Sinar Harapan, Senin 14 Januari 2008

Denyut jantung penerimaan negara (APBN) adalah sektor pajak. Maka ketika jantung ini denyutnya melemah, efeknya akan dirasakan oleh perekonomian bangsa. Saat ini, penerimaan pajak masih belum cukup memuaskan, ditambah lagi makin kuatnya usulan untuk memberikan insentif pajak bagi pengusaha yang menanamkan modalnya di Indonesia yang akhirnya akan mengurangi penerimaan pajak juga.
Langkah–langkah penggalian potensi perpajakan baik dengan menambah jumlah pajak baru (ekstensifikasi) maupun menggali penerimaan pajak dari wajib pajak terdaftar (intensifikasi), belum memberikan hasil nyata. Terakhir, Menteri Keuangan Sri Mulyani akan mengejar wajib pajak yang kekayaannya telah diumumkan secara terbuka oleh majalah Forbes.
Bagaimana cara cepat menggali penerimaan pajak yang seharusnya bisa ditempuh oleh Ditjen Pajak? Tulisan ini akan mengupas cara–cara tersebut, sehingga dapat secara nyata memberikan kontribusi ke penerimaan pajak.

 

Pentingnya Data
Persoalan utama yang dihadapi dalam menggali potensi pajak adalah ketersediaan data pendukung, terutama data transaksi keuangan. Sebenarnya data tersebut ada, tetapi karena aturan dan arogansi sektoral, data tersebut sulit didapat.
Kalaupun Ditjen Pajak mengejar wajib pajak (WP) yang telah diumumkan oleh majalah Forbes, kemungkinan besar hasil yang dicapai akan nihil, karena WP tersebut pasti merupakan wajib pajak besar di Kantor Pelayanan Pajak masing-masing.
Jadi, untuk apalagi dikejar, wong sudah diawasi terus! Ada dua data yang bisa didapat oleh Ditjen Pajak, yaitu Data Nasabah Private Banking di masing-masing bank dan Data Pemilik Obligasi Ritel Indonesia (ORI) yang dimiliki sendiri oleh Departemen Keuangan.
Data empiris menyebutkan setidaknya ada 64.000 orang Indonesia dengan aset senilai Rp US$ 257 miliar. Indikasi lain adalah angka penjualan mobil mewah (Ferari, Roll Royce, dan Bentley) meningkat setiap tahunnya. Periode Januari-Juli 2007 saja terjual 4.000 unit. Belum lagi data penjualan rumah mewah di atas Rp 1 miliar telah menembus angka 61.000 unit.
Kalau mau dieksplorasi lebih lanjut, struktur kepemilikan rekening nasabah sebagai berikut: nilai Rp 100 juta s/d Rp 1 miliar ada 1,3 juta rekening dan nilai Rp 1 miliar s/d Rp 5 miliar ada 226.000 rekening. Ini bisa langsung dibandingan dengan jumlah WP OP terdaftar yang hanya berkisar tiga jutaan WP.
Selanjutnya, apabila dibandingkan dengan data pembayaran pajak PPh Orang Pribadi, maka Ditjen Pajak masih dapat menambah penerimaan pajak dengan cepat.

 

Setidaknya cukup dengan membandingkan total aset dengan jumlah harta yang dilaporkan dalam SPT.
Data Obligasi Ritel Indonesia (ORI) sebenarnya dapat segera dimanfaatkan. Ketika diluncurkan ORI 001, ORI 002 dan ORI 003 telah menarik sebanyak 53.398 investor dengan nilai Rp 18,8 triliun. Orang awam pun tahu bahwa mereka ini pasti belum semuanya membayar pajak sedangkan sudah pasti memiliki kemampuan ekonomi di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

 

Pemanfaatan Data
Untuk nasabah bank, Ditjen Pajak akan kesulitan memperoleh data. Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter akan merahasiakan nasabah bank sesuai dengan Pasal 40 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Walaupun juga disebutkan dalam Pasal 41 UU tersebut dimana untuk kepentingan perpajakan, atas permintaan Menteri Keuangan maka Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk memberikan keterangan dan mempelihatkan bukti-bukti tertulis mengenai nasabah kepada pejabat pajak.
Artinya, asumsi yang berkembang selama ini bahwa rahasia nasabah di bank tidak bisa dibuka akan gugur dengan sendiri. Tugas Ditjen Pajak selanjutnya adalah memperoleh data transaksi keuangan (pembelian/penjualan tanah/bangunan dan kendaraan bermotor) sehingga atas dasar tersebut dapat diperoleh nomor rekening dan bank yang selanjutnya akan digunakan Menteri Keuangan dalam meminta keterangan atas nasabah bank tersebut.
Ditjen Pajak dapat bekerja sama dengan pihak penjual mobil mewah dalam memperoleh data penjualannya. Juga perusahaan real estate dapat diminta data pembelinya. Langkah-langkah ini lebih mudah dan cepat dilakukan sebelum memasuki bagian ”perbankan”.
Akhir-akhir ini juga berkembang perusahaan pengelola aset kekayaan (wealth management) untuk individu (Height Network Individual/HWNI) yang nonperbankan, di mana klien perusahaan tersebut adalah pemilik rekening dengan nilai di atas Rp 500 juta.
Di satu perusahaan saja, sudah ada yang terdaftar sebanyak 26.000 orang. Model-model seperti ini akan berkembang cepat dengan semakin banyaknya kebutuhan investasi individual yang ditawarkan. Ditjen Pajak juga harus melihat ini sebagai tantangan untuk dapat memperoleh data klien tersebut, tanpa harus terikat dengan UU Perbankan.
Data ORI sepenuhnya ada di tangan Menteri Keuangan. Sekarang tinggal ditunggu kemauan politis dari Menkeu, apakah lebih mempertahankan kelangsungan ORI dengan tetap menyembunyikan data tersebut sehingga investor tidak resah atau lari, atau membuka data tersebut ke Ditjen Pajak untuk dibandingan dengan SPT-nya, dan ini secara langsung akan menambah penerimaan pajak untuk tahun–tahun berikutnya.

 

Langkah Selanjutnya
Kesulitan utama Ditjen Pajak dalam memperoleh data adalah rendahnya respons dari pihak yang dimintai datanya dengan alasan menjaga rahasia pembeli atau kliennya. Untuk itu, sangat diperlukan kemauan politis tingkat pimpinan (Dirjen Pajak) dalam menjalin kerjasama dengan perusahaan tersebut langsung atau melalui departemen pemberi ijin perusahaan tersebut (Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Hukum dan HAM serta Pemda setempat)
Cara lain, Ditjen Pajak menggunakan UU No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yang mengatur mengenai permintaan data ke pihak ketiga dalam rangka pemeriksaan pajak. Mengingat ini dapat memberikan kontribusi penerimaan yang signifikan, Ditjen Pajak dapat segera melakukan Pemeriksaan Sederhana Kantor (PSK) terhadap perusahaan yang menjual atau memiliki klien dimana akan dimintai datanya.
Prinsipnya, yang memang kaya, mbok yah bayar pajak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Kan nggak mau disebut miskin?

 

Penulis adalah Staf Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan.

Oleh
Chandra Budi