Mengenal Tax Expenditure: Belanja Perpajakan yang Menguntungkan Wajib Pajak

Oleh: Ni Luh Putu Karlina Dewi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sebagai mahluk sosial yang memiliki banyak kebutuhan dan kepentingan, manusia, satuan terkecil dalam masyarakat, tidak pernah lepas dari kegiatan belanja. Kegiatan belanja ini dilakukan mulai dari tingkatan terkecil sebagai suatu individu, makin besar ketika sudah berumah tangga, dan makin kompleks ketika dilakukan oleh suatu komunitas di masyarakat. Bahkan sebuah negara, sebagai organisasi kekuasaan yang berdaulat atas suatu wilayah dan kumpulan masyarakat di dalamnya, juga melakukan kegiatan belanja untuk bisa menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara.
Belanja negara atau belanja pemerintah mungkin sudah akrab di telinga kita, contohnya belanja pegawai (pembayaran gaji pegawai), belanja modal (bangunan dan aset negara), belanja subsisdi (subsisdi energi dan non energi), belanja bantuan sosial, dan sebagainya. Namun, selain belanja negara, pemerintah juga melakukan belanja di bidang fiskal atau perpajakan. Pernahkan #KawanPajak mendengar istilah belanja perpajakan?
Istilah belanja perpajakan memang masih sangat awam di kalangan masyarakat luas. Konsep belanja perpajakan cukup berbeda dengan belanja pemerintah pada umumnya. Dalam belanja pemerintah, masyarakat mendapatkan manfaatnya dalam bentuk fisik secara langsung (direct transfer). Sedangkan dalam belanja perpajakan, masyarakat tidak mendapatkan manfaat langsung secara fisik, melainkan dalam bentuk insentif atau fasilitas perpajakan.
Sebelum membahas pengertian belanja perpajakan, perlu diketahui bahwa pajak memiliki empat fungsi fundamental di negara kita. Selain sebagai sumber utama pendapatan negara (fungsi budgetair), fungsi lainnya yang tidak kalah esensial yaitu untuk mengatur pertumbuhan ekonomi dan alat untuk mencapai tujuan tertentu melalui kebijaksanaan pajak (fungsi regulerend). Belanja perpajakan (tax expenditure) merupakan salah satu instrumen untuk menjalankan fungsi regulerend tersebut. The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menyebutkan belanja perpajakan merupakan transfer sumber daya kepada publik yang dilakukan bukan dengan memberikan bantuan atau belanja langsung, namun melalui pengurangan kewajiban pajak dengan mengacu pada standar perpajakan yang berlaku. Sedangkan Pemerintah Indonesia mendefinisikan belanja perpajakan sebagai penerimaan yang hilang atau berkurang akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari sistem pemajakan secara umum (benchmark tax system).
Dua Sisi
Seperti dua sisi mata uang, pelaksanaan tax expenditure memberikan konsekuensi yang berbeda bagi negara dan masyarakat. Belanja perpajakan berdampak pada penerimaan yang hilang atau berkurang (potential loss) bagi negara. Sedangkan di sisi masyarakat, hal ini merupakan bentuk dukungan pemerintah untuk dunia usaha (pro corporate cash flow tax), maupun bagi wajib pajak lainnya yang menjadi sasaran tax expenditure. Penerapan tax expenditure dapat dilakukan dalam berbagai bentuk pemberian fasilitas seperti pembebasan, penyesuaian, kredit, dan penangguhan.
Tanpa disadari, selama ini kita banyak menikmati belanja perpajakan dalam bentuk fasilitas atau insentif yang meringankan kita sebagai wajib pajak. Misalnya bagi wajib pajak karyawan/pegawai, pemerintah menyediakan insentif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 yang bisa berupa penurunan tarif pajak, pemberian potongan pajak, serta pembebasan pajak. Pemberian insentif ini memberikan keuntungan bagi wajib pajak karyawan untuk membayar pajak lebih rendah atau mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar.
Dalam bidang impor, pemerintah memberikan insentif PPh Pasal 22 Impor untuk membantu pelaku impor membeli produk yang diperlukan di Indonesia, sehingga meningkatkan tingkat produktivitas dan mengurangi biaya produksi. Kemudian ada insentif PPh Pasal 25 untuk mendorong wajib pajak menyelesaikan pembayaran PPh Pasal 25 yang diatur dalam PMK Nomor 9/PMK.03/2021 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019. Melalui insentif tersebut, pemerintah memberikan pemotongan PPh Pasal 25 sebesar 50% dari jumlah yang harus dibayarkan oleh wajib pajak dengan kriteria tertentu. Lebih lanjut, berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF), sebagian besar tax expenditure berasal dari jenis pajak Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dengan nilai sekitar 80%. Hal ini berasal dari pengecualian atas kewajiban pengusaha kecil untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak (syarat menjadi pemungut PPN), pengecualian pengenaan PPN atas bahan kebutuhan pokok dan beberapa jenis jasa seperti jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa sosial keagamaan, dan jasa keuangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4A Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN/PPnBM) sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Ciptaker). Ada juga insentif berupa pembebasan PPN atas listrik di bawah 6.600 VA, PPN tidak terutang atas jasa angkutan umum, dan sebagainya.
Begitu pula dengan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), sebagai salah satu pilar perekonomian di Indonesia dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 61% atau senilai dengan Rp9.580 triliun, dan penyerapan tenaga kerja mencapai sebesar 97% dari total tenaga kerja. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Indonesia memiliki 65,5 juta pelaku UMKM yang jumlahnya mencapai 99% dari keseluruhan unit usaha (ekon.go.id, 2023). Upaya untuk menjaga dan mendorong pertumbuhan UMKM dilakukan, salah satunya dengan pemberian insentif penurunan tarif PPh Final 1% menjadi 0,5% sesuai dengan Peraturan Pemerinah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 23/2018). Selain itu, bagi wajib pajak orang pribadi UMKM dengan omzet sampai dengan Rp500 juta per tahun mendapatkan fasilitas pembebasan PPh Final sejak 1 Januari 2022, sebagaimana diatur dalam PP Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PP 55/2022).
Selain itu, pemerintah juga menawarkan insentif kepada investor berupa Tax Holiday yang diatur dalam PMK No. 35 Tahun 2018 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan dan Tax Allowance yang diatur dalam PP No. 9 Tahun 2016 tentang Perubahan PP No. 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu. Tax Holiday yang ditawarkan berupa pengurangan PPh badan hingga 100% untuk waktu tertentu bagi investor yang menanamkan modalnya dalam jumlah tertentu pada industri pionir. Sedangkan Tax Allowance berupa pemberian fasilitas PPh bagi investor yang menanamkan modalnya pada bidang-bidang usaha tertentu dan/atau daerah-daerah tertentu. Kedua insentif pajak ini diharapkan menjadi salah satu faktor yang mampu mendorong investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, yang akhirnya bermuara pada peningkatan lapangan pekerjaan, kesejahteraan, dan kemajuan ekonomi.
Tujuan dan Pelaporan
Sepintas, tax expenditure terlihat berdampak negatif bagi negara. Adanya bayang-bayang penerimaan pajak yang berkurang atau hilang dan penurunan pencapaian target penerimaan terus mengintai, tentunya berimbas pada pemenuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sangat krusial dalam pembiayaan pembangunan. Namun, kebijakan atau insentif tersebut tidak diberikan secara cuma-cuma. Meskipun tak secara eksplisit dalam bentuk nominal (rupiah), ada kompensasi dalam setiap pelaksanaan tax expenditure, yaitu harus mampu mencapai sasaran strategis tertentu dan meningkatkan potensi basis pajak baru dalam jangka menengah.
Sasaran strategis tersebut tidak lain adalah terjadinya peningkatan ekonomi nasional. Kebijakan tax expenditure yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah sebagian besar bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengembangkan UMKM, serta mendukung dunia bisnis dan iklim investasi. Bahkan, tax expenditure juga diandalkan dalam strategi pemulihan ekonomi nasional di saat Indonesia dilanda Pandemi Covid-19 tahun 2020 lalu.
Dengan melakukan tax expenditure melalui penerapan fasilitas atau insentif pajak, pemerintah dapat mengendalikan aliran uang dari pemerintah ke sektor ekonomi yang membutuhkan bantuan. Tujuan utama dari kebijakan insentif adalah untuk meningkatkan tingkat investasi, dimana mendorong wajib pajak untuk menginvestasikan dana mereka ke dalam proyek-proyek yang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, kebijakan insentif pajak juga dapat digunakan untuk meningkatkan penghasilan wajib pajak.
Potongan pajak bagi wajib pajak yang memenuhi persyaratan tertentu akan meningkatkan penghasilan mereka dan mendorong peningkatan konsumsi barang maupun jasa. Adanya peningkatan permintaan barang dan jasa, pada akhirnya akan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan bagi pelaku industri dan UMKM, fasilitas atau insentif bermanfaat dalam meningkatkan produktivitas serta daya saing mereka.
Lantaran pentingnya implementasi belanja perpajakan dan risiko hilangnya pendapatan negara yang cukup riskan, pemerintah perlu melakukan pengelolaan tax expenditure secara tepat dan transparan. Hal ini juga berkaitan dengan kemampuan negara dalam mengelola keuangan negara.
Tahun 2018 merupakan tahun pertama Kementerian Keuangan melaporkan belanja perpajakan untuk tahun anggaran 2016 dan 2017. Estimasi belanja perpajakan untuk tahun 2016 adalah sebesar Rp143,6 triliun (sekitar 1,16% dari PDB 2016), dan di tahun 2017 menjadi sebesar Rp154,7 triliun (sekitar 1,14% dari PDB 2017). Kemudian laporan tahun 2019, estimasi perkembangan belanja perpajakan di tahun 2018 sebesar Rp221,1 triliun (1,49% dari PDB). Belanja perpajakan untuk tahun 2019 yang dilaporkan di tahun 2020 diestimasi mencapai Rp257,2 triliun, atau sekitar 1,62% dari PDB. Laporan belanja perpajakan edisi ketiga ini berisi pembaruan-pembaruan dari edisi sebelumnya, di antaranya adalah perluasan cakupan jenis pajak, identifikasi data dan peraturan baru, serta memuat bab baru yang berisi ketentuan-ketentuan khusus di bidang perpajakan yang kerap dianggap sebagai fasilitas karena memberikan kemudahan bagi wajib pajak, tetapi tidak masuk dalam kategori belanja perpajakan.
Besaran belanja perpajakan di tahun 2020 mencapai Rp234,8 triliun, atau sekitar 1,52 % dari PDB. Meskipun menurun, kebijakan insentif yang diberikan oleh pemerintah pada masa pandemi di tahun 2020 semakin beragam di luar yang telah diberikan oleh pemerintah di tahun sebelumnya. Belanja perpajakan tahun 2021 mencapai Rp299,1 triliun atau 1,76 % dari PDB, meningkat sebesar 23.8 % dari tahun sebelumnya. Nilai belanja perpajakan tersebut secara umum dimanfaatkan untuk penanganan aspek kesehatan, perlindungan sosial bagi kelompok miskin dan rentan, serta untuk dunia usaha terutama UMKM. Terbaru, pada laporan belanja perpajakan tahun 2022 yang dilaporkan di tahun 2023, nilai belanja perpajakan Indonesia tahun 2022 tercatat sebesar Rp323,5 triliun atau sebesar 1,65 % dari PDB (fiskal.kemenkeu.go.id).
Pelaporan belanja perpajakan, yang secara kontinu terus disempurnakan, menunjukkan adanya komitmen nyata pemerintah dalam menerapkan keterbukaan informasi kepada publik mengenai alokasi dan penggunaan sumber daya fiskal. Sebagai wajib pajak, sudah seharusnya kita tau dan mencermati belanja perpajakan yang dilaporkan pemerintah setiap tahunnya. #KawanPajak juga dapat mengawasi efektivitas dan transparansi belanja perpajakan, karena hal ini penting sebagai bahan evaluasi dalam proses penyusunan serta implementasinya. Belanja perpajakan yang optimal dan tepat sasaran tentunya menjadi motor penggerak untuk membawa kemajuan perekonomian Indonesia lebih cepat, serta memberikan keadilan dan efek kebaikan bagi seluruh rakyat Indonesia.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 563 views