhi kebutuhan hidup dengan harga yang lebih terjangkau. Dari koperasi simpan pinjam hingga koperasi konsumen dan produsen, gotong royong menjadi fondasi utamanya.
Lebih penting lagi, koperasi bukan sekadar alat produksi atau distribusi, melainkan juga sarana membangun solidaritas sosial di tingkat lokal. Musyawarah, mufakat, transparansi, dan pembagian hasil yang adil menjadikan koperasi tempat warga belajar demokrasi ekonomi secara langsung. Dalam suasana kekeluargaan yang tetap profesional, koperasi menjadi laboratorium nilai gotong royong yang hidup dan berfungsi nyata.
Wajah Berbeda, Semangat Sama
Jika pajak memperkuat pilar negara dari sisi makro, maka koperasi memperkuat sendi-sendi masyarakat dari bawah. Keduanya adalah wajah berbeda dari semangat yang sama: gotong royong. Di satu sisi, kita diajak untuk ikut membiayai negara melalui pajak. Di sisi lain, kita bisa membangun kemandirian ekonomi melalui koperasi. Keduanya saling melengkapi dalam membentuk sistem sosioekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Kita sering kali melihat gotong royong hanya sebagai aktivitas fisik: kerja bakti membersihkan lingkungan, membangun jembatan desa, atau membantu tetangga saat hajatan. Namun dalam dimensi modern, gotong royong juga berarti ikut menyumbang melalui pajak dan aktif menjadi bagian koperasi yang sehat dan transparan. Ini adalah bentuk tanggung jawab sosial yang terstruktur, sistematis, dan memiliki dampak jangka panjang.
Di tengah dunia yang makin individualistis dan kompetitif, peringatan Hari Pajak dan Hari Koperasi menjadi momen yang tepat untuk menguatkan kembali nilai-nilai kolektif dalam kehidupan kita. Ketika tantangan global datang silih berganti—krisis iklim, ketimpangan ekonomi, disrupsi digital, dan lain-lain—gotong royong dalam berbagai bentuk adalah jalan tengah yang menjanjikan solusi berkelanjutan.
Butuh Kontribusi Bersama
Tentu masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Tingkat kepatuhan pajak masih perlu ditingkatkan. Kesadaran masyarakat terhadap fungsi pajak sebagai alat keadilan sosial perlu diperluas. Di sisi lain, koperasi perlu direformasi agar lebih profesional, akuntabel, dan relevan dengan kebutuhan zaman. Namun, semua itu tidak akan berjalan tanpa fondasi nilai yang kokoh. Nilai itu adalah gotong royong.
Dalam satu pekan, dua hari penting ini—tanggal 12 dan 14 Juli—menjadi pengingat kuat bahwa kita tidak bisa membangun bangsa seorang diri. Kita membutuhkan kontribusi bersama. Entah melalui kewajiban sebagai pembayar pajak, atau lewat partisipasi aktif dalam koperasi. Semua bentuk kerja kolektif ini adalah jalan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih adil, mandiri, dan sejahtera.
Maka dari itu, mari rayakan Hari Pajak dan Hari Koperasi bukan hanya dengan seremoni dan slogan, tetapi dengan kesadaran baru bahwa gotong royong adalah denyut nadi bangsa yang harus terus dirawat. Pajak dan koperasi bukan sekadar sistem teknis, melainkan alat perjuangan untuk menyalakan kembali semangat kebersamaan dalam menghadapi tantangan zaman.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 90 views