Oleh: Stefany Patricia Tamba, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Di tengah pesatnya pertumbuhan ekonomi digital, Indonesia menghadapi paradoks fiskal yang semakin kompleks. Nilai transaksi e-commerce nasional diperkirakan mencapai Rp487 triliun pada tahun 2024 (Badan Pusat Statistik & Direktorat Jenderal Pajak), namun kontribusi sektor ini terhadap penerimaan pajak belum mencerminkan potensi riilnya. Menurut laporan SEA e-Conomy 2023 dari Google, Temasek, dan Bain & Company, ekonomi digital Indonesia merupakan yang terbesar di Asia Tenggara, dengan proyeksi menyentuh USD82 miliar pada 2025. Namun, potensi tersebut belum tergarap optimal dalam sistem perpajakan.

Fenomena ini diperparah oleh rendahnya tingkat kepatuhan perpajakan dari pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) digital yang mendominasi lanskap perdagangan daring. Berdasarkan data DJP, pada tahun 2024 hanya sekitar 653.000 dari 1,6 juta wajib pajak UMKM yang menyetor pajak penghasilan (PPh) final. Artinya, lebih dari 900.000 pelaku usaha, mayoritas berbasis online, belum berkontribusi terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) meskipun aktivitas ekonominya masif. Jika dikaitkan dengan besaran potensi, dengan asumsi margin bersih 10–20%, maka pendapatan yang tidak tercatat dapat mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahun.

Baca juga:
Simak! Baru Terbit PMK 37/2025, Pengelola Platform Lokapasar Kini Pungut PPh Pasal 22

Untuk menjawab tantangan tersebut, Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 tentang Penunjukan Pihak Lain Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMK 37/2025). Regulasi ini menjadi langkah strategis DJP dalam memperkuat basis pajak sektor digital melalui skema pemungutan pajak berbasis platform atau dikenal sebagai pendekatan "collect at the source". Lokapasar atau marketplace ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas transaksi yang dilakukan pedagang pengguna platform. Dengan tarif 0,5% dari peredaran bruto, tidak termasuk pajak pertambahan nilai (PPN), mekanisme ini mengedepankan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas.

Skema ini diberlakukan untuk pedagang yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) atau sudah terverifikasi melalui nomor induk kependudukan (NIK). Untuk melindungi pelaku mikro, pedagang dengan omzet kurang dari Rp500 juta per tahun dibebaskan dari pemungutan, cukup dengan menyampaikan surat pernyataan. Dikecualikan pula transaksi tertentu seperti layanan ojol, pulsa dan token listrik, logam mulia, serta tanah dan bangunan. Marketplace lokal dan asing wajib menyetorkan dan melaporkan data pajak secara rutin ke DJP, sehingga mengakselerasi integrasi dengan sistem pengawasan berbasis single identity number (SIN).

Berdasarkan hitungan konservatif, jika hanya 10% dari total transaksi e-commerce (Rp487 triliun) dipungut PPh Pasal 22 sebesar 0,5%, potensi penerimaan mencapai Rp2,4 triliun per tahun. Ini belum memperhitungkan efek lanjutan berupa peningkatan pelaporan SPT Tahunan, setoran PPN, dan peningkatan kepatuhan dari Wajib Pajak baru. Ditambah dengan estimasi DJP yang menyebut sekitar 800.000 pelaku usaha baru akan masuk ke sistem perpajakan, PMK 37/2025 menjadi kendaraan penting menuju perluasan basis pajak secara sistemik dan berkelanjutan.

Kemudahan Demi Pertumbuhan

Tidak hanya berdampak pada penerimaan, PMK 37/2025 juga meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan. Delegasi pemungutan kepada marketplace menekan cost of compliance dan cost of collection. Di saat yang sama, pelaku usaha tidak terbebani proses pembayaran karena dilakukan otomatis oleh platform. Ini adalah bentuk kemudahan berusaha dalam praktik, bukan hanya slogan.

Tentunya, kebijakan ini mengandung sejumlah risiko teknis dan implementatif. Risiko duplikasi pemungutan bagi pelaku usaha lintas kanal dapat muncul jika tidak diimbangi dengan integrasi data yang solid. Masalah kepatuhan marketplace asing pun dapat menjadi hambatan. Namun, seluruh risiko ini telah diperhitungkan dan dimitigasi melalui instrumen regulasi lain seperti PMK Nomor 60/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Pemungutan pajak dalam perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) serta penerapan sanksi administratif bagi entitas yang tidak kooperatif menunjang mitigasi risiko tersebut. Edukasi publik juga menjadi pilar penting untuk mencegah kesalahpahaman bahwa ini adalah "pajak baru". Faktanya, ini hanyalah perubahan mekanisme pemungutan yang lebih efisien dan setara.

PMK 37/2025 tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari ekosistem kebijakan perpajakan digital nasional. Ini sejalan dengan peta jalan pertumbuhan rasio pajak dari 10,4% di 2024 menuju target lebih dari 13% pada tahun 2028, sebagaimana tercantum dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025. Transformasi ini juga mendukung target perluasan basis pajak melalui reformasi administrasi, perluasan data, dan optimalisasi sistem informasi berbasis risiko.

DJP hadir untuk menjamin bahwa kebijakan ini berjalan dengan adil, efisien, dan berpihak kepada kepentingan publik. PMK 37/2025 adalah wujud nyata kehadiran negara dalam menjawab tantangan pajak digital dengan pendekatan modern dan solutif. Kebijakan ini bukan hanya tonggak penting dalam sejarah perpajakan, melainkan juga hadiah bermakna di Hari Pajak 14 Juli 2025 bagi masyarakat pelaku usaha digital. Bukan sekadar peringatan, melainkan bukti konkret bahwa DJP terus berinovasi demi memudahkan rakyatnya untuk bertumbuh bersama negara.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.