Oleh: Teddy Ferdian, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Saat masih duduk di bangku sekolah dasar, sering kali saya tertukar dalam mengingat kapan diperingatinya Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional. Bagaimana tidak, kedua hari bersejarah itu diperingati di bulan Mei dengan tanggal yang hampir mirip, tanggal 2 dan 20. Penyingkatan kedua hari tersebut juga sekilas hampir serupa, Hardiknas dan Harkitnas.

Seiring berjalannya waktu dan saya semakin banyak mendapatkan informasi dan pengetahuan terkait sejarah diperingatinya hari tersebut. Membedakan antara kedua hari bersejarah di bulan Mei itu ternyata bukan lagi perkara sulit. Namun, yang menarik perhatian saya kala itu adalah adanya benang merah dari kedua peristiwa yang melatarbelakangi penetapan kedua hari bersejarah itu. Benang merahnya ada pada dua hal, pendidikan dan pemuda.

Tanggal 2 Mei sebagai tanggal diperingatinya Hardiknas setiap tahunnya diambil dari tanggal dan bulan lahir Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, Bapak Pendidikan Indonesia. Beliau lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889. Beliau kemudian lebih banyak dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Nama ini beliau sandang sejak tanggal 3 Februari 1928. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang lahir dalam keluarga bangsawan rela melepas gelar kebangsawanannya dan mengganti namanya untuk lebih dekat dengan rakyat yang diperjuangkannya.

Nama Ki Hajar Dewantara sendiri memiliki arti yang menggambarkan perjuangan yang beliau lakukan. "Hajar" artinya pendidik, "dewan" berarti utusan, dan "tara" bermakna tak tertandingi. Jadi, Ki Hajar Dewantara dapat diartikan sebagai Bapak Pendidik yang merupakan utusan rakyat yang tidak tertandingi dalam menghadapi kolonialisme. Ki Hajar Dewantara juga merupakan Menteri Pendidikan pertama Indonesia.

Menariknya, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat boleh dikatakan ikut terlibat dalam pergerakan kebangkitan nasional yang ditandai dengan berdirinya organisasi Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat merupakan salah satu anggota dari organisasi yang dipimpin oleh dr. Soetomo itu. Organisasi ini didirikan oleh dr. Soetomo Bersama para pelajar sekolah dokter School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Raden Mas Soewardi Soerjaningrat sempat mengenyam Pendidikan di STOVIA walaupun akhirnya tidak dapat menamatkan pendidikan untuk menjadi dokter dikarenakan sakit.

Berawal dari Budi Utomo, kemudian semakin banyak organisasi-organisasi kepemudaan yang berdiri untuk menyebarluaskan semangat persatuan bangsa melalui gerakan pendidikan, pertanian, kesehatan, politik, dan sebagainya. Bersama Doewes Dekker dan dr. Tjipto Mangunkusumo, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat mendirikan Indische Partij, partai politik beraliran nasionalisme pertama di Indonesia. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat juga mendirikan sekolah Taman Siswa di Yogyakarta. Lewat sekolah ini, beliau menumbuhkan kesadaran siswa terkait hak-hak mereka untuk mengenyam pendidikan. Beliau juga yang menciptakan semboyan pendidikan “Tut Wuri Handayani”.

Sejarah bangsa telah mencatat peran luar biasa dari pemuda dalam membangun persatuan bangsa. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara baru berusia 19 tahun ketika terlibat sebagai anggota Budi Utomo. Beliau menjadi bagian dari Tiga Serangkai mendirikan Indische Partij saat masih berusia 23 tahun. Sekolah Taman Siswa pun didirikan beliau ketika berusia 33 tahun.

Sejarah mencatat bahwa pergerakan pemuda Indonesia terus tumbuh dan berakar. Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 semakin menegaskan ini. Bahkan persiapan momen kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari peran para pemuda kala itu. Tidak heran jika Bung Karno ketika itu sempat mengatakan kalimat fenomenal “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”.

Pemuda dan pendidikan tak pelak menjadi “racikan jitu” untuk membangun negeri. Adanya pemuda tanpa diberikan pendidikan hanya akan menjadi perjuangan yang membabi buta. Sebaliknya pendidikan yang tidak diberikan sejak usia muda akan menjadi sia-sia dan tidak membangun karakter bangsa.

Jika para pemuda di era perjuangan kemerdekaan berperan dalam membangun persatuan bangsa dalam menghadapi kolonialisme, maka pemuda di era sekarang memikul tanggung jawab dalam mengisi kemerdekaan dengan pembangunan negeri untuk kesejahteraan rakyat. Keduanya sama tidak mudahnya dan banyak tantangan yang pasti dihadapi. Oleh karena itu pendidikan menjadi penting untuk menuntun para pemuda menyusuri arah pembangunan yang benar dan menguatkan rasa nasionalisme dalam membangun negeri. Hal ini menjadi penting karena perkara bangsa bukan lagi terkait kepentingan pribadi ataupun golongan.

Membangun negeri tentunya memerlukan biaya. Dan sampai saat ini penerimaan negara mayoritas ditopang dari satu sumber utama, pajak. Dalam kondisi saat ini, pemungutan pajak menjadi krusial untuk alasan Pembangunan. Tanpa pajak boleh jadi pemerintah akan terjebak untuk terus menambah utang yang menjadi beban negara.

Pajak sendiri sudah sejak lama disadari sebagai instrumen penting dalam membangun dan membiayai negara yang merdeka. Itulah mengapa penjelasan pajak ini dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 23 butir kedua. Bahkan kata pajak ini sudah mengemuka saat sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 14 Juli 1945. Ketua BPUPKI Radjiman Wedyodiningrat mengusulkan lima hal, salah satunya adalah “Pemungutan pajak harus diatur hukum”.

Penjelasan di atas mengisyaratkan pentingnya pajak untuk pembangunan negeri. Namun, pemungutan pajak harus dilakukan oleh otoritas perpajakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ada rambu-rambu yang diatur dalam pelaksanaan pemungutan pajak ini. Proses dalam pemungutan pajak juga dilakukan secara bertahap. Mulai dari edukasi sebagai bentuk pelayanan dan sosialisasi kepada wajib pajak. Kemudian sedikit lebih tinggi adalah pengawasan untuk menggali potensi perpajakan. Setelah itu baru ada proses pemeriksaan pajak dan penegakan hukum, meliputi penyidikan dan penagihan pajak.

Oleh karena itu masyarakat atau wajib pajak seyogianya mengerti terkait pemenuhan kewajiban perpajakan yang harus dilakukan. Di sinilah ada peran pendidikan. Proses pendidikan bisa dilakukan melalui edukasi kepada masyarakat dan wajib pajak oleh petugas pajak. Selain itu ada juga penyebarluasan informasi atau pengetahuan umum perpajakan melalui sekolah-sekolah. Ini bisa dilakukan juga oleh petugas pajak yang menggelar kegiatan Tax Goes to School atau Tax Goes to Campus. Penyebarluasan informasi atau pengetahuan umum perpajakan melalui sekolah juga dilakukan dalam bentuk penempatan materi perpajakan umum dalam kurikulum sekolah, misalnya hal-hal terkait manfaat pajak menjadi salah satu materi yang ada di buku pelajaran siswa sekolah dasar.

Keterbatasan petugas pajak boleh jadi menyebabkan penyebaran informasi perpajakan tidak dapat menjangkau seluruh masyarakat. Namun, hal ini sudah diantisipasi dengan menggandeng perguruan tinggi untuk ikut menjadi “agen” penyebarluasan informasi perpajakan. Inilah salah satu peran pemuda Indonesia. Saat ini sudah banyak perguruan tinggi yang memiliki tax center sebagai salah satu pihak eksternal yang menjadi perpanjangan tangan otoritas perpajakan dalam menyebarluaskan informasi perpajakan kepada masyarakat.

Menyongsong generasi emas Indonesia pada tahun 2045, tentunya peran pemuda akan menjadi lebih besar lagi dalam pembangunan negeri untuk kesejahteraan rakyat. Pemuda yang memiliki kesadaran pajak yang tinggi menjadi nilai plus sumber daya bangsa Indonesia dalam menyuarakan kemandirian bangsa. Apapun profesi yang dipilih oleh generasi muda, kesadaran pajak ini akan menjadi modal berharga dalam membangun negeri.

Akhirnya, tingginya kepatuhan pajak menjadi penting karena ini berarti penerimaan pajak meningkat dan pembangunan dapat terus bergulir. Namun, yang lebih penting lagi adalah menciptakan kepatuhan pajak sukarela yang tinggi. Ini adalah buah dari kesadaran pajak dari masyarakat Indoensia. Dan ini perlu ditanamkan sejak usia dini. Perkuat budaya anti korupsi, awasi penggunaan uang pajak, dan sinergi seluruh elemen bangsa menjadi krusial untuk terus digaungkan. Bersama-sama kita wujudkan pajak yang kuat dan sehat untuk Indonesia yang sejahtera.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.