Oleh: Sandra Puspita, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Kawan Pajak tentu sudah tidak asing lagi dengan salah satu komponen makanan bernama Monosodium Glutamat (MSG), bukan? Monosodium glutamate merupakan garam natrium dari asam glutamat yang merupakan salah satu asam amino non-esensial yang terbentuk secara alami. Bahasa awamnya, micin. Secara fungsi, MSG berperan sebagai penguat rasa sehingga olahan makanan memiliki cita rasa yang gurih. Hal inilah yang menjadikan MSG lebih banyak disukai dan dipilih untuk menambah nilai kelezatan suatu makanan dibandingkan bumbu tradisional.

Micin pada dasarnya merupakan penambah rasa makanan yang sudah dikenal luas oleh masyarakat. MSG banyak ditemui dengan bentuk kristal berwarna putih yang terbuat dari ekstrak tetes tebu alami kemudian dilakukan fermentasi. Kandungan zat dalam MSG terdiri dari tiga komposisi utama, yaitu asam glutamat, natrium dan air. Zat-zat tersebut pada dasarnya berfungsi sebagai penguat dan penyedap rasa bila ditambahkan pada bahan makanan yang banyak mengandung protein.

MSG kini ditemui hampir di berbagai sajian makanan yang beredar di Indonesia. Pada tahun 1995, MSG telah digolongkan sebagai bahan tambahan makanan yang aman seperti garam, cuka dan baking powder. Walaupun begitu, konsumsi harian MSG masyarakat Indonesia diatur oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). BPOM mengeluarkan regulasi resmi melalui Peraturan Kepala BPOM RI No. 23 Tahun 2013 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Penguat Rasa. Dalam aturan tersebut, BPOM menyatakan bahwa batas aman penggunaan MSG adalah 4-6 gram per hari per orang. Selain itu, World Health Organization (WHO) menetapkan regulasi bahwa asupan harian MSG yang dapat diterima oleh tubuh manusia adalah 0-120 mg/kgBB. Konsumsi MSG harian berlebih dapat menimbulkan potensi efek samping yang dapat merugikan kesehatan masyarakat.

Pada mulanya, mayoritas masyarakat di Asia Timur seperti Jepang dan Korea hanya menggunakan MSG sebanyak 30-60 mg. Setelah harga MSG mengalami penurunan dan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, penggunaan MSG kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Persatuan Pabrik Monosodium Glutamat dan Glutamic Acid Indonesia (P2MI), konsumsi MSG di Indonesia pada tahun 2022 mengalami peningkatan dari 100.568 ton menjadi 122.966 ton. Peningkatan konsumsi MSG ini diperkirakan sama dengan 1,53 gram/kapita/hari. Konsumsi MSG di Indonesia mayoritas terdapat pada tingkat rumah tangga, restoran/katering, industri pengolahan dan pengepakan makanan.

Baca juga:
Mengenal Pajak Obesitas: Orang Gemuk Kena Pajak, Emang Boleh?

Haruskah Diawasi?

Konsumsi MSG Indonesia sebenarnya pada tahun 2022 dapat disimpulkan masih dalam batas yang wajar. Namun, konsumsi yang berlebihan atau melewati batas yang telah ditentukan BPOM maupun WHO tentu dapat menimbulkan dampak buruk pada kesehatan manusia dalam jangka panjang.

Dikutip dari Iranian Journal of Basic Medical Sciences, konsumsi MSG yang berlebihan dapat memicu potensi resistensi insulin. Hal ini disebabkan oleh sifat aditif dari MSG itu sendiri yang dapat memicu beberapa potensi berbahaya pada tubuh jika dikonsumsi secara berlebihan. Selain itu, potensi kadar gula darah yang tinggi sehingga memicu penyakit diabetes juga disebabkan oleh sifat aditif dari konsumsi MSG berlebihan.

Tidak hanya itu, konsumsi MSG berlebihan dalam jangka panjang juga dapat menyebabkan hipersensitivitas pada sebagian orang. Hipersensitivitas tersebut biasanya diawali oleh gejala-gejala ringan seperti sakit kepala, kesemutan, ataupun rasa mual yang umum disebut dengan Chinese Restaurant Syndrome. Selain itu, gejala terparah yang dapat dialami oleh sebagian orang bahkan timbul mati rasa hingga sensasi terbakar di wajah, leher atau area lainnya.

Berdasarkan laporan Federal of American Societies for Experimental Biology (FASEB), disebutkan bahwa secara umum MSG aman dikonsumsi. Atas hal tersebut kemudian dilakukan penelitian terhadap dua kelompok yang mengonsumsi MSG dan keduanya menunjukkan reaksi yang berbeda akibat konsumsi MSG tersebut. Kelompok pertama, adalah kelompok masyarakat yang sehat dan tidak memiliki penyakit bawaan yang berarti sedangkan kelompok kedua adalah kelompok masyarakat pengidap penyakit asma. Penelitian yang dilakukan pada kelompok pertama, menunjukkan reaksi berupa keluhan rasa panas pada leher, lengan dan dada serta diikuti kaku pada otot dari daerah tersebut yang menyebar sampai ke punggung. Gejala lain yang ditunjukkan oleh kelompok pertama yaitu rasa panas dan kaku pada area tubuh, nyeri dada, sakit kepala dan mual. Gejala ini berlangsung pada 30 menit setelah MSG dikonsumsi dan bertahan hingga tiga sampai lima jam.

Berbeda halnya dari kelompok kedua, masyarakat dengan penyakit bawaan, mengatakan bahwa serangan asma meningkat lebih signifikan setelah konsumsi MSG. Selain itu, nyeri dada dan dada yang terasa sempit juga turut dirasakan berangsur-angsur oleh kelompok kedua. Munculnya keluhan-keluhan pada kelompok pertama maupun kelompok kedua mulai terlihat setelah kedua kelompok mengonsumsi MSG sekitar 0,5-2,5 gram.

Menanggapi hal tersebut, apakah sudah seharusnya pemerintah Indonesia mengkaji dan mengelola kebijakan tambahan atas konsumsi MSG pada masyarakat? Mari kita bahas.

Brunei dan Kebijakan Fiskalnya

Mengupas soal kebijakan fiskal, tentu beberapa Kawan Pajak mungkin terpikir soal kebijakan berupa pajak tambahan atas MSG di Indonesia untuk mengendalikan konsumsinya. Selain itu, dampak-dampak negatif yang mungkin ditimbulkan atas konsumsi MSG berlebihan dikhawatirkan dapat memicu permasalahan pada aspek sosial lainnya. Tapi, apakah mungkin untuk menerapkan pajak tambahan atas MSG di Indonesia?

Pada dasarnya, untuk melakukan pengendalian atas peredaran maupun konsumsi barang-barang kategori tertentu dapat dikaji dengan regulasi cukai di Indonesia. Sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (UU Cukai) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Dijelaskan lebih lanjut bahwa karakteristik Barang Kena Cukai (BKC) yaitu:

  1. konsumsinya perlu dikendalikan;
  2. peredarannya perlu diawasi;
  3. pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; dan
  4. pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Jika mengacu pada karakteristik di atas, memang benar faktanya bahwa dalam jangka panjang MSG dapat menimbulkan eksternalitas negatif pada masyarakat, terutama terhadap kesehatan. Tidak hanya itu, tingkat peredaran di pasar kini sangat ramai dan mudah dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Harganya pun masih dalam kategori murah jika disandingkan dengan kebutuhan pokok masyarakat lainnya.

Membahas soal cukai, salah satu negara tetangga Indonesia, Brunei Darussalam, telah menjadi pelopor dalam penerapan kebijakan fiskal tambahan atas konsumsi MSG di negaranya. Kebijakan yang diatur oleh pemerintah setempat berupa pengenaan cukai atas MSG dalam jumlah tertentu. Kebijakan ini mulai berlaku dan diterapkan oleh Brunei Darussalam pada 1 April 2017 silam dan diatur dalam Brunei Darussalam Tariff and Trade Classification (BDTTC).

Dalam aturan tersebut Bagian VI tentang Products of the Chemical or Allied Industries, Bab 29 tentang Organic chemicals diatur bahwa monosodium glutamate (MSG) dengan HS Code 2922.42.20.00 dikenakan tarif cukai sebesar tiga puluh persen (30%) untuk setiap kilogram MSG. Regulasi tersebut tentu dibuat semata-mata untuk meminimalkan eksternalitas negatif terhadap masyarakat maupun lingkungan yang dapat ditimbulkan oleh konsumsi MSG tersebut. Pemerintah setempat juga meyakini bahwa pengenaan cukai terhadap MSG merupakan ikhtiar pemerintah dalam mengendalikan dan mengawasi tingkat peredaran di pasar.

Indonesia saat ini belum merumuskan potensi pengenaan cukai pada peredaran MSG seperti yang telah diprakarsai oleh negeri jiran. Sembari menunggu para perumus kebijakan mengolah regulasi fiskal khusus untuk mengawasi dan mengendalikan tingkat peredaran dan konsumsi MSG di Indonesia, kita dapat menerapkan pola hidup sehat dengan membatasi konsumsi MSG sesuai anjuran yang disarankan. Tentu hal ini tidak akan mudah bagi pemerintah untuk mencetuskan kebijakan baru tersebut. Tentu pemerintah akan mempertimbangan dengan matang ihwal pro dan kontra, serta aspirasi seluruh masyarakat mengenai perlu-tidaknya pemberlakuan pajak --tepatnya cukai-- atas micin.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.