Coretax DJP dan Tax Evasion

Oleh: I Gede Suryantara, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Tanggal 1 Januari 2025 menjadi penanda awal berlakunya sistem perpajakan yang terintegrasi yaitu Core Tax Administration System atau yang dikenal di berbagai media dengan Coretax Direktorat Jenderal Pajak (Coretax DJP). Sistem baru tersebut merupakan sebuah pembaruan yang merupakan bentuk kesiapan DJP untuk menjawab tantangan zaman, salah satunya adalah pengelakan pajak (tax evasion).
Peluncuran aplikasi Coretax DJP dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, setelah rapat Tutup Kas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 di Kementerian Keuangan. Coretax DJP merupakan pembaruan yang meliputi penataan kembali proses bisnis, teknologi informasi, dan basis data administrasi perpajakan, termasuk regulasi. Dengan ini, DJP telah memasuki era baru sistem administrasi perpajakan yang diharapkan akan jauh lebih efisien dan efektif. Dalam aspek pengawasan perpajakan, Coretax DJP diharapkan mampu menghadapi tax evasion.
Pengelakan Pajak
Tax evasion adalah istilah yang menjelaskan upaya suatu pihak untuk melakukan penghindaran kewajiban perpajakan, tetapi dengan cara ilegal dan mengarah pada skema penggelapan pajak. Penghindaran ini dilakukan dengan berbagai cara yang cenderung tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan sehingga pemenuhan kewajiban perpajakan dijalankan tidak dengan sebagaimana mestinya.
Allingham-Sandmo (1972) menjelaskan tax evasion dalam tulisan yang berjudul “Income Tax Evasion: A Theoretical Analysis” dalam Journal of Public Economics. Allingham-Sandmo memaparkan analisis teoretis tentang keputusan penghindaran pajak melalui pendekatan expected utility theory terkait perilaku wajib pajak dalam melaporkan pendapatannya.
Mengacu pada hasil penelitian dalam tulisannya, perilaku tax evasion dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, tarif pajak yang tercermin dari kelompok tarif pajak sesuai kriteria yang ditentukan menjadi salah satu alasan perilaku tax evasion. Semakin tinggi kesenjangan tarif pajak, kian besar pula kecenderungan wajib pajak untuk menghindari tarif tertinggi. Kemudian, sanksi pajak juga menjadi penentu perilaku tax evasion, di mana sanksi yang tinggi akan cenderung mengeliminasi perilaku tersebut. Lebih lanjut, pemeriksaan dan pengawasan ternyata juga bisa mengurangi perilaku tax evasion. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menciptakan sistem pemeriksaan dan pengawasan yang terintegrasi, efektif, dan tersistem.
Tarif pajak dan sanksi perpajakan diwujudkan melalui pembaruan regulasi dengan memperhatikan dinamika ekonomi yang berkembang pesat. Sementara itu, pemeriksaan dan pengawasan dioptimalkan melalui pengembangan sistem dan basis data yang mumpuni dalam memanfaatkan kemajuan teknologi.
Coretax DJP
Kementerian Keuangan melalui DJP melakukan reformasi perpajakan yang berkelanjutan. Pada reformasi perpajakan terbaru, pembaruan dilakukan dengan berfokus pada pembenahan lima pilar yaitu organisasi, sumber daya manusia, teknologi informasi dan basis data, proses bisnis, dan peraturan perundang-undangan. Pembaruan ini dilakukan secara simultan sebagai upaya untuk menjawab perkembangan zaman dan kemajuan teknologi.
Salah satu yang dicanangkan dan berlaku mulai 1 Januari 2025 adalah pembaruan teknologi dan basis data yang dibarengi dengan penyesuaian proses bisnis. Wujudnya adalah Coretax DJP. Migrasi data dari sistem lama dijalankan secara masif agar pada awal tahun 2025, semua pemangku kepentingan dapat segera mengakses Coretax DJP. Dalam hal ini, baik fiskus maupun wajib pajak dapat mengakses sistem yang sama sehingga keselarasan data perpajakan dapat terjaga. Pasalnya, rangkaian pembaruan yang dilakukan juga perlu didukung dengan sistem informasi perpajakan yang mudah, andal, terintegrasi, akurat, dan pasti.
Penerapan Coretax DJP memberikan banyak kelebihan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Sistem ini memberikan kemudahan layanan kepada wajib pajak karena memiliki fitur omni channel dan borderless. Penggunaannya juga lebih praktis karena menggunakan sistem yang bersifat universal. Sistem dan data yang terintegrasi membuat aksesnya menjadi lebih cepat. Kondisi ini kemudian menciptakan efisiensi dan efektivitas layanan perpajakan.
Integrasi data perpajakan, baik data wajib pajak maupun data pihak ketiga (instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lainnya) memberikan kemudahan dalam pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakan. Setiap data wajib pajak akan terhubung secara sistematis dengan lawan transaksi, data kependudukan, dan data berbagai pihak terkait.
Coretax DJP mengubah pola pelayanan perpajakan menjadi berbasis digital dan semakin terintegrasi untuk wajib pajak. Di sisi lain, ia juga mendukung fungsi pengawasan dan penegakan hukum yang dilakukan oleh petugas pajak. Pembaruan ini merupakan bentuk modernisasi perpajakan yang diharapkan dapat mengurangi perilaku ilegal atas kewajiban perpajakan, termasuk tax evasion, karena semua data menjadi lebih transparan. Berkurangnya pengelakan pajak tentunya akan berdampak pada menurunnya tax gap. Tax gap merupakan selisih atau kesenjangan antara kewajiban pajak yang seharusnya dipenuhi wajib pajak dan kewajiban yang sudah dijalankan.
Melalui pembaruan ini, akan terwujud institusi perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel yang mempunyai proses bisnis yang lebih efektif dan efisien. Selain itu, akan terbangun sinergi yang semakin optimal antarlembaga. Pada akhirnya, kepatuhan pajak dan penerimaan negara akan meningkat.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 13605 views