
Catatan Redaksi: Rubrik Feature atau Karangan Khas merupakan jenis konten yang disediakan untuk liputan berita atau peristiwa ihwal tugas dan fungsi layanan administrasi perpajakan, dengan menitikberatkan tema human interest, yang dikemas dengan gaya bahasa yang lebih ringan, renyah, dan luwes, yang berbeda dari gaya bahasa berita lempang (straight news). Feature dapat berupa kisah yang inspiratif, menyentuh hati, lucu, dan menggelitik.
Sebagai bentuk apresiasi terhadap para pegawai Direktorat Jenderal Pajak peserta lomba esai integritas dalam rangka peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 2023 di lingkungan Kementerian Keuangan, kami telah menyeleksi sejumlah esai yang layak dimuat di situs pajak.go.id. Secara berkala, kami akan menayangkan tulisan terpilih dimaksud, di rubrik Feature. Kami mengedit seperlunya tanpa mengubah substansi naskah asli. Dengan berbagai pertimbangan, nama penulis, tokoh, dan tempat kejadian tidak kami cantumkan. Semoga bermanfaat.
---
Saat akan berangkat ke Jakarta di tahun 1988 untuk menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara atau STAN (telah berganti nama menjadi Politeknik Keuangan Negara STAN), Bapak hanya berpesan singkat dalam Bahasa Jawa, “Le, ojo macem-macem.” Nak (laki-laki), jangan macam-macam.
Saat itu saya tidak begitu memahami kenapa Bapak memberikan pesan tersebut. Bapak memang kayaknya agak berat, saat saya pindah haluan kuliah, karena saat itu saya sudah di semester tiga di salah satu universitas di Malang. Atau, mungkin beliau tidak mau kehilangan anak nomor limanya, menemani keseharian bapak-ibunya di rumah mungil di pinggir sungai di tengah kota Malang ini. Atau mungkin pesan Bapak tersebut karena saya harus meninggalkan kota kecil ke Ibukota Republik ini … tepatnya sih pinggiran Ibukota.
Bapak adalah dosen salah satu universitas --dosen sejarah-- yang suka menulis. Apa saja ditulis dan ditulis di mana saja. Tembok rumah ini penuh dengan tulisan sesuai dengan tema kepentingannya. Kalau di kamar mandi, ya tulisannya … “Jangan lupa tutup saluran air, kalau sungai mulai naik,” sambil ada tanda panah menunjuk besi yang ada semen bulat. Rumah kami memang setiap tahun langganan banjir.
Tembok luar rumah yang bersebelahan dengan gang, jadi korban, dengan tulisan Bapak yang bermacam-macam sesuai tema, karena ayah juga ketua Rukun Tetangga (RT) di kampung. Ibu saya seorang guru sekolah dasar (SD), yang setiap pagi, di meja makan selalu siapkan jajanan pasar untuk delapan putra-putrinya sebagai sarapan, biar kami semua dapat dikendalikan. Ha-ha-ha.
Lulus tahun 1991, Alhamdulillah saya ditempatkan di Surabaya, sehingga setiap pekan saya bisa pulang ke Malang sambil bawa koran atau majalah Tempo terbaru kesukaan Ayah. Suatu kali, saya pulang, sambil bawa keset, karena di rumah itu kesetnya adalah gombal kain, istilah dari baju bekas yang dipakai untuk keset di rumah. Saya membatin, “Omahe wong pajek kok kesetnya gombal.” Rumah pegawai pajak kok kesetnya gombal.
Pekan berikutnya saat saya pulang, kesetnya hilang, yang ada kain gombalan lagi di depan pintu masuk rumah. Saya tanya Ibu, “Ke mana keset yang saya belikan kemarin?”
Ibu hanya menunjuk lemari kamarnya, sambil senyum. “Disimpan bapakmu, eman,” jawab Ibu singkat. Disimpan bapakmu, sayang sekali.
Begitu saya ganti lagi, kejadian itu berulang pekan depannya.
Saat akan menikah, saya mempertimbangkan, kalau sudah menikah, perhatian saya akan berkurang pada Bapak dan Ibu. Kayaknya saya wajib merapikan lantai rumah Bapak-Ibu dulu sebelum saya punya rumah sendiri. Setelah diskusi dengan kakak ipar, saya beli keramik untuk melapisi alas rumah yang masih berupa semen. Niatannya ben pantes kalau nanti ngunduh mantu. Begitu hari-H rehab lantai, Bapak marah besar saat tahu rumahnya akan diganti lantainya. Akhirnya, saya harus negosiasi alot untuk bisa meluluhkan hati Bapak, sambil membatin, kalau negosiasi gagal, ini rumah sulit dibuat agak rapi saat slametan nikahan nanti, karena semennya warna-warni, lantaran setiap saat ada saja bagian lantai semen yang harus ditambal.
Pada tahun 2012, terjadi banjir bandang melanda rumah Bapak. Bapak dan Ibu harus ditandu keluar rumah karena tinggi air yang sudah seleher. Luar biasa besarnya banjir saat itu, ada tiga sepeda motor, satu rombong milik Pak Tukang Bakso yang terseret air dari gang –sebut saja inisialnya-- KJ, dekat rumah Bapak, sampai ke sungai jalan utama lokasi Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
Mempertimbangkan banjir makin besar setiap tahunnya, plus rumah tua yang kondisinya sudah tidak nyaman, akhirnya dengan utang sana-sini plus perhitungan nanti bisa diganti sebagian dari penjualan rumah lama, saya beli rumah di sekitar rumah lawas yang kontur tanahnya lebih tinggi, dan jalannya bisa diakses mobil, tidak sebagaimana rumah sebelumnya.
Kami tata, kami buat acara syukuran dengan tetangga, plus secara bertahap mengajak Bapak-Ibu untuk penyesuaian, karena masih belum bisa meninggalkan rumah lamanya. Enam bulan berlalu, tidak ada pergerakan pindah.
Dan akhirnya suatu hari, Bapak dan Ibu berkata pada saya, “Bapak-Ibu tinggal di sini saja, Le …”
Mata Ibu sudah sembab dengan air mata. Glodak.
Itu adalah kejadian ketiga, di antara begitu banyak peristiwa dan sikap Bapak-Ibu, yang akhirnya saya dapat mengartikan apa yang dimaksud Bapak untuk tidak macam-macam. Apa arti, ojo macem-macem, jangan macam-macam. Bapak Ibu tidak mau merepotkan anaknya. Bapak Ibu sudah cukup dengan pensiunnya. Sudah sangat senang, saat dikunjungi putra-putrinya, apalagi dijenguk bersama cucu-cucunya.
Sepeninggal beliua berdua, saya ingat-ingat, tidak pernah Bapak minta. Minta apapun pada saya, pada anak-anaknya. Kalaupun saya rasa beliau punya keinginan, itu pun tidak disampaikan. Misalnya, kesenangan Bapak membaca, maka kegembiraan itu muncul dari wajah beliau saat langsung membawa dan membaca koran atau majalah yang saya bawa. Demikian juga Ibu.
Memang agak sulit saat harus menata hati, saat melihat keseharian Bapak-Ibu dengan segala gaya kehidupan di rumah kesayangannya dengan mengomparasikan dengan kehidupan anak-anaknya. Pernah ada perasaan, ingin menunjukkan, inilah saya, anaknya Bapak S yang sudah mapan, yang bisa memberikan rumah bagus buat orang tuanya. Sebuah kewajaran, bagi kami kalau ada saudara atau warga sekitar yang mungkin perlu bukti pengabdian seorang anak pada orang tuanya.
Sebuah pesan yang disampaikan, saat Bapak tahu saya akan masuk pada sebuah dunia yang penuh godaan, instansi pajak, telah memberikan bekal yang luar biasa bagi kami, saya dan keluarga, untuk bersikap sederhana. Ungkapan yang memberikan arah dan meneguhkan sikap pada dunia. Mungkin kami tidak bisa seperti Bapak dan Ibu, yang sedemikian rupa menjalani hidup dengan penuh kesederhanaan. Namun, pesan Bapak telah memberikan sebuah alat, sebuah alarm saat kami memikirkan atas yang bukan hak kami. Bersikaplah sederhana, jangan berlebihan pada dunia dan jangan ambil hak orang lain. Itulah nilai yang harus kami wariskan pada anak-anak kami.
Waktu itu, sambil menunggu azan magrib, saya dan istri menerawang bentangan awan jingga di serambi depan rumah, berbalas kata. Saya sampaikan bahwa sebentar lagi, dua tahun lagi, Insyaallah Ayah akan pensiun.
Kutatap wajah istriku yang setiap bulan harus berakrobat mengatur keuangan, sambil berbisik, “Mohon maaf, ya, Sayang … dua bulan sebelum pensiun, KPR rumah ini baru lunas …”
---
“Saya menyatakan esai ini merupakan hasil pengalaman atau pemikiran dan pemaparan asli saya sendiri, dengan kontribusi, referensi, atau ide dari sumber lain dinyatakan secara implisit maupun eksplisit pada tubuh dan/atau lampiran esai. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia didiskualifikasi dari perlombaan ini.”
Pewarta: - |
Kontributor Foto: - |
Editor: Yacob Yahya |
*) Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 85 views