Pemeriksaan Bukti Permulaan Bukan Objek Praperadilan
Oleh: Abdul Hofir, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Uji materi Undang-Undang Perpajakan terkait pemeriksaan bukti permulaan (pembukper) khususnya Pasal 43A ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) hingga saat ini masih berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK).
Permohonan mempersoalkan dua hal. Pertama, pembukper yang dilaksanakan sebelum penyidikan termasuk kewenangan yang dimiliki Pemeriksa dapat diajukan upaya hukum praperadilan di Pengadilan Negeri. Kedua, tata cara pembukper yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) hanya berkenaan dengan hal-hal teknis-administratif, bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban warga negara.
Sebelum itu, perlu dijelaskan terlebih dulu pengertian pembukper. Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Akt. melalui bukunya Pemeriksaan, Investigasi, dan Penyidikan Pajak (2020:261-264) menyatakan terdapat dua istilah yang menjadi dasar memahami pembukper yaitu “pemeriksaan” dan “bukti permulaan”.
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Jadi, pembukper adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan untuk selanjutnya dapat dibuat laporan kejadian agar segera dapat dimulai tindakan penyidikan.
Sedangkan, praperadilan menurut Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; serta ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 menyatakan ketentuan Pasal 77 huruf a KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
Sudah Lama Diatur PMK
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembukper adalah PMK Nomor 177/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan (PMK-177). Sebetulnya, PMK-177 bukanlah PMK pertama yang mengatur mengenai tata cara pembukper. Sebelumnya telah ada PMK 202/PMK.03/2007, PMK 18/PMK.03/2013, dan PMK 239/PMK.03/2014.
Pembukper memiliki tujuan dan kedudukan yang sama dengan penyelidikan sebagaimana UU yang mengatur mengenai hukum acara pidana (Penjelasan Pasal 43A UU KUP).
Tujuan pembukper adalah mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Sedangkan, penyelidikan bertujuan mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan pengertian “bukti permulaan” dalam UU KUP jo. UU HPP dan “peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana” dalam KUHAP, dapat dipahami bahwa keduanya mempunyai tujuan yang sama. Pun dalam soal kedudukan. Pembukper maupun penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan.
Ini selaras dengan putusan Mahkamah Agung nomor 46/P.PTS/X/2023/25P/HUM/2023 tanggal 26 Oktober 2023 ketika menguji PMK-177 yang menyatakan: pembukper memiliki kedudukan yang sama dengan penyelidikan sebagaimana diatur dalam UU yang mengatur mengenai hukum acara pidana. Maka, kewenangan Pemeriksa bukti permulaan sebagaimana Pasal 8 ayat (3) dan ayat (5) PMK-177 ditujukan untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.”
Lebih lanjut MA menyatakan, pelaksanaan pembukper bukan merupakan tahap penyidikan (pro justitia) yang dapat dilaksanakan dengan upaya paksa penggeledahan dan penyitaan sebagaimana dalam KUHAP. Tindakan Pemeriksa bukti permulaan seperti meminjam buku dan catatan, mengakses dan/atau mengunduh data, dan tindakan lainnya sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 8 ayat (3) PMK-177 bukan upaya paksa mengingat seluruh proses tersebut baru dapat dilakukan setelah adanya persetujuan, izin, dari Wajib Pajak.”
Meskipun demikian, terdapat setidaknya tiga putusan PN yang mengabulkan permohonan praperadilan terkait pembukper. Pertama, putusan PN Surabaya nomor 14/Pid.Pra/2022.PN.Sby. Kedua, putusan PN Sanggau nomor 2/Pid.Pra/2021/PN.Sag. Ketiga, putusan PN Pematangsiantar nomor 2/Pid.Pra/2022/PN Pms. Ketiganya menyatakan bahwa terdapat upaya paksa berupa penggeledahan dan penyitaan dalam proses pembukper.
Ada juga putusan yang menyatakan bahwa dalam pembukper tidak terdapat upaya paksa. Pertama, putusan PN Jakarta Timur nomor 13/Pid.Pra/2021/PN.Jkt.Tim tanggal 28 Januari 2022. Kedua, putusan PN Jakarta Selatan nomor 96/Pid.Pra/2020/PN.Jkt.Sel tanggal 8 September 2020. Ketiga, putusan PN Sidoarjo nomor 1/Pid.Pra/2023/PN.Sda tanggal 23 Februari 2023.
Hal itu sangat ditentukan oleh pengetahuan, pengalaman, dan keyakinan hakim. Namun, putusan MA tanggal 26 Oktober 2023 memberikan landasan bahwa pembukper yang dilaksanakan sebelum penyidikan termasuk kewenangan yang dimiliki Pemeriksa tidak dapat diajukan upaya hukum praperadilan.
Bagaimana dengan pengaturan tata cara pembukper melalui PMK? Dasar kewenangan terbitnya PMK adalah Pasal 43A ayat (4) UU KUP yang berbunyi: Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 7 dan Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjelaskan hierarki peraturan perundang-undangan. Pada Pasal 8 ayat (1) disebutkan:
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, dst. ....
Kedudukan Peraturan Menteri
Penyebutan frasa “…peraturan yang ditetapkan oleh … Menteri …” menunjukkan kedudukan Peraturan Menteri sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. MA menyatakan: alasan keberatan Pemohon (bahwa tata cara pembukper yang diatur atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) hanya berkenaan dengan hal-hal teknis-administratif) tidak dapat dibenarkan. Alasannya sebagai berikut.
Pertama, penerbitan PMK-177 sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 43A ayat (4) UU KUP. Kedua, tujuan dan kedudukan pembukper sama dengan penyelidikan, serta kewenangan Pemeriksa ketika melakukan pembukper tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ketiga, pemulihan kerugian pada pendapatan negara yang lebih mencerminkan keadilan.
Dalam pelatihan bersama aparat penegak hukum 1 November 2023 di Batam, Hakim MA, Prof. Dr. Surya Jaya, S.H., M.Hum. menyatakan bahwa tahap penyelesaian tindak pidana di bidang perpajakan melalui pendekatan ultimum remidium meliputi bukti permulaan yang cukup, penyidikan, prapenuntutan, dan pemeriksaan di persidangan.
Bukti permulaan yang cukup diperoleh melalui proses pembukper yang mempunyai tujuan dan kedudukan yang sama dengan penyelidikan. Oleh karenanya, dalam forum tersebut peserta sepakat bahwa pembukper bukanlah objek praperadilan.
Tidak ada kejadian yang kebetulan. Tidak ada peristiwa tanpa hikmah di dalamnya. Karena itu, penulis berpendapat bahwa uji materi norma UU perpajakan terkait pembukper di MK yang saat ini berlangsung, memberikan setidaknya tiga pelajaran.
Pertama, sebagai momentum yang baik dan menunjukkan masyarakat mulai sadar akan pajak. Peran pajak yang makin meningkat dalam APBN memerlukan partisipasi masyarakat yang didasari kepatuhan sukarela (voluntary compliance) dan pemahaman yang baik mengenai ketentuan perpajakan termasuk penegakan hukum di bidang perpajakan.
Kedua, upaya pemenuhan tujuan hukum: menciptakan keadilan, kepastian, dan manfaat. Putusan praperadilan yang telah ada memerlukan batu uji yang lebih kokoh agar ke depan persoalan ini makin terang. Putusan MK menjadi rujukan dalam penegakan hukum berdasarkan konstitusi.
Ketiga, sebagai upaya memperkuat DJP. Sebagai institusi pendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia, DJP harus kuat, kredibel, dan akuntabel. Reformasi Jilid III yang kini berlangsung di DJP mengusung lima pilar: organisasi, SDM, proses bisnis, teknologi informasi dan basis data, serta regulasi. Melalui regulasi yang selaras dengan tujuan hukum, kita berharap DJP makin dipercaya masyarakat.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu
- 314 views