Oleh: Dian Anggraeni, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak 

Paradigma lama dalam  pelaksanaan pengawasan  perpajakan memandang wajib pajak sebagai pihak yang berpotensi melakukan kesalahan (kriminal). Paradigma  ini juga menekankan adanya penurunan perilaku illegal sejalan dengan pelaksanaan pemeriksaan dan pengenaan sanksi kepada wajib pajak (Allingham&Sasdmo,1972: Yitzhaki, 1974). Perkembangan zaman kemudian mengantarkan para pihak kepada kesadaran bahwa pemberian pelayanan oleh petugas pajak kepada masyarakat memilki pengaruh yang besar dalam peningkatan kepatuhan wajib pajak, bukan hanya pelaksanaan pengawasan.

Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) dan Pusat Data dan Analisa Tempo baru-baru ini melansir hasil survei mengenai persepsi wajib pajak terhadap kewajiban membayar pajak, praktik perpajakan & pelayanan kantor pajak. Survei dilakukan terhadap dua ribuan responden yang tersebar di tiga puluh provinsi. Sebagian besar responden (84,8%) berlatar belakang pendidikan S1 dan S2, dan 84% berjenis kelamin laki-laki.

Berita yang cukup menggembirakan bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), karena para punggawanya dinilai positif dalam hal keramahan, responsivitas dan kesiapan dalam memberikan informasi yang dibutuhkan. Sebanyak 81% responden merasakan berbagai sikap positif di atas ketika berhubungan dengan petugas pajak.

Hal positif lain yang turut menunjang kualitas layanan DJP adalah persepsi wajib pajak terhadap layanan elektronik. Sebanyak 87% responden menyatakan bahwa pendaftaran NPWP dapat dengan mudah dilakukan dengan mudah melalui e-registration, 93% pelaporan SPT melalui e-SPT dan e-filing dirasakan sangat memudahkan perusahaan dalam melakukan pelaporan. Kemudian 94% menyatakan bahwa fasilitas e-billing yang disediakan DJP membuat pembayaran pajak mudah, aman, dan fleksibel.

Deretan angka-angka prosentase tersebut, menunjukkan rapor kualitas pelayanan administrasi pajak cukup baik dipandang oleh masyarakat. Tak pelak berita gembira ini berhasil menyungggingkan senyum di bibir seorang Sri Mulyani Indrawati dalam acara Rembuk Pajak yang dihelat di Gedung Dhanapala (Senin, 6/8). Acara yang terselenggara berkat kolaborasi antara CITA dan Pusat Data dan Analisis Tempo ini salah satu agendanya adalah merilis hasil survei di atas. 

Proses transformasi pelayanan yang diberikan oleh DJP telah menempuh perjalanan yang cukup panjang. Beriringan dengan bergulirnya reformasi perpajakan sejak tahun 2002, DJP terus berusaha meningkatkan performa layanan perpajakannya, baik yang menyangkut SDM, maupun teknologi informasi terkait layanan.

Tata kelola sumber daya manusia pun mengalami banyak perubahan. Semangat memberikan pelayanan yang baik, ramah, cepat, dan memudahkan menghasilkan penempatan pegawai yang memberikan pelayanan berdasarkan kriteria tertentu. Stigma bahwa orang pajak menakutkan dan seharusnya dihindari harus dapat diubah. Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun upaya secara terus menerus dan berkesinambungan serta responsif terhadap perubahan terbukti mulai menunjukkan hasil.

Namun dalam hasil survei tersebut terselip informasi yang kurang menggembirakan. Sebanyak 75% responden merasa bahwa DJP lebih mengutamakan kemudahan pekerjaannya. Bila diterjemahkan mungkin maksudnya layanan DJP kurang berorientasi kepada kemudahan wajib pajak, namun lebih fokus kepada penyelesaian tunggakan pekerjaan DJP.

Persepsi seperti ini mungkin saja tertanam di benak para wajib pajak ketika solusi yang diberikan bersifat sementara. Sementara bisa menyelesaikan masalah, terutama sudah menutup tunggakan pekerjaan pegawai pajak ketika itu, namun kembali menimbulkan masalah di masa kemudian. Atau mungkin saja disebabkan oleh pergantian Account Representative (AR) yang kadangkala menerapkan perlakuan yang berbeda antara AR yang lama dengan yang baru. Banyak kemungkinannya.

Seribu lima ratus responden dari sekitar dua ribuan responden mengeluhkan hal tersebut. Tentu hal ini harus menjadi perhatian seluruh insan DJP. Jangan sampai poin ini bagaikan cabai yang terselip di gigi. Kecil tapi mengganggu. Kecil karena hanya salah satu parameter dibandingkan banyak parameter di atas yang bernilai sangat baik.

Parameter lain yang memerlukan perhatian untuk perbaikan adalah adanya persepsi bahwa perusahaan harus mematuhi keputusan DJP meskipun perusahaan menganggap keputusan tersebut tidak tepat. Untuk parameter ini, sebanyak 62% responden kompak menyatakan sikap yang sama. Keputusan DJP yang harus dilaksanakan oleh wajib pajak secara langung berbentuk surat-surat yang ditujukan kepada wajib pajak. Surat tersebut dapat berupa surat ketetapan pajak yang merupakan output dari pemeriksaan, ataupun surat tagihan pajak yang diterbitkan untuk menagih sanksi-sanksi perpajakan. Sikap lebih dari separuh responden ini perlu dicermati oleh DJP untuk melakukan perbaikan ke depannya.

Belum sempurna memang, namun cukup membuat hati membuncah. Wajib pajak yang merupakan pemangku kepentingan utama dalam administrasi perpajakan sudah memberikan  penilaian yang baik. Semoga penilaian yang baik ini berhubungan secara garis lurus dengan pencapaian penerimaan pajak. Karena segala daya upaya, pendekatan, kebijakan dan strategi yang dilakukan oleh DJP pada akhirnya memang harus mewujud secara konkret dalam bentuk pencapaian penerimaan pajak yang optimal.(*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.