Merdeka: Berdikari dengan Pajak

Oleh: Destini Wulandari, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Adakah yang dengan senang hati membayar pajak? Atau malah merasa berat hati, tetapi karena ada sanksi yang mengintai, mau tidak mau harus membayar pajak? Terlepas dari jawaban atas pertanyaan itu, “nobody likes paying tax” sudah menjadi slogan yang populer. Hampir tidak ada orang yang ikhlas membayar pajak dengan senang hati jika tidak ada ancaman sanksi apabila tidak menjalankan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan.
Hal ini persis yang dikatakan James Alm, “… individual pays taxes because –and only because– of this fear of detection and punishment.” Apabila pelaksanaan kewajiban pajak dapat digantungkan sepenuhnya pada kesukarelaan wajib pajak tanpa adanya pemeriksaan pajak dan pengenaan sanksi, tidak akan ada konsep slippery slope framework Kirchler. Konsep Kirchler tersebut membagi kepatuhan menjadi dua jenis, yaitu kepatuhan sukarela (voluntary tax compliance) dan kepatuhan yang dipaksakan (enforced tax compliance).
Memperingati Kemerdekaan Republik Indonesia setiap tanggal 17 Agustus, setelah 79 tahun merdeka sejak 1945, apakah pandangan terhadap kewajiban membayar pajak lazim untuk dipertahankan demikian? Perlukah kita memandang dari sudut pandang yang berbeda? Apabila kita mengulas balik memori proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 silam, sorakan Bung Karno kepada seluruh rakyat Indonesia saat detik-detik pembacaan teks proklamasi akan terngiang di benak.
“Saya telah meminta Saudara-Saudara hadir di sini untuk menyaksikan satu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan beratus-ratus tahun!” Kegigihan para pejuang dalam mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia dari belenggu penjajah yang merampas kekayaan alam, harkat, dan martabat penduduk pribumi bukan merupakan perjuangan yang singkat. Lantas, apa hubungannya dengan membayar pajak? Hakikat kemerdekaan menjadi jawabannya.
Bagai Kuda Bebas dari Cukong
Analogi Indonesia saat dijajah pada zaman kolonialisme layaknya kuda yang ditunggangi oleh cukong. Seekor kuda dengan kekuatannya yang luar biasa hanya dapat berlari ke arah yang diinginkan oleh cukong yang menunggangi. Indonesia yang kaya akan kekayaan alam dengan archipelago-nya yang terletak di kawasan strategis menjadi sasaran empuk para penjajah untuk menguasai Indonesia demi tujuan mencari kekayaan dan kejayaan. Dengan telah diraihnya kemerdekaan sebagai buah hasil perjuangan panjang, Indonesia pada akhirnya terbebas dari penjajahan yang telah membelenggu selama ratusan tahun lamanya. Kuda yang pada awalnya ditunggangi oleh cukong sekarang sudah bisa berlari jauh dan kencang dengan berdikari.
Keuangan Kuat dengan Pajak
Untuk menjadi negara yang berdikari, Indonesia harus memiliki keuangan negara yang kuat. Sebagai salah satu sumber pendapatan negara, keuangan negara tentunya berhubungan dengan pajak. Frederick The Great mengatakan, “No government can exist without taxation.” Di Indonesia, rata-rata lebih dari 80 persen pendapatan negara bersumber dari pajak. Dalam hal ini, pajak yang dibayarkan wajib pajak akan disalurkan untuk kepentingan masyarakat.
Dilansir dari fitur “Alokasi Pajakmu” untuk tahun 2024 pada situs kemenkeu.go.id sejuta rupiah pajak yang dibayarkan dialokasikan sekitar Rp249 ribu untuk pelayanan umum, Rp193 ribu untuk ekonomi, Rp81 ribu untuk perlindungan sosial, Rp67 ribu untuk pendidikan, Rp57 ribu untuk ketertiban dan keamanan, Rp42 ribu untuk pertahanan, Rp29 ribu untuk kesehatan, dan sisanya untuk perumahan dan fasilitas umum, perlindungan lingkungan hidup, agama, pariwisata, dan belanja ke daerah.
Penyaluran uang pajak tersebut merupakan bentuk kebijakan strategis pemerintah untuk menopang resiliensi perekonomian nasional. Dua tujuan di antaranya, yang ingin dicapai adalah untuk mengentaskan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan. Dikutip dari Siaran Pers Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Nomor SP-13/BKF/2024, per Maret 2024, tingkat kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan dengan jumlah penduduk miskin sebesar 25,22 juta orang. Begitu juga dengan tingkat ketimpangan yang turut menurun menjadi 0,379. Angka kemiskinan dan ketimpangan tersebut merupakan angka terendah dalam satu dekade terakhir.
Mengubah Pandangan Ihwal Pajak
Ada berjibun manfaat yang dapat dirasakan masyarakat dari pajak yang telah dibayarkan ke negara. Mulai dari langkah kaki pertama keluar rumah, masyarakat sudah bisa berjalan di atas jalan yang beraspal, menempuh perjalanan dengan angkutan umum, merasakan pelayanan kesehatan tanpa atau dengan biaya yang lebih terjangkau, menyekolahkan anak di sekolah tanpa dipungut biaya, dan masih banyak lagi.
Meskipun masih terdapat cukup banyak pekerjaan rumah pemerintah untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sejahtera, bukan berarti kita harus berpangku tangan. Membangun negara merupakan tugas bersama yang perlu diwujudkan atas dasar gotong royong antara pemerintah dan masyarakat. “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing,” begitu kata pepatah. Menyemarakkan Hari Ulang Tahun ke-79 Republik Indonesia, mari wujudkan “Nusantara Baru, Indonesia Maju”. Pajak kuat, Indonesia maju! Pajak kuat, APBN Sehat, Indonesia Sejahtera. Pajak kita untuk kita. Dengan pajak, semua dapat manfaatnya.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 216 views