Pajak Karbon, Sebuah Solusi yang Adaptif?
Oleh: Nurul Armylia, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Perubahan iklim telah lama menjadi isu yang hangat diperbincangkan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Beberapa sektor industri ditengarai turut memiliki andil dalam menyebabkan perubahan lingkungan, termasuk di antaranya pemanasan global dan peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer yang menyebabkan kenaikan suhu permukaan bumi. Selain komitmen, usaha nyata juga diperlukan untuk menanggulangi hal tersebut.
Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), termasuk Indonesia telah bersepakat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan menekan produksi emisi karbon. Hal tersebut dibuktikan dengan ditandatanganinya Paris Agreement pada 23 April 2016. Dalam kesepakatan tersebut, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 29% dengan usaha sendiri pada 2030.
Salah satu solusi nyata yang dapat diambil untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan menerapkan pajak karbon. Jenis pajak ini dikenakan terhadap emisi karbon yang berdampak negatif pada alam. Penerapan pajak karbon merupakan sebuah langkah perubahan positif karena dapat menjadi kendali terhadap penggunaan energi yang tidak ramah lingkungan. Dengan mengubah perilaku pelaku kegiatan ekonomi yang berpotensi menciptakan emisi gas rumah kaca dan merusak iklim, pajak karbon dapat menjadi pemicu perubahan ke arah yang lebih baik.
Selanjutnya, pendapatan yang dihasilkan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk proyek-proyek mitigasi perubahan iklim yang tentu memerlukan sumber pembiayaan. Hal ini dapat menciptakan sirkulasi positif. Dana yang diperoleh dari penerimaan pajak karbon digunakan untuk mengatasi dampak negatif emisi karbon. Dengan demikian, pajak karbon bukan hanya menjadi instrumen fiskal, tetapi juga instrumen untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan sekaligus perlindungan lingkungan.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Indonesia berencana untuk mulai menerapkan pajak karbon pada April 2021 yang dikenakan secara terbatas pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara. Rencana tersebut kemudian sempat ditunda hingga Juli 2022, sebelum kemudian batal dan direncanakan baru akan diterapkan di tahun 2025.
Terdapat beberapa faktor di balik tertundanya pengimplementasian pajak karbon di Indonesia, di antaranya adalah peraturan terkait pajak karbon yang masih perlu dimatangkan (termasuk aturan teknisnya), kesiapan dari mekanisme pasar karbon, serta situasi perekonomian global dan nasional yang masih dalam proses pemulihan setelah pandemi Covid-19.
Berdasarkan data World Research Institute (WRI), Indonesia termasuk ke dalam 10 negara penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca di dunia. Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh Indonesia setara dengan 2% emisi dunia. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya Indonesia perlu menerapkan pajak karbon dengan segera.
Kemudian, Indonesia dapat menerapkan pajak karbon sebagai bentuk komitmen pelaksanaan green economy (ekonomi hijau). Green economy merupakan perekonomian yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang sejalan dengan pengurangan risiko terhadap perusakan lingkungan. Kebijakan pajak karbon diharapkan dapat menurunkan emisi karbon.
Pajak karbon telah diterapkan oleh negara-negara lain dan terbukti memberikan dampak positif terkait emisi karbon. Berdasarkan laporan Bank Dunia, State and Trends of Carbon Pricing 2002, terdapat 37 negara yang sudah menerapkan pajak karbon.
Finlandia, sebagai negara pertama yang menerapkan pajak karbon, sejak tahun 1990 sampai tahun 1998, terbukti berhasil menekan emisi karbon sebesar 7% dari total emisi yang dihasilkan. Bahkan menurut data Bank Dunia di tahun 2018, negara ini terus mengalami penurunan emisi karbon yang signifikan. Pada tahun 2000 sampai tahun 2018, emisi karbon Finladia menurun sebesar 19,49%.
Sistem pajak karbon bisa berbeda-beda di tiap negara. Finlandia menerapkan tarif pajak lebih mahal untuk sektor transportasi dibandingkan dengan sektor lainnya. Saat ini, Finlandia merupakan salah satu negara dengan penerapan pajak karbon teringgi di dunia (urutan keenam) dengan tarif mencapai $85,1 per ton karbon.
Sementara itu, Swedia sebagai negara tetangga dari Finlandia, yang menerapkan pajak karbon sejak tahun 1991, juga mengalami penurunan emisi karbon sebesar 27%. Swedia menempati tarif pajak karbon tertinggi di posisi kedua dengan tarif mencapai $129,80 per ton karbon.
Dari benua Asia, ada Jepang yang menerapkan tarif $2,36 per ton karbon. Sejak tahun 2013 sampai tahun 2019, Jepang telah berhasil mengurangi emisi karbon sampai 8,2%.
Di Indonesia sendiri, tarif ditetapkan sebesar paling rendah Rp30 per kilogram karbondioksida ekuivalen (CO2e) atau Rp30.000 per ton CO2e atau setara dengan $1,93 per ton CO2e. Tarif tersebut lebih kecil dari usulan awal Rp75 per kg CO2e. Dengan tarif tersebut, Indonesia termasuk negara dengan tarif pajak karbon terendah di dunia.
Di luar isu pajak karbon, Indonesia telah melakukan beberapa upaya nyata untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, di antaranya kebijakan mobil listrik, pembangunan pembangkit listrik panas bumi, pembangkit listrik tenaga surya, dan lain sebagainya. Pengenaan pajak karbon akan menggenapi upaya-upaya tersebut. Semakin cepat, semakin baik. Demi Indonesia yang lebih hijau, demi masa depan dunia yang makin baik.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 1478 views