PMK 136/2024: Suar Keadilan dalam Pengaturan Pajak Minimum Global

Oleh: Fatikha Faradina, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Gambar di atas diambil dari cuplikan serial Netflix berjudul The Gentlemen (tayang perdana 2024) yang menunjukkan high wealth individual (kelompok wajib pajak super kaya) yang selalu mencari celah untuk mengelak dari pajak (tax evasion). Praktik pengemplangan pajak selalu menjadi isu utama dalam perpajakan internasional, diperlukan sebuah strategi yang tepat untuk melawannya.
"A global minimum tax will end the race to the bottom in corporate taxation and ensure fairness for the middle class and working people."
Pajak minimum global akan mengakhiri perlombaan ke dasar dalam tarif pajak perusahaan dan memastikan keadilan bagi kelas menengah dan pekerja. Kalimat tersebut dituturkan oleh Janet Yellen, Menteri Keuangan Amerika Serikat dalam Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G7 yang diselenggarakan di London pada 4-5 Juni 2021. Pernyataan ini menyoroti dorongan global untuk mengakhiri "perlombaan ke dasar" dalam tarif pajak perusahaan, sehingga memastikan bahwa perusahaan multinasional (multinational companies atau MNC) membayar pajak secara adil. Indonesia, yang telah lama berkiprah dalam isu perpajakan internasional dengan menjadi anggota dari G20, forum kerja sama multilateral yang beranggotakan negara-negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia, ikut serta mengambil langkah tegas dalam menyikapi pajak minimum global.
Sebagaimana diketahui, Indonesia masih rentan dimanfaatkan oleh para pengemplang pajak. Laporan Tax Justice Network (2023) menunjukkan bahwa Indonesia setidaknya kehilangan 2.736,5 juta dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp44 triliun dari pengemplangan pajak oleh perusahaan, dan 69,8 juta dolar AS atau sekitar satu triliun rupiah dari pelarian aset ke luar negeri. Jumlah kerugian itu dihitung dengan kurs berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 27/KM.10/KF.4/2024. Yakni, senilai Rp16.343 per dolar AS yang berlaku pada 26 Juni 2024 hingga 2 Juli 2024.
Kini, tak ada celah pengemplangan pajak lagi, pemerintah mengambil langkah strategi dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2024 tentang Pengenaan Pajak Minimum (PMK 136/2024) sebagai bagian dari komitmen dalam kerja sama perpajakan global yang disepakati dalam 15 action plans (rencana aksi) untuk menangani Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). PMK ini terdiri dari 16 bab dan secara spesifik dibuat sebagai manifestasi dari Aksi 1 tentang Tantangan Perpajakan dalam Ekonomi Digital.
Berikut adalah lima hal pokok yang diatur secara detail dan jelas dalam PMK tersebut.
Subjek Pajak
PMK 136/2024 mengatur bahwa pajak minimum global ini berlaku bagi perusahaan multinasional yang memiliki pendapatan tahunan konsolidasi minimal 750 juta euro atau setara dengan sekitar Rp12,5 triliun. Ketentuan ini sejalan dengan standar yang ditetapkan oleh OECD/G20 dalam Pilar 2 Global Anti-Base Erosion (GloBE) Rules. Terdiri dari Income Inclusion Rules (IIR), Undertaxed Payment Rules (UTPR), dan Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT).
Tarif Pajak
Perusahaan yang memenuhi kriteria akan dikenakan pajak minimum sebesar 15%. Tarif ini diberlakukan untuk memastikan bahwa setiap perusahaan membayar pajak dengan tarif efektif yang adil, mengurangi insentif untuk melakukan praktik pergeseran laba ke yurisdiksi pajak rendah. Implementasi melalui pengaturan dalam ketentuan domestik berdasarkan common approach.
Metode Pemungutan dan Pelaporan
Indonesia menerapkan mekanisme Income Inclusion Rule (IIR) dan Undertaxed Payments Rule (UTPR) untuk memastikan perusahaan multinasional yang memiliki anak usaha di Indonesia tetap memenuhi kewajiban pajaknya. Perusahaan wajib melakukan pelaporan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dampak terhadap Penerimaan Negara
Penerapan pajak minimum global ini diperkirakan akan meningkatkan penerimaan pajak Indonesia secara signifikan. Dengan menutup celah penghindaran pajak, dana yang sebelumnya keluar ke negara-negara dengan pajak rendah kini dapat dimanfaatkan untuk pembangunan nasional.
Sanksi
Untuk memastikan kepatuhan, PMK 136/2024 juga mengatur sanksi administratif dan denda bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban pajak minimum global yang menginduk pada UU KUP. Hal ini bertujuan untuk mencegah penghindaran pajak dan meningkatkan transparansi dalam perpajakan internasional.
Torslov menyatakan pada tahun 2019, Indonesia diperkirakan kehilangan penerimaan pajak penghasilan badan sebesar US$2,995 miliar (lebih dari Rp46 triliun) karena perusahaan multinasional mengalihkan laba sekitar US$11,9 miliar (sekitar Rp184 triliun) ke yurisdiksi dengan pajak lebih rendah seperti Swiss, Belanda, Hong Kong, dan Singapura. Berlanjut pada tahun 2024, International Monetary Fund (IMF) memperkirakan Indonesia kehilangan sekitar 3,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB) akibat penghindaran pajak dan praktik ilegal lainnya. Dengan PDB kuartal I-2024 mencapai Rp5.288,3 triliun, potensi kehilangan ini setara dengan Rp195,67 triliun per kuartal.
Terbitnya PMK 136/2024 bersama dengan aplikasi Coretax DJP merupakan bentuk keseriusan otiritas pajak dalam mereformasi sistem perpajakan Indonesia menuju kesempurnaan. Mari dukung upaya pemerintah dalam membasmi pengemplang pajak dengan menjadi wajib pajak yang cerdas, mandiri, berliterasi tinggi.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 41 views