Aroma Petrikor Selepas Hujan

Oleh: Teddy Ferdian, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Hampir satu jam hujan mengguyur kota di sore itu. Sudah tidak sederas di awal, hanya tinggal rintik gerimis. Namun, durasi yang lama cukup membuat tanah pekarangan basah, mengeluarkan aroma petrikor yang menenangkan. Aroma yang dipercaya dapat membawa rasa bahagia dan nyaman bagi siapapun yang menciumnya.
Seorang ayah duduk santai bersama anak lelakinya di teras rumah sederhana, menatap gemericik air seraya menyeruput kopi tubruk panas kesukaannya. “Nak, kelak kamu besar nanti, ingatlah untuk menjaga tiga hal ini dalam hidupmu. Ayah mengucap pelan sambil melirik ke arah anak kecil yang duduk di sebelahnya.
“Pertama adalah jaga keimananmu. Kedua, ucapan dan perbuatan harus selaras karena itu menunjukkan martabat diri. Dan ketiga, jangan menyepelekan hal kecil.” Kali ini ayah menatap serius anak yang disayanginya. Si anak yang masih berusia sembilan tahun itu mengangguk seolah mengiyakan pesan ayah sambil terus sibuk mengutak-atik mainan mobil Tamiya miliknya.
Setelah 34 tahun berlalu, dan lebih dari 11 tahun ayah berpulang, saya masih mengingat pesan itu. Pesan yang saya anggap sebagai peninggalan paling berharga dari Ayah. Tiga pesan Ayah yang masih coba terus saya jaga setiap harinya, termasuk saat melaksanakan pekerjaan saya.
Pesan Ayah
Hal utama yang penting untuk selalu diingat seluruh manusia sekaligus upaya menjaga fitrah manusia di dunia ini adalah keimanan. Keimanan berkaitan dengan hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Keimanan menjadi penjaga sikap-sikap manusia di dunia. Menjaga keimanan berarti memelihara benteng diri sebagai rambu-rambu sikap. Menjaga keimanan berarti memercayai ada konsekuensi dari setiap perbuatan yang dilakukan, entah baik ataupun buruk.
Hal ini yang saya yakini menjadi awal tumbuhnya sifat konsistensi antara ucapan dan perbuatan. Hasilnya adalah pribadi manusia yang dapat menjaga martabat diri, jujur, dan berwibawa yang tercermin dalam tindakan dan perilaku sehari-hari. Orang sering menyebutnya integritas. Dan ini adalah pesan kedua Ayah.
Tidak mudah menjalankan pesan kedua ini. Aral melintang menjadi rintangan dan godaan menerpa mempersempit jalan, mengajak manusia berpindah haluan. Bahkan ketika saya merasa cukup kuat untuk melakukan, ternyata ada hal-hal yang tidak saya duga dan sadari sebelumnya, mampu menggoyahkan. Ini berbahaya bagi integritas yang sedang berjalan.
Saya bekerja di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) lebih dari dua puluh tahun dengan tujuh unit kerja yang berbeda. Selama itu, DJP telah banyak berubah menjadi lebih baik dalam hal integritas. Penguatan integritas terus dilakukan dan pengawasan dilaksanakan secara berjenjang dalam setiap level jabatan.
Penguatan integritas pegawai ini bukan tanpa sebab. Bukan menjadi rahasia bahwa pegawai DJP akan banyak menghadapi tantangan kerja yang berkaitan dengan isu integritas. Interaksi dengan wajib pajak boleh jadi menimbulkan potensi penyalahgunaan wewenang dari pegawai pajak. Jika integritas tidak dijaga, maka pegawai bisa saja terjerumus untuk melakukan kecurangan.
Namun, saya melihat bahwa integritas bukan hanya tentang penyalahgunaan wewenang demi rupiah. Kita sepakat bahwa integritas yang goyah menyebabkan masalah korupsi, kolusi, nepotisme, suap, dan gratifikasi. Namun, integritas bukan sekadar itu. Ada hal-hal yang mungkin banyak dianggap kecil dan sepele, namun nyatanya hal tersebut berpengaruh pada integritas. Dan ini sebenarnya yang cukup mengkhawatirkan. Integritas tergoyahkan tanpa kita sadari.
Saya pernah bertanya kepada istri saya saat sedang berkendara di jalan. “Ma, coba liat, lampu masih merah, tapi kok cuma kita yang berhenti ya? Yang lain jalan aja, Menurut Mama gimana? Apa kita jalan aja ya?” seloroh saya kepada istri. “Yang penting kita ngikut rambu aja, kalo merah ya berhenti,” jawab istri saya.
Apakah ini hal biasa? Saya jadi berpikir bahwa anggapan hal biasa bisa mencederai integritas. Semakin banyak orang yang menganggap itu hal biasa, maka dalam benak masyarakat tindakan itu bisa menjadi benar untuk dilakukan.
Saya jadi teringat dengan pesan Bapak Direktur Jenderal Pajak, “Mari biasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa,” kira-kira begitu yang beliau sampaikan. Ketika 1.000 orang menganggap hal salah yang biasa dilakukan adalah benar, dan hanya satu orang yang berpandangan hal itu salah, maka satu orang tersebut bisa menjadi pihak yang salah.
Dampak Hal Kecil
Saya pernah memanfaatkan “jam flexy” untuk pulang kantor lebih cepat di hari Jumat. Saya pulang kantor pukul 15.35 WIB karena saya melakukan presensi pagi pada pukul 06.05 WIB. Hal ini sesuai dengan aturan yang berlaku di DJP dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Namun, kemudian saya berpikir, apakah saya sudah memanfaatkan jam kerja saya secara maksimal untuk bekerja? Bagaimana pemanfaatan waktu saya sejak mulai hadir di kantor?
Saya khawatir jika waktu saya malah lebih banyak digunakan untuk chatting dengan sahabat, browsing internet untuk kepentingan pribadi, atau membeli barang secara daring. Ketika itu saya lakukan, apa iya saya bisa berbangga ketika saya dapat pulang kerja lebih dulu dibandingkan pegawai yang lain?
Hal lain, penggunaan fasilitas kantor seperti kendaraan dinas, alat tulis kantor, dan fasilitas kedinasan lain menjadi hal biasa yang pasti pernah dimanfaatkan oleh pegawai. Namun, saya merenung, apakah pernah saya gunakan fasilitas tersebut untuk kepentingan pribadi?
Kemudian, saat melaksanakan perjalanan dinas, tentunya saya berhak mendapatkan uang harian dan pengganti biaya transportasi terkait perjalanan dinas tersebut. Namun, saya berpikir dan mengingat kembali, pernahkah saya menggelembungkan biaya pengeluaran riil dari yang sebenarnya saya keluarkan?
Contoh-contoh di atas mungkin merupakan hal kecil dan sepele, tetapi jika dibiasakan dapat mengganggu dan melemahkan integritas. Lebih parah lagi, jika diselisik lebih mendalam, saya menjadi khawatir dengan kepantasan tunjangan kinerja yang saya terima dan saya gunakan sebagai nafkah kepada keluarga, ketika saya tidak memberikan upaya optimal dalam bekerja, termasuk dalam penggunaan waktu selama bekerja.
Jangan menyepelekan hal kecil adalah pesan ketiga ayah. Hal kecil negatif itu seperti rintik hujan gerimis. Rintik gerimis tidak langsung membuat basah sekujur tubuh. Namun, perlahan tetap dapat membuat basah kuyup jika kita tidak segera mencari tempat berlindung. Hal kecil negatif dapat menodai integritas pegawai dan perlahan turut membahayakan citra institusi.
Sebaliknya, hal kecil positif yang dilakukan pegawai dapat menjadikan institusi menjadi lebih kuat. Bayangkan jika seluruh pegawai menerapkan penggunaan waktu optimal pada jam kerja, kinerja suatu institusi dapat dipastikan ada pada treknya dan mengarah jelas pada tujuan yang ingin dicapai.
Kemenkeu dan DJP merupakan institusi besar dengan banyak pegawai di dalamnya. Menjaga integritas pada diri pegawai dapat dimulai dari hal kecil dan dianggap sepele. Integritas yang terpatri dalam diri dan jiwa para pegawai akan menyebarkan aroma harum instansi ke seluruh pemangku kepentingan. Aroma harum layaknya petrikor selepas hujan, menenangkan dan memberi rasa nyaman. Mari bersama ciptakan Kemenkeu dan DJP kuat dan berintegritas untuk Indonesia sejahtera.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 122 views