Pilar II OECD dan Dampaknya bagi Perpajakan Indonesia
Oleh: Annisa Diah Hapsari, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sebagai negara berkembang, pendapatan negara Indonesia didominasi oleh pajak. Sayangnya, transaksi lintas batas yang dicederai oleh praktik Base Erotion and Profit Shifting (BEPS) akan sangat merugikan bagi kondisi perpajakan negara. Tak bisa dimungkiri, diperlukan instrumen kebijakan perpajakan internasional yang tepat, terutama bagi pelaku usaha di ranah global, yakni perusahaan multinasional.
Pembahasan terkait perusahaan multinasional (multinational enterprises/MNE) tak bisa lepas dari topik hangat konsensus perpajakan global yang sedang gencar diimplementasikan di berbagai negara, yakni upaya pencegahan BEPS berupa paket kebijakan Two-Pillar Solution. Kebijakan tersebut digagas pada Mei 2019 oleh The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)/G20 Inclusive Framework (IF) yang beranggotakan 137 negara. Two-Pillar Solution merupakan tindak lanjut dari rencana aksi BEPS 2.0 dalam rangka mengatasi penghindaran pajak dan memastikan adanya koherensi peraturan perpajakan internasional yang pada akhirnya bertujuan untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih transparan.
Two-Pillar Solution terdiri atas dua pilar. Mudahnya, Pilar I mencegah upaya perusahaan multinasional dengan keuntungan besar untuk mengalokasikan kembali sebagian keuntungan mereka ke negara bertarif pajak rendah. Kebijakan ini mencegah perusahaan-perusahaan tersebut untuk memperoleh keuntungan yang signifikan di suatu negara tanpa membayar pajak di negara tempat mereka menjalankan usaha.
Berbeda dari Pilar I, Pilar II memiliki peran yang lebih krusial dan tengah menjadi sorotan utama dalam diskusi perpajakan internasional di forum global. Pilar II berperan dalam menciptakan tarif perpajakan yang adil, yakni mencegah perusahaan multinasional melakukan pengaturan tertentu untuk memperoleh keuntungan pajak dari perbedaan tarif pajak di berbagai negara melalui pemberlakuan tarif pajak minimum bagi perusahaan multinasional. Singkatnya, Pilar II menerapkan Pajak Minimum Global sebesar 15% bagi perusahaan multinasional dengan peredaran bruto lebih dari 750 juta euro.
Pada Oktober 2021, sebanyak 137 negara telah menyetujui implementasi Pilar II OECD, termasuk Indonesia. Setelah menyatakan target implementasi Pilar II akan dimulai pada tahun 2025, pemerintah Indonesia kini sedang bersiap dengan melakukan kajian mendalam tentang kebijakan tersebut sembari menyusun peraturan turunan agar kebijakan dapat lebih aplikatif dan mudah dimengerti oleh wajib pajak dan stakeholder.
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PP 55/2022), terutama Pasal 52, 53, dan 54, pemerintah telah mengatur dasar penerapan Pilar II. Direktur Jenderal Pajak (DJP) berwenang melaksanakan ketentuan dalam perjanjian atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan otoritas pajak negara mitra atau yuridiksi mitra guna mengatasi tantangan pemajakan akibat digitalisasi ekonomi atau penggerusan basis pemajakan dan pergeseran laba lainnya yang dilakukan oleh perusahaan multinasional. Dalam Pasal 54 PP 55/2022 juga disebutkan dasar bahwa perusahaan multinasional yang tercakup dalam perjanjian atau kesepakatan dapat dikenai pajak minimum global di Indonesia.
Mekanisme Pilar II
Menilik lebih jauh, Pilar II memiliki tiga mekanisme, yaitu Income Inclusion Rule (IIR), Undertaxed Profits Rule (UTPR), dan Subject to Tax Rule (STTR). IIR berlaku apabila cabang perusahaan di negara lain membayar pajak sangat rendah maka pajak tambahan (top-up tax) akan dikenakan pada perusahaan induk di negara asal sedangkan UTPR memungut pajak yang tidak dapat dipungut berdasarkan sistem IIR. Di samping itu, terdapat juga aturan Subject to Tax Rule (STTR) yang lebih diprioritaskan dibandingkan IIR dan UTPR, yakni berlaku jika terdapat pembayaran antar anggota perusahaan multinasional yang dikenakan pajak di bawah 9% untuk jenis pajak tertentu. Kemudian, negara yang meratifikasi Pilar II juga dapat menerapkan Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT), yaitu kebijakan yang dapat memastikan pajak minimum paling tidak dibayarkan di negara asalnya.
Sejatinya penerapan suatu konsensus global dalam yuridiksi perpajakan suatu negara bukan perkara mudah. Pasalnya, negara harus melakukan penyesuaian antara kebijakan perpajakan dalam negeri dengan kesepakatan dalam konsensus tersebut. Begitu pula dengan aturan Pilar II yang berkaitan langsung dengan aspek perpajakan wajib pajak badan. Melihat lanskap kebijakan perpajakan di Indonesia, pemerintah memberikan insentif penurunan tarif pajak menjadi sebesar 22% sebagai bentuk pengurangan beban pada sektor korporasi. Jika desain insentif pajak ini menyebabkan tarif efektif pajak penghasilan (PPh) berada di bawah 15%. Artinya, perusahaan multinasional harus membayar tambahan pajak dan negara domisili dari induk perusahaan akan memperoleh keuntungan dari pemberlakuan kebijakan tersebut. Kendati demikian, IIR dan UTPR berpotensi menciptakan peluang pajak tambahan jika terdapat banyak perusahaan multinasional yang beroperasi di luar Indonesia.
Oleh karena itu, Indonesia memerlukan beberapa langkah mitigasi dalam penerapan Pilar II. Antara lain, pemerintah perlu memastikan tarif pajak efektif anak perusahaan yang beroperasi di Indonesia tidak kurang dari 15%. Pemerintah juga dianjurkan meninjau lebih jauh perihal insentif pajak dalam negeri yang diterapkan pada perusahaan multinasional. Selain itu, koordinasi lebih lanjut dengan negara anggota IF dan penyusunan desain kebijakan Pilar II yang lebih spesifik dalam bentuk aturan turunan dibutuhkan untuk mematangkan rencana implementasi Pilar II. Terlepas dari kajian pro dan kontra terkait penerapan Pilar II, kebijakan ini diharapkan dapat mengubah arsitektur perpajakan internasional ke arah yang lebih baik dan berkeadilan serta mendukung niat mulia negara-negara di dunia untuk mencegah penghindaran pajak.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 1863 views