Oleh: Stefany Patricia Tamba, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Ketegangan geopolitik dan kebijakan tarif proteksionis Amerika Serikat kembali mendominasi sorotan ekonomi global. Salah satu yang paling terasa adalah rencana pemberlakuan tarif sebesar 32% atas sejumlah komoditas ekspor Indonesia ke AS. Langkah ini berisiko memperlemah kinerja ekspor nasional dan mendorong biaya transaksi perdagangan internasional meningkat signifikan. Menanggapi hal ini, pemerintah Indonesia tengah mengupayakan jalur diplomatik melalui negosiasi bilateral dengan Washington. Indonesia menawarkan skema timbal balik berupa pemangkasan tarif impor terhadap beberapa produk AS, termasuk pembelian gandum, energi, dan perluasan investasi strategis di sektor hilirisasi. Harapannya, kesepakatan jangka pendek tercapai sebelum awal Agustus 2025.

Namun, dari perspektif perpajakan, situasi ini tidak dapat dibaca hanya dalam bingkai perdagangan luar negeri. Fragmentasi ekonomi global yang dipicu oleh kebijakan tarif tinggi menciptakan potensi risiko fiskal yang signifikan. Ketika arus perdagangan dan investasi internasional terganggu, otomatis basis pajak dari aktivitas ekspor-impor, sektor manufaktur, hingga logistik akan ikut terdampak. Menurut data Direktorat Jenderal Pajak (2024), sektor manufaktur menyumbang lebih dari Rp312 triliun penerimaan pajak, sementara sektor perdagangan internasional memberikan kontribusi Rp127 triliun. Jika kebijakan tarif AS terealisasi tanpa mitigasi, potensi kontraksi penerimaan bisa mencapai 8–10% dari dua sektor tersebut, setara dengan Rp35–45 triliun potensi pajak yang tergerus.

Dalam praktiknya, tarif 32% terhadap ekspor Indonesia ke AS berpotensi menurunkan volume ekspor, yang berarti penurunan atas pajak penghasilan (PPh) badan dari sektor produsen, PPh final usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pengekspor, serta pajak pertambahan nilai (PPN) atas barang kena pajak ekspor. Sebagai ilustrasi, jika penurunan ekspor ke AS mencapai ASD2 miliar dalam satu semester akibat tarif ini, maka dengan margin laba kena pajak rata-rata 10% dan tarif PPh Badan 22%, potensi kehilangan penerimaan PPh bisa mencapai sekitar Rp6,8 triliun. Ditambah hilangnya potensi PPN ekspor sebesar 11% dari nilai transaksi, maka risiko fiskal dapat membengkak dua kali lipat.

Tantangan tidak berhenti pada risiko penerimaan. Dalam konteks global yang makin terfragmentasi, sistem pembayaran alternatif seperti cross-border interbank payment system (CIPS) di Tiongkok dan pengembangan central bank digital currency (CBDC) menggeser dominasi dolar AS dalam transaksi lintas negara. Meskipun sistem ini menjanjikan efisiensi, ia juga menciptakan kompleksitas baru dalam hal pelacakan transaksi dan identifikasi subjek pajak. Aliran dana digital yang tidak melalui sistem perbankan konvensional berpotensi meningkatkan praktik penghindaran pajak atau tax evasion dan arbitrase pajak lintas yurisdiksi.

Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (the Organization for Economic Co-operation and Development atau OECD) dalam laporan "Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2023" menyatakan bahwa negara berkembang menghadapi tantangan besar dalam menjaga transparansi fiskal di tengah diversifikasi sistem pembayaran global. Indonesia termasuk negara yang paling proaktif dengan menerapkan automatic exchange of information (AEOI), common reporting standard (CRS), dan penggunaan nomor induk kependudukan (NIK) sebagai nomor pokok wajib pajak (NPWP). Namun, sistem perpajakan tetap membutuhkan adaptasi lebih lanjut, terutama dalam memastikan integrasi antara data perdagangan luar negeri, sistem kepabeanan, dan platform transaksi digital lintas negara.

Salah satu risiko besar adalah invoice manipulation dan under-invoicing, terutama pada perdagangan bilateral dengan negara-negara yang tidak memiliki skema pertukaran data terbuka. Dalam konteks negosiasi tarif AS-Indonesia, otoritas perpajakan menyiapkan langkah pengawasan lebih ketat atas nilai transaksi, transfer pricing, dan rekonsiliasi data ekspor-impor. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2013 tentang Pedoman Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak Yang Memiliki Hubungan Istimewa perlu diperkuat dengan pengawasan berbasis risiko. Khususnya pada klausul penentuan harga transfer dan dokumentasi transfer pricing. Selain itu, kolaborasi langsung dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menjadi faktor kunci keberhasilan. Misalnya, pada ekspor logam dasar, jika invoice dikurangi 20% dari nilai pasar aktual, maka potensi pengurangan basis PPh ekspor dan restitusi PPN bisa mencapai ratusan miliar rupiah per pelaku.

DJP juga perlu mengantisipasi efek lanjutan dari investasi baru sebagai bagian dari paket negosiasi bilateral. Pembelian gandum dan energi dari AS dapat berdampak pada struktur biaya dan pajak masukan bagi pelaku industri dalam negeri. Sebagai contoh, pembelian energi senilai ASD1 miliar, jika dikonversi dalam bentuk transaksi PPN 11% dan jasa angkut internasional, berpotensi memunculkan kewajiban pelaporan PPN lintas tempat dan risiko kredit pajak ganda. 

Di sisi lain, tren digitalisasi sistem pembayaran seperti CBDC dan CIPS juga membuka peluang penerapan pemajakan berbasis transaksi digital. Integrasi antara proyek Digital Rupiah milik Bank Indonesia dan sistem e-faktur serta e-bupot dari DJP dapat menciptakan ekosistem pelaporan yang real-time dan berbasis data. Jika interoperabilitas sistem ini berhasil diterapkan, maka akurasi pelaporan pajak lintas negara akan meningkat signifikan. Misalnya, penerapan sistem pelaporan real-time untuk eksportir dan importir yang memanfaatkan kanal pembayaran non-dolar dapat mengurangi risiko tax loss sebesar 15–20%.

Pemerintah Indonesia tidak hanya merespons tekanan eksternal dengan langkah diplomatik, tetapi juga dengan kesiapan fiskal yang adaptif. Peran Direktorat Jenderal Pajak menjadi sangat strategis dalam mengawal integritas fiskal, menjaga keberlanjutan penerimaan negara, dan mencegah praktik penghindaran pajak di tengah sistem ekonomi global yang makin cair. Dalam dunia yang makin terfragmentasi, soliditas sistem perpajakan adalah fondasi utama kedaulatan ekonomi nasional. Saat tarif menjadi alat politik dan sistem pembayaran berpindah ke ranah digital, perpajakan menjadi jangkar yang menstabilkan. Pajak tidak boleh tertinggal dari dinamika global, justru harus memimpin dalam adaptasi dan inovasi.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.