Tongkat Estafet PT Freeport Indonesia untuk Kesejahteraan Rakyat Indonesia

Oleh: Rifky Bagas Nugrahanto, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Divestasi saham 51% merupakan salah satu pencapaian dan komitmen penting pemerintah Indonesia. Media dalam negeri maupun luar negeri pun banyak meliput peristiwa ini, namun beberapa sisi ada yang mendukung dan di lain sisi mencibir dengan dengan keraguannya. Media seperti The Straits Times menyebut penandatangan ini saham Freeport yang dilakukan Indonesia sebagai “kesepakatan monumental” (landmark deal) dan juga Wall Street Journal menyoroti kebangkitan nasionalisme sumber daya (resource nationalism). Perlu dipahami bahwa sampai tahap divestasi saham ini, dalam realitanya memerlukan waktu yang panjang, sehingga mempelajari sejarah adanya Freeport di Indonesia adalah suatu keharusan.
Menelisik Sejarah Freeport di Indonesia
Menurut sumber dari www.wikipedia.org, Pada tahun 1967 merupakan awal Kontrak Karya Pertama Freeport (KK-I) untuk meneruskan proyek penambangan di Ertsberg. Daerah kabupaten Mimika yang dahulu hanya hutan, seiring pembangunan pemukiman dan bandara, membuat beberapa penduduk di Timika yang dahulu berpencar, masuk ke wilayah sekitar tambang Freeport yang membuat pertumbuhan penduduk semakin meningkat. Dalam perjalanannya, ditemukan cadangan tambang di Grasberg pada tahun 1988, namun dari pihak Freeport memerlukan jaminan investasi jangka panjang untuk proyek ini, sehingga di tahun 1991 berlaku Kontrak Karya II selama 30 tahun dengan periode produksi akan berakhir pada tahun 2021.
Kondisi Geografis dan Masyarakat di Timika
Pengoperasian PT FREEPORT INDONESIA pertama di tahun 1967, kondisi masyarakat waktu itu masih memiliki tingkat baca tulis yang rendah, rentan terhadap wabah penyakit seperti malaria, dan hidup dalam kemiskinan. Infrastruktur yang belum memadai yang membuat situasi menjadi kurang kondusif. Oleh karena itu dalam perjalanannya dikeluarkan investasi sebesar USD 110,9 juta untuk pembangunan berkelanjutan di Papua untuk tahun 2012, dan penambahan investasi bertahap lainnya untuk pembangunan sosial, pengembangan masyarakat, serta pembangunan infrastruktur yang bermanfaat bagi masyarakat, antara lain sekolah, rumah sakit, dan asrama siswa.
Selain itu, digelontorkannya investasi program kesehatan dengan pembangunan rumah sakit terbesar bagi komunitas Timika, pembentukan Community Public Health dan Malaria Control PT Freeport Indonesia (CPHMC-PT FREEPORT INDONESIA) yang bekerjasama dengan LPMAK, KPA Mimika, dan Dinas Kesehatan yang memberikan pelatihan relawan AIDS untuk tujuh suku di wilayah SP9, SP 12, Pomako, Nawaripi, dan Kwamki Lama. Bukan hanya malaria dan AIDS, CPHMC mempunyai tugas untuk melaksanakan sosialisasi pendekatan penanganan lewat DOTS (Direct Observe Treatement Shortcourse), kegiatan pelatihan penanganan pasien TB bagi kader PMO (Pengawas Minum Obat) yang bertujuan memberikan dampak positif penanggulangan TB.
Bukan hanya dalam program kesehatan, namun didirikan pula pusat pelatihan dan pengembangan di Institut Pertambangan Nemangkawi, yang menyediakan pengembangan masa magang berbasis kompetensi. Melalui LPMAK hingga tahun 2012, melalui dana kemitraan telah menyediakan beasiswa bagi 8.772 pelajar dan bertahap selanjutnya hingga di tahun 2014 memberikan penambahan dana kemitraan sebesar 600 miliar yang berbanding alokasi sebelumnya yang rata-rata sekitar Rp1 triliun. Mau tidak mau, kita harus mengakui, ada andil besar dari PT Freeport Indonesia untuk menciptakan pembangunan masyarakat dan pengelolaan sumber daya alam di Timika, yang mungkin selama ini masih diabaikan dan dalam kurun waktu ini akan menjadi tongkat estafet yang benar-benar harus diemban pemerintah Indonesia dengan optimis apalagi dengan program divestasi 51% saham PT Freeport Indonesia ini.
Melihat Sisi Keuntungan Divestasi Saham 51% PT Freeport Indonesia
Menurut sumber dari www.kemenkeu.go.id, dukungan ini merupakan sisi positif bagi Indonesia, untuk mengembalikan Freeport Indonesia ke pangkuan tanah air Indonesia melalui PT Inalum (Indonesia Asahan Alumunium) sebagai induk holding tambang. Dalam penandatanganan ini PT Inalum yang merupakan perusahaan BUMN akan mengeluarkan dana sebesar USD3,8 Miliar untuk membeli hak partisipasi Rio Tinto di PTFI dan 100 persen saham FCX di PT Indocoper Investama, sebesar 9,36 persen dan ditargetkan sampai akhir tahun 2018 ini akan selesai.
Pokok-pokok perjanjian ini selaras dengan kesepakatan pada tanggal 12 Januari 2018 antara Pemerintah Indonesia, Pemerintah Provinsi Papua, dan Pemerintah Kabupaten Mimika, dimana pemerintah daerah akan mendapatkan saham sebesar 10% dari kepemilikan saham PTFI.
Keuntungan-keuntungan divestasi saham 51% PT Freeport Indonesia, antara lain;
1. Peningkatan pendapatan dan kepercayaan didapat;
2. Freeport janjikan keuntungan lebih dari Rp 861,8 T;
3. Memberi kapasitas iklim investasi nasional;
4. Transparansi pengelolaan Freeport.
Tantangan Pengelolaan PT Freeport Indonesia ke Tangan Pemerintah
Mengenai keuntungan pendapatan dan janji nominal keuntungan harus dipahami, semua itu tergantung dengan bagaimana pengelolaan sumber daya alam ini akan dibawa selanjutnya. Dalam hal kapabilitas dan kompetensi operasional, harus kita akui bahwa sisi manajemen PT Freeport Indonesia telah mempunyai pengalaman dan teknologi yang mumpuni. Sehingga anggapan orang luar, jika secara penuh negara memegang kendali operasional, saya rasa untuk saat ini kemampuan SDM (Sumber Daya Manusia) dan teknologi dalam negeri belum mampu terlepas dari bayang-bayang Freeport-McMoran Inc.
Saya sebagai aparatur sipil negara di bawah Kementerian Keuangan yang bertugas di Kabupaten Mimika, saya melihat dan menyadari standar prosedur pelaksaan dalam manajemen PT Freeport Indonesia telah diakui dan berstandar internasional. Dari sisi operasional pemerintah memerlukan waktu yang mungkin lumayan lama untuk mempelajari banyak proses bisnis, regulasi, dan HSE (Health, Safety, Environment) antara lain, seperti analisis dampak lingkungan, proses observasi, penggalian, penyimpanan, pengolahan, pengangkutan, transportasi, kesehatan, keamanan, dan juga dari sisi pengembalian kembali habitat hasil tambang.
Sehingga pengelolaan yang salah, tidak akan memberikan pendapatan yang diharapkan, melainkan akan sebaliknya, yaitu dampak kerugian secara materil dan mungkin bisa merusak habitat asli serta menyengsarakan masyarakat sekitar.
Namun kembali lagi dari sisi hukum dan administrasi ini merupakan keharusan, sehingga pemerintah dalam hal ini mempunyai kapasitas mengendalikan manajemen PT Freeport Indonesia. Beberapa kasus mengenai PHK (Penghentian Hubungan Kerja) yang besar di kurun waktu sebelumnya, yang berimbas dengan tidak kondusifnya wilayah Timika, setidaknya setelah dikendalikan oleh pemerintah, tidak akan terjadi lagi.
Transparansi yang Mendukung Penerimaan Perpajakan, Bea Cukai, Perdagangan
Kedua, mengenai transparansi pengelolaan Freeport. Pengambilan alihan ini menguntungkan pemerintah. Dengan adanya transparansi data maka dapat dengan mudah dideteksi secara akurat mengenai kewajiban perpajakannya. Bukan hanya mengenai sisi internal PT Freeport Indonesia, namun juga perusahaan yang berafiliasi, perusahaan importir, dan perusahaan rekanan dari PT Freeport Indonesia. Ada sisi keterbukaan informasi yang dapat dimanfaatkan untuk data perpajakan. Data perpajakan ini sangat penting sebagai sarana keadilan perpajakan. Karena bisa saja, banyak perusahaan yang bekerja sama dengan PT Freeport Indonesia namun enggan untuk melaporkan kewajiban perpajakan. Sama halnya pula kewajiban perpajakan bagi pegawai tetap, pegawai tidak tetap, tenaga ahli, dan jasa konsultan di dalam lingkup PT Freeport Indonesia, yang ke depan akan lebih transparan atas penghasilannya.
Bagi birokrasi bea dan cukai, seluruh kegiatan operasional PT Freeport Indonesia akan juga lebih terbuka dalam melaporkan segala aktivitas impor alat, impor mesin, dan pengelolaan hasil tambang dari bahan mentah menjadi bahan yang secara legal diijinkan pemerintah untuk di ekspor.
Menarik Investor Secara Legal untuk Menumbuhkan Iklim Investasi
Ketiga, dengan pengambil alihan manajemen di bawah pemerintah maka dapat direalisasikan saham PT Freeport Indonesia untuk dicatatkan di BEI (Bursa Efek Indonesia). Karena kita ketahui bahwa masih sedikitnya perusahaan sektor pertambangan yang melakukan pencatatan saham di bursa efek, dan hanya perusahaan-perusahaan Indonesia, seperti PT Adaro Tbk dan PT Indika Energy Tbk yang sudah terdaftar di BEI.
Semakin banyak emiten yang terdaftar di BEI akan memberikan banyak pilihan kepada para investor untuk dapat menginvestasikan dananya, sehingga akan terjadi penguatan pasar modal di Indonesia yang berdampak pula pada meningkatnya kepercayaan dunia akan iklim investasi di Indonesia.
Beberapa ulasan-ulasan di atas, kita dapat memahami, divestasi saham 51% ini merupakan langkah yang tepat yang dilakukan pemerintah. Pilihan-pilihan dengan skala prioritas telah dipertimbangkan dengan matang. Pemerintah Indonesia membutuhkan dukungan secara penuh dari warga negaranya, dengan bersama-sama mengawasi pengelolaan PT Freeport Indonesia ini, agar benar-benar memberi kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.(*)
*) Tulisan adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan instansi dimana penulis bekerja
- 1282 kali dilihat