Oleh: Eko Priyono, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Menurut Lawrence M. Friedman, kesuksesan operasional suatu sistem hukum dapat dipengaruhi oleh tiga aspek utama, yaitu Struktur Hukum (Legal Structure), Substansi Hukum (Legal Substance), dan Budaya Hukum (Legal Culture). Struktur hukum diibaratkan sebagai sebuah mesin yang melibatkan berbagai institusi pembuat dan penegak hukum, seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Eksekutif, Legislatif, Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Di Indonesia, perbaikan struktur hukum menjadi tantangan besar, terutama mengingat adanya masalah serius seperti keterlibatan banyak oknum dalam kasus korupsi. Mulai dari aparat penegak hukum hingga pejabat di pemerintahan legislatif dan eksekutif, keterlibatan dalam kasus korupsi telah menjadi hambatan serius bagi efektivitas penegakan hukum dan pencapaian keadilan.

Pada aspek substansi hukum, Friedman menyoroti pentingnya apa yang dihasilkan oleh legislator, termasuk putusan, ketetapan, peraturan perundang-undangan, dan aturan di luar kitab undang-undang. Keterlibatan masyarakat dalam pembentukan undang-undang dianggap krusial untuk meningkatkan efektivitas pemberlakuan undang-undang. Di Indonesia, seringkali muncul persepsi bahwa terjadi minimnya partisipasi masyarakat dalam pembuatan undang-undang, seperti yang terlihat dalam pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Minerba. Selain itu, masalah hyper regulasi, peraturan yang bertentangan, overlapping, multitafsir, ketidaktaatan asas, ketidakefektifan, beban yang tidak perlu, dan ekonomi biaya tinggi juga kerap menghambat implementasi undang-undang (Direktorat Analisa Peraturan Perundang-undangan-Bappenas, 2012).

Beralih ke aspek ketiga, yaitu budaya hukum, Friedman menunjukkan bahwa budaya hukum mencerminkan hubungan antara perilaku sosial dan hukum. Untuk itu, diperlukan upaya untuk membentuk karakter masyarakat yang patuh terhadap prinsip-prinsip dan nilai-nilai dalam peraturan perundang-undangan. Pemanfaatan norma-norma di luar norma hukum dianggap sebagai alternatif untuk mendukung implementasi norma hukum. Pajak, sebagai pilar utama dalam memenuhi kebutuhan keuangan negara, menuntut kepatuhan wajib pajak dan efisiensi pengumpulan pendapatan. Penagihan pajak, sebagai serangkaian langkah strategis pemerintah, memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan antara kontribusi warga negara dan pembangunan negara.

Inovasi Regulasi Penagihan Pajak

Dalam konteks ini, Pemerintah Indonesia merespons dinamika peraturan perpajakan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61 Tahun 2023 Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak Atas Jumlah Pajak Yang Masih Harus DIbayar (PMK 61/2023). PMK ini bertujuan untuk memastikan keadilan, kepastian hukum, dan manfaat optimal dalam penagihan pajak. PMK ini menjadi tonggak penting dalam upaya mengoptimalkan proses penagihan pajak dengan mempertimbangkan perubahan dan dinamika dalam sistem perpajakan. Dengan adanya perubahan signifikan, termasuk kolaborasi internasional dalam penagihan pajak, peningkatan wewenang Menteri Keuangan, dan kejelasan dalam tata cara penagihan, diharapkan PMK ini akan membawa perubahan positif dalam upaya meningkatkan efektivitas penagihan pajak dan menjaga kontribusi yang adil dari semua lapisan masyarakat.Proses penagihan pajak merupakan fondasi penting untuk meningkatkan pendapatan pajak, yang menjadi sumber dana utama bagi pembangunan berkelanjutan dan penyediaan layanan publik yang berkualitas. Langkah-langkah ini melibatkan sejumlah upaya yang bertujuan untuk mengingatkan, memberi peringatan, dan menagih wajib pajak yang masih memiliki utang pajak yang belum diselesaikan. Dengan ini, pemerintah berupaya memastikan bahwa pendapatan pajak yang seharusnya dibayarkan oleh warga negara dan entitas bisnis benar-benar terkumpul, sejalan dengan tujuan kebijakan dan program pemerintah.

Salah satu poin penting yang diusung oleh PMK 61/2023 adalah pengaturan kolaborasi dalam penagihan pajak dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra. Di tengah era globalisasi yang semakin menguat, kerja sama antarnegara dalam penagihan pajak menjadi faktor penting dalam mengoptimalkan pengumpulan pendapatan. Ketentuan ini membuka peluang bagi Indonesia untuk bekerja sama dengan negara lain guna memastikan pembayaran pajak yang seharusnya diterima dari wajib pajak yang beroperasi di negara mitra. Inisiatif ini mengarah pada langkah progresif menuju pengumpulan pajak yang lebih efisien dan adil.

PMK 61/2023 membawa perubahan signifikan dalam tata cara penagihan pajak. Salah satu perubahan yang mencolok adalah pemberian wewenang lebih kepada Menteri Keuangan dalam menunjuk pejabat untuk melakukan penagihan pajak pusat. Perubahan ini diharapkan akan memperkuat proses penagihan secara keseluruhan, memberikan fleksibilitas, serta memperkuat otoritas pemerintah dalam mengejar pendapatan pajak yang tertunggak. Dalam konteks ini, PMK 61/2023 juga menghadirkan ketentuan yang lebih jelas mengenai berbagai aspek, termasuk tata cara pencabutan sita dan pemblokiran dalam situasi tertentu. Perubahan frasa "mendekati batas waktu penagihan" menjadi "dalam jangka waktu kurang dari 2 (dua) tahun" memberikan kepastian yang lebih besar bagi para wajib pajak yang terkena tindakan penagihan. Kehadiran ketentuan yang lebih jelas ini diharapkan dapat mengurangi ketidakpastian yang mungkin timbul dan memastikan perlakuan yang adil bagi semua pihak yang terlibat.

Penting untuk diingat bahwa penagihan pajak bukan semata-mata tentang pembebanan kewajiban finansial kepada warga negara. Lebih dari itu, ini adalah bentuk kontribusi nyata dalam membangun fondasi negara yang lebih kuat dan berkelanjutan. Dalam masyarakat yang adil, setiap individu dan entitas bisnis diharapkan berpartisipasi sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya. Oleh karena itu, tata cara penagihan pajak yang lebih tegas dan efisien seperti yang diperkenalkan oleh PMK 61/2023 pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan terhadap kontribusi yang adil, memastikan bahwa beban pajak dipikul bersama demi pembangunan yang merata.

Dalam rangka menjaga harmoni antara penagihan pajak yang tegas dan perlindungan hak-hak warga negara, tentunya penyusun kebijakan telah memandang perlu adanya evaluasi kontinu terhadap efektivitas implementasi PMK PMK 61/2023. Melalui proses evaluasi berkala, pemerintah dapat mengidentifikasi area di mana peningkatan lebih lanjut dapat diterapkan, serta memastikan bahwa proses penagihan pajak tetap berlangsung dengan prinsip keadilan dan efisiensi. PMK 61/2023 mencerminkan tekad pemerintah dalam meningkatkan efektivitas penagihan pajak. Dengan langkah-langkah yang lebih tegas, jelas, dan inovatif, diharapkan proses penagihan pajak akan menjadi lebih efisien, memberikan dampak positif bagi pembangunan negara, serta mewujudkan kontribusi yang adil dari semua lapisan masyarakat. Adalah penting untuk dipahami bersama bahwa penagihan pajak merupakan langkah yang tak terelakkan dalam membangun masyarakat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Dengan kesadaran dan sinergi kolektif, tujuan mengoptimalkan pendapatan negara dan melindungi kontribusi warga dapat tercapai secara optimal.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.