Oleh: Anang Purnadi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Wacana pengenaan pajak terhadap influencer atau endorser di media sosial seperti yang dilakukan para selebgram kembali menjadi topik bahasan hangat. Hal ini sebagai respon pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara yang menyinggung soal aktivitas promosi produk di dunia maya, tapi tak dikenai pajak.

Menurut Rudiantara, semua bentuk promosi di Instagram pasti ada bayaran yang diterima para artis. Harusnya penerimaan itu turut dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak).

Menkominfo mendorong adanya aturan pajak untuk pengguna akun yang menjual jasa atau barang di media sosial tersebut. Semua bentuk promosi di Instagram pasti ada bayaran yang diterima para artis. Pengenaan pajak ini untuk memberi rasa keadilan dengan para penjual jasa promosi di media konvensional misalnya Televisi yang telah dikenakan pajak.

Desember 2018 lalu contohnya penyanyi dangdut Via Vallen sempat menjadi salah satu endorser produk kecantikan yang akhirnya bermasalah karena ilegal, mengakui menerima fee sekali endorse Rp7 juta.

Ditjen Pajak sudah mengawasi media sosial sejak lama

Ditjen Pajak memastikan sudah melakukan pemantauan aktivitas wajib pajak di media sosial. Pemantauan itu mulai dari aktivitas mempromosikan produk di Instagram (Selebgram) hingga di situs web berbagi video, Youtube dengan membuat video-Blogging atau vlog.

Publik tentu masih mengingat video 'Bu Dendy' mengomel sambil melemparkan uang ratusan juta kepada temannya yang diduga berusaha merebut suaminya. Berita yang membuat heboh berawal dari Facebook dan sampai akhirnya menjadi headline di media online nasional. Ditjen Pajak melalui KPP Pratama Tulungagung menindaklanjuti kejadian tersebut sampai dengan yang bersangkutan melakukan pembayaran dan pelaporan pajaknya.

Begitu juga tentang pengakuan 'Pengacara Mewah' mantan Ketua DPR yang saat ini menjadi terdakwa kasus korupsi eKTP. Berkat cuitan para netizen di Twitter yang me-mention akun @DitjenPajak, status Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan pelaporan pajak pengacara tersebut dapat ditelusuri dan ditindaklanjuti.

Jumat 11 Januari 2019 di salah satu media, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama menyatakan, "Saat ini pemantauan kami masih secara manual, artinya teman-teman di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang memantau aktivitas wajib pajaknya yang berprofesi artis atau selebgram dari medsos mereka langsung."

Ditjen Pajak sedang menyiapkan dan mengembangkan sistem teknologi yang bisa memantau aktivitas wajib pajak di media sosial. Sehingga Ditjen Pajak dalam melakukan pemantauan aktivitas wajib pajak di media sosial tidak lagi dilakukan secara manual.

SONETA versi Ditjen Pajak

Ditjen Pajak telah memiliki sebuah sistem bernama Social Network Analytics (SONETA) yang bisa menganalisis penyandingan data baik untuk pajak penghasilan (PPh) maupun pajak pertambahan nilai (PPN) nantinya diharapkan bisa terintegrasi dengan setiap media sosial.

Otoritas pajak pun memiliki DJP enterprise search untuk menganalisis wajib pajak beserta entitas terkait seperti aset, anggota keluarga, dan kepemilikan perusahaan. Meski demikian, sistem tersebut saat ini baru bisa digunakan di internal otoritas pajak.

Ini dilakukan untuk menambah basis data dari para wajib pajak yang saat ini sudah dimiliki oleh Ditjen Pajak. Sebagai gambaran, Selebgram yang mempromosikan sebuah produk di Instagram, penjual di Facebook, Youtube, dan Kaskuser yang berjualan di forum jual beli (FJB) akan dikenakan pajak.

PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23

Tipe Selebgram bisa dipetakan menjadi dua, ada yang disebut dengan paid endorsement ada yang disebut paid promote. Ada selebgram yang memang menggunakan produk yang dipromosikan, ada yang cuma sekadar memberikan promosi saja.

Pajak Penghasilan (PPh) atas fee atau bayaran yang diterima Selebgram hampir sama dengan pajak atas para pekerja seni atau artis lainnya. Dalam konteks Selebgram ini melibatkan beberapa pihak.

Yang pertama adalah pihak pemilik produk. Yang kedua adalah Selebgram atau endorser. Yang ketiga adalah agen Selebgram atau selayaknya manajemen artis. Pemilik produk dapat menghubungi endorser atau selebgramnya secara langsung, bisa juga melewati agen.

Jika pemilik produk menggunakan jasa agen atau manajemen artis yang merupakan corporate, Selebgram tentu dipotong PPh pasal 23. Tapi jika langsung kepada Selebgram tersebut dikenakan PPh Pasal 21.

Status pemberi penghasilan dalam hal ini perusahaan pemilik produk menjadi penentu apakah PPh Pasal 21 Selebgram dipotong atau disetor sendiri. Jika berstatus pemotong PPh Pasal 21, maka wajib memotong PPh atas fee Selebgram tersebut. Jika bukan pemotong PPh Pasal 21, Selebgram yang bersangkutan wajib melaporkan penghasilan yang diterima di Surat Pemberitahunan (SPT) Tahunannya.

Di era Revolusi Industri 4.0 saat ini, Selebgram dan Youtubers adalah profesi baru yang belum pernah terpikir 20 tahun lalu. Era media sosial membuat jutaan lapangan pekerjaan baru. Tidak mengherankan, banyak cita-cita anak zaman sekarang "Menjadi Youtubers dan Selebgram". Apa pun pekerjaannya, sumbangsih pajaknya untuk Indonesia jangan terlupa. (*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.