Oleh: Windah Ferry Cahyasari, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Tanggal 14 Juli telah ditetapkan sebagai hari Pajak melalui KEP-313/PJ/2017 tanggal 22 Desember 2017. Bukan tanpa alasan tanggal tersebut yang dipilih. Tanggal 14 Juli 1945 merupakan salah satu tanggal bersejarah dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI), kata pajak pertama kali didudukkan dalam tatanan rancangan Undang-Undang Dasar.

Sejak Indonesia merdeka, perpajakan sudah menjadi salah satu pilar dalam perekonomian negara. Dan selama itu pula, perpajakan ikut berbenah dari dekade ke dekade, mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman. Reformasi secara umum adalah perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa.

Tercatat, terdapat lima Reformasi perpajakan yang sudah dan sedang dilalui oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Reformasi Undang-Undang Perpajakan

Tahun 1983, Reformasi Perpajakan pertama kali bergulir dengan nama Reformasi Undang-Undang Perpajakan.

Kenapa disebut sebagai reformasi undang-undang perpajakan?

Karena pada tahun 1983, terbit lima undang-undang baru yang berdampak luas pada wajah perpajakan di Indonesia. Kelima undang-undang baru tersebut mengakibatkan undang-undang sebelumnya yang merupakan produk kolonial Belanda menjadi tidak berlaku.

Kelima undang-undang yang diterbitkan kala itu adalah UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), UU No. 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), UU No.12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan UU No.13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Melalui undang-undang tersebut, lahirlah sebuah sistem perpajakan baru, yaitu self assesment system.

Pada era tahun 1991 hingga tahun 2000 dilakukanlah Reformasi Undang-Undang Perpajakan lanjutan yang menitikberatkan pada penyederhanaan jenis pajak.  Lebih tepatnya pada tahun 1994, terbit empat undang-undang yang merupakan perubahan dari undang-undang yang telah terbit sebelumnya di tahun 1983. Selanjutnya di tahun 1997, terbit 5 undang-undang baru lagi yang melengkapi khasanah perpajakan di Indonesia.

Reformasi Birokrasi

Reformasi birokrasi dimulai pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2001 dalam rangka persiapan menghadapi Reformasi Perpajakan Jilid I. Pada tahun tersebut, dilakukan penetapan visi dan misi serta blueprint Reformasi Perpajakan Jilid I

Reformasi Perpajakan Jilid I

Reformasi perpajakan ini dimulai pada tahun 2002 hingga tahun 2008. Pelayanan satu atap (One stop services) menjadi produk yang diunggulkan dan membawa dampak perubahan yang signifikan dalam modernisasi organisasi perpajakan. Modernisasi Kantor Pelayanan Pajak dimulai dengan dibentuknya 2 KPP Wajib Pajak Besar, 10 KPP Khusus, 32 KPP Madya, dan 357 KPP Pratama di seluruh Indonesia.

Reformasi Perpajakan Jilid II

Berlangsung dari tahun 2009 hingga tahun 2014, Reformasi ini menitikberatkan pada peningkatan internal kontrol DJP dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dilakukan dengan mereformasi proses bisnis, dan teknologi informasi. Dibuatlah Standar Operating Procedure (SOP) pelayanan perpajakan untuk memberikan panduan baku dalam pelayanan. Produk yang terkenal saat itu adalah 16 layanan unggulan DJP yang salah satunya  mengusung janji pembuatan NPWP 1 hari kerja.

Reformasi Perpajakan Jilid III

Reformasi ini telah digulirkan sejak tahun 2017 dan memiliki target  hingga tahun 2024. Reformasi Perpajakan yang terjadi sekarang ini, adalah reformasi terbesar dalam sejarah karena melibatkan perubahan dalam lima pilar utama, yaitu organisasi, SDM, IT dan Basis Data, Proses Bisnis, dan Peraturan Perpajakan. Pada akhir tahun 2020, diharapkan reformasi terkait organisasi, SDM, dan peraturan telah rampung. Sedangkan untuk IT dan Basis Data serta Proses Bisnis, terus melaju pada tahap pengembangan, support dan perbaikan hingga tahun 2024.

Reformasi jilid III  ini berada pada momentum terbaiknya yaitu tepat diusung setelah berakhirnya program Tax Amnesty. Perhatian dan kepercayaan wajib pajak sedang tertuju penuh pada keberhasilan program Tax Amnesty dan publik menunggu proses besar lanjutannya. Dengan pertaruhan itu, Reformasi perpajakan jilid III ini harus berhasil dijalankan untuk menjadi institusi perpajakan yang lebih kuat, kredibel dan akuntabel.

Mengapa hal ini perlu dilakukan?

Salah satu alasan utama adalah karena adanya perkembangan ekonomi digital, dan perkembangan ekonomi global yang terus dinamis sesuai perkembangan zaman. Selain itu basis data yang dimiliki oleh DJP sudah semakin besar dengan adanya Tax Amnesty dan program Automatic Exchange of Information (AEoI).  Maka sudah menjadi sebuah keniscayaan, bahwa DJP perlu kembali berbenah. Sebuah harapan besar tersemat pada reformasi perpajakan kali ini. Selain DJP diharapkan dapat bertransformasi menjadi organisasi yang lebih baik, DJP juga harus dapat meningkatkan rasio pajak dan kepatuhan wajib pajak  sehingga menghasilkan penerimaan negara yang optimal.

Reformasi perpajakan jilid III belum berakhir. Sejarah masih terus mencatat proses dan menunggu hasil reformasi perpajakan terbesar di Indonesia ini. 

Jika sejarah telah mengambil bagiannya, lalu dimana posisi kita?

Kitalah bagian dari perjuangan itu, sebagai pelaku sejarah.(*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.