Reformasi Paradigma, Penguatan Ruh Self Assessment

Oleh: Andi Zulfikar, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sistem perpajakan di Indonesia pada prinsipnya memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Hal ini termaktub dalam penjelasan umum Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan stdtd UU Nomor 16 Tahun 2009. Dengan mengacu pada kebijakan pokok yang salah satunya dengan meningkatkan penerapan prinsip self assessment secara akuntabel dan konsisten, diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara dalam jangka menengah dan panjang. Selain itu, sistem ini diharapkan juga dapat meningkatkan kepatuhan sukarela dan menjadikan iklim usaha menjadi lebih baik.
Dalam pasal 2 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1983 stdtd UU Nomor 36 Tahun 2008 disebutkan bahwa Subjek Pajak terdiri dari orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, badan dan bentuk usaha tetap. Namun, tidak semua Subjek Pajak memiliki kewajiban untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Subjek Pajak tersebut harus memenuhi persyaratan objektif, yakni menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai ketentuan peraturan dimaksud. Setelah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif, maka wajib pajak tersebut harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP dan kemudian menjalankan kewajiban perpajakannya. Ini adalah awal mula penerapan sistem self assessment.
Di Indonesia, tantangan yang terjadi pada penerapan sistem ini adalah, masih terdapatgap antara apa yang diharapkan dengan apa yang terjadi di lapangan. Kepatuhan sukarela bagi mereka yang memenuhi persyaratan untuk memiliki NPWP dan kemudian menjalankan kewajibannya sesesuai peraturan ternyata belum mencapai taraf ideal. Masih terasa cukup lebar gap-nya antara yang mendaftarkan diri dan yang seharusnya mendaftarkan diri. Terlebih lagi pelaksanaan kewajiban setelah memiliki NPWP yang masih memerlukan perhatian bersama. Pada akhirnya, hal ini menjadi salah satu kendala untuk mendapatkan tax ratio yang diharapkan. Penerimaan pajak bergantung pada kesadaran masyarakat untuk melaksanakan sistem ini.
Membangun Paradigma Baru
Reformasi pajak telah bergulir saat ini. Salah satu hal yang diharapkan dari perubahan ini adalah meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Kepatuhan adalah efek dari sistem self assessment yang menjadi jiwa dari peraturan perpajakan di Indonesia. Kepatuhan salah satunya berasal dari kesadaran wajib pajak untuk menjalankan kewajiban perpajakannya.
Penulis berpendapat, ketidakpatuhan setidaknya berasal dari empat penyebab. Yang pertama, tidak patuh karena tidak mengetahui informasi hak dan kewajibannya serta pentingnya pajak. Yang kedua, tidak patuh walaupun telah mengetahui hak dan kewajibannya disebabkan tidak paham cara melakukannya. Yang ketiga, telah paham hak dan kewajibannya dan cara melakukannya, namun tidak memiliki akses untuk memenuhinya. Yang terakhir, tidak patuh karena kesengajaan, walaupun telah paham hak dan kewajibannya, cara melakukannya serta mempunyai akses untuk memenuhinya.
Memang, penulis belum mempunyai data tentang berapa persentase dari ketidakpatuhan berdasarkan empat penyebab tersebut. Namun penulis berpendapat, kesadaran itu bisa timbul bila pajak dan manfaatnya telah menjadi bagian yang melekat dalam kehidupan sehari-hari. Untuk meningkatkan kesadaran setidaknya harus memenuhi empat aspek, yakni dikenal, dipahami, mudah dihitung (sederhana) dan mudah cara pembayarannya. Aspek itulah yang harus dapat terwujud dalam reformasi perpajakan kali ini serta menjadi sudut pandang masyarakat tentang pajak.
Untuk itu, penulis berpendapat, ada ruh baru yang harus dibawa dalam reformasi pajak kali ini, utamanya yang berhubungan dengan peraturan dan proses bisnis. Pajak itu harus dikenal, tentu saja ini melalui edukasi dan sosialisasi. Selain itu, sudut pandang sebagian masyarakat bahwa pajak itu rumit pelaksanaannya, sebaiknya dapat diubah. Hal ini dapat diubah dengan dua cara yakni dengan merubah peraturan itu sendiri, atau meningkatkan tingkat edukasi masyarakat (melalui edukasi explicit knowledge dan melalui filtrasi ke pendidikan formal). Sebagai contoh perubahan peraturan yang bertujuan untuk memberikan kemudahan adalah PPh Final untuk wajib pajak yang memiliki penghasilan dengan peredaran bruto tertentu.
Pentingnya Edukasi
Apakah pajak di mata masyarakat telah dikenal, dipahami, mudah dihitung (sederhana) dan mudah cara pembayarannya? Mungkin perlu dilakukan penelitian mengenai hal tersebut. Kata pepatah mengatakan, tak kenal maka tak sayang. Maka untuk dapat meningkatkan kesadaran, maka perlu mengenalkan kepada mereka tentang pajak, khususnya pajak pusat.
Untuk mendekatkan pajak kepada masyarakat, pemerintah tak henti-hentinya melakukan berbagai cara. Salah satunya adalah melalui upaya edukasi pajak usia dini. Edukasi itu harus berkelanjutan, bahkan setelah setelah seseorang tidak lagi di bangku pendidikan formal. Masyarakat harus memahami, bahwa manfaat pajak telah melekat kepada mereka sejak usia dini. Kesadaran tentang pentingnya pajak, harus ditanamkan sejak awal. Negara berkewajiban menyejahterakan warganya, namun di lain pihak dibutuhkan kontribusi dari warga untuk menjalankan roda pemerintahan. Itulah keseimbangan.
Tantangan perubahan perpajakan di Indonesia, tidak selalu dapat mengacu pada kondisi perpajakan di negara lain. Ada perbedaan budaya, kultur masyarakat, dan keadaan sosial masyarakat. Untuk mengubah paradigma masyarakat tentang pajak, memerlukan perubahan yang mendasar. Hal ini dapat dimulai dengan pertanyaan sederhana, apakah pajak telah dianggap sebagai bagian dari pemecahan masalah bangsa ini, baik itu perekonomian ataupun berbagai masalah lainnya?(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 962 views