Belakangan marak kita mendengar ataupun membaca di media sosial bandar narkoba, perjudia dan/atau bisnis mafia lainnya terbongkar denga perkiraan omzet ratusan juta, milyaran bahkan mencapai triliun rupiah dan dijatuhi hukuman penjara sesuai dengan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Pasal 3030 KUHP yang mengatur segala jenis tindak pidana Perjudian. Sebut saja yang meledak saat ini kasus perjudian online “Konsorsium 303”. Apakah terbersit dibenak kita, akan adanya potensi besar pajak yang bisa digunakan untuk menyumbang pendapatan negara?

Sebagian besar masyarakat dan beberapa ahli memberikan pendapat bahwa dikenakannya pajak atas narkotika, judi atau bisnis ilegal lainnya berarti secara tidak langsung negara “melegalkan” praktik bisnis tersebut. Mungkin pendapat itu benar, tetapi jika melihat sejarah pajak di dunia, kita bisa melihat kisah Alphonse Gabriel “Al Capone” mafia paling terkenal dalam sejarah Amerika Serikat.

Al Capone mengembangkan bisnis seperti produksi bir ilegal, penyulingan dan distribusi bir, prostitusi serta minuman keras, meski saat itu sudah terdapat Amandemen ke-18 yang berisi larangan untuk menjual dan mendistribusikan minuman beralkohol di Amerika Serikat dari tahun 1920-1933. Pada tahun 1931, Pemerintah Amerika Serikat menjatuhkan hukuman penjara kepada Al Pacone karena kasus penggelapan/penghindaran pajak, dimana kita mengetahui Al Capone menjalankan bisnis ilegal di Amerika. Jika melihat hal tersebut, jika dia dituntut atas aktivitas usaha ilegalnya, maka pemerintah menganggap melegalkan bisnis yang pemerintah Amerika sendiri larang saat itu (minuman keras).

Subjek dan Objek Pajak berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008

Berdasarkan kisah Al Capone, kita bisa mengambil pendapat sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang No.36 Tahun 2008 yang menyebutkan, yang menjadi Subjek Pajak adalah:

  1. orang pribadi;
  2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
  3. badan; dan
  4. bentuk usaha tetap.

Sedangkan yang menjadi objek pajak berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No.36 tahun 2008 adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:

  • penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini;
  • hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
  • laba usaha;
  • keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
    • keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
    • keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
    • keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun;
    • keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarh dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan diantara pihak-pihak yang besangkutan; dan
    • keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
  • penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
  • bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
  • dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
  • royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
  • sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
  • penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
  • keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
  • keuntungan selisih kurs mata uang asing;
  • selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
  • premi asuransi;
  • iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
  • tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
  • penghasilan dari usaha berbasis syariah;
  • imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
  • surplus Bank Indonesia.

Penghasilan dan/atau penambahan harta yang diperoleh oleh Wajib Pajak dari hasil perjudian maupun narkotika seharusnya dilaporkan dalam SPT Tahunan Wajib Pajak, dan Petugas Pajak bisa melakukan penggalian potensi pajak atas penghasilan tersebut selama tidak dilaporkan dalam SPT Tahunan sesuai dengan pengertian objek pajak berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No.36 tahun 2008. Indonesia pun juga menerapkan kebijakan yang cukup populer dan berhasil yaitu Tax Amnesty dan Program Pengungkapan Sukarela yang berfokus pada pengungkapan harta tanpa melihat sumber dari pendapatan tersebut legal atau ilegal. Dengan ini apakah suatu saat Pemerintah Indonesia akan mengenakan pajak atau mengeluarkan aturan khusus atas bisnis ilegal?