Quo Vadis Reformasi Perpajakan Indonesia?

Oleh: Andi Zulfikar, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Perubahan selalu menjadi hal yang menggelisahkan sekaligus dirindukan. Menggelisahkan bagi mereka yang mereka telah nyaman berada dalam keadaan status quo, dirindukan bagi mereka yang merasa ada yang harus diperbaiki dengan cara berubah. Walaupun, tentu saja, status quo tak selalu berarti negatif dan perubahan tak selalu bermakna positif. Seperti perahu yang berlayar sesuai kepemimpinan nakhoda, maka perubahan adalah kebaikan ketika pemimpinnya mempunyai visi terbaik. Kekuatan perubahan atau reformasi sesungguhnya terletak pada sejauh mana pemimpin memandang pulau harapan yang hendak dituju.
Jargon perubahan bisa menjadi kekuatan dan kemenangan bagi mereka yang mampu mengolahnya dengan baik. Karena kesempurnaan adalah nisbi, maka selalu saja ada yang harus diperbaiki. Dunia berputar, zaman berubah, maka yang tak berubah akan tergilas. Heraclitus, seorang filsuf, telah lama menghentak kesadaran dengan berpesan bahwa tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Maka yang tidak berubah, perlahan akan menghilang, karena perubahan itu adalah keharusan menurut pendapat filsuf ini.
Lebih jauh, Rita Mae Brown, seorang novelis, pernah menulis, “Insanity, doing the same thing over and over again and expecting different result." Kegilaan, adalah melakukan hal yang sama terus menerus dan mengharapkan hasil yang berbeda. Kalimat yang juga diatributkan pada Albert Einstein, mengingatkan kita bahwa bila ingin hal yang sama telah dilakukan, tapi terus menerus gagal, maka berubahlah. Bila benar Albert Einstein betul-betul pernah mengucapkan kalimat yang sama, maka itu mungkin sebuah jawaban dari pernyataannya yang lain.
Albert Einstein berkata, "The hardest thing in the world to understand is the income tax." Hal yang paling sulit dimengerti di dunia ini adalah pajak penghasilan. Seandainya pernyataan yang sama diajukan oleh mereka yang ada di Indonesia, maka Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menjawabnya. Bukan dengan kata-kata, namun dengan tindakan yakni melalui reformasi perpajakan jilid I tahun 2002 atau yang dikenal juga dengan nama modernisasi DJP. Reformasi ini menjadi jalan pembuka bagi masa depan bangsa yang jauh lebih baik.
Reformasi DJP, Sebuah Titik Balik
Modernisasi DJP, reformasi perpajakan jilid I, menjadi sebuah sejarah. Perubahan yang dimulai dari atas dan mendapat dukungan dari bawah, menjadi sebuah cakrawala baru harapan bagi bangsa. Satu titik utama, penerimaan pajak, bisa menjadi penjelas keberhasilan modernisasi DJP yang perjalanannya dimulai sejak tahun 2002 dan disempurnakan pada akhir 2008. Betapa tidak, bila pada tahun 2002 penerimaan pajak berkisar di angka 210 triliun rupiah, maka pada tahun 2009, penerimaan pajak sudah berkisar di angka 544 triliun rupiah. Buahnya bahkan masih dapat dinikmati sampai sekarang, di mana penerimaan pajak pada tahun 2015, penerimaan pajak untuk pertama kalinya tembus seribu triliun rupiah.
Modernisasi DJP adalah sebuah titik balik. Laksana kupu-kupu yang bermetamorfosis, terjadi perubahan besar-besaran di DJP saat itu. Dengan berpondasi pada restrukturisasi organisasi, penyempurnaan proses bisnis dan penyempurnaan manajemen Sumber Daya Manusia (SDM), tujuan modernisasi adalah tercapainya tingkat kepatuhan yang tinggi (tax compliance), kepercayaan yang tinggi pada DJP, serta produktivitas yang tinggi.
Hasil survei integritas sektor publik tahun 2011 yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan DJP memperoleh nilai total integritas sebesar 7,65 dalam pelayanan penyelesaian permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP). Hal ini jauh lebih tinggi dari standar minimal integritas yang ditetapkan KPK sebesar 6,0. Hasil itu juga jauh lebih tinggi dari nilai rata-rata total integritas dari 15 unit layanan yang disurvei (6,40). Hal ini menunjukkan ada perbaikan dalam hal pelayanan dan integritas DJP, yang salah satunya adalah buah dari reformasi DJP.
Perubahan struktur organisasi pun telah banyak memberikan kemudahan pada wajib pajak. Perubahan organisasi yang lebih mengacu pada fungsi, melahirkan pelayanan yang jauh lebih berkualitas. Bila dulu wajib pajak merasa kebingungan bila hendak berkonsultasi masalah pajak, maka dengan adanya fungsi Account Representative (AR), wajib pajak mendapatkan kemudahan pelayanan dalam menjalankan hak dan kewajibannya.
DJP mencoba menghapus stigma bahwa menghitung pajak itu sulit. Asalkan ada kemauan untuk belajar, maka ruang yang dibuka DJP pun beragam. Baik melalui AR, melalui help desk, kring pajak, ataupun melalui berbagai kelas pajak, penyuluhan, dan cara lainnya. Itulah yang menjadi jawaban bahwa pajak itu tidak lagi menjadi hal yang sulit dimengerti, karena ruang belajarnya semakin banyak. Dan itulah buah dari reformasi DJP yang dinikmati wajib pajak saat ini.
Lalu pertanyaannya, apakah reformasi DJP hanya sampai di situ?
Reformasi, Harus Terus Berlanjut?
Di tengah perubahan ekonomi dunia yang dinamis, DJP mempunyai semakin banyak tantangan ke depannya. Perubahan telah dilakukan melalui reformasi perpajakan jilid I, walaupun telah menunjukkan hasil, tidak boleh berhenti di situ saja. Setidaknya ada beberapa alasan, di antaranya adalah kebutuhan akan organisasi yang adaptif terhadap perubahan lingkungan eksternal, peningkatan kapasitas dan kapabilitas SDM, pembenahan sistem informasi dan basis data yang kredibel, penyederhanaan proses bisnis, penyempurnaan regulasi dan antisipasi terhadap jumlah wajib pajak yang semakin meningkat.
Untuk itu, DJP kembali menyambut tantangan perubahan dengan terus menjalankan beberapa program reformasi perpajakan jilid III melalui konsolidasi, akselerasi, dan kontinuitas reformasi perpajakan. Reformasi ini telah dijalankan sejak tahun 2017 dan diharapkan akan mencapai hasil utama dengan pencapaian tax ratio 15 % di tahun 2024. Hal ini dijalankan melalui lima pilar reformasi perpajakan yakni organisasi, SDM, sistem informasi dan basis data, proses bisnis serta peraturan perundang-undangan.
Reformasi perpajakan jilid I atau modernisasi DJP mempunyai kisahnya sendiri. Reformasi perpajakan jilid III mempunyai jalannya yang masih dijalani saat ini. Pencapaian tax ratio 15 % adalah jalan menjadi negara yang lebih berdikari. Karena pajak adalah jantung penerimaan, maka memperkuat kesehatan bangsa haruslah dengan memperbaiki sistem perpajakan. Perubahan bukanlah satu-satunya jalan menuju keberhasilan. Namun tanpa perubahan, maka mengharapkan keberhasilan akan sangat sulit bila kita telah tahu, cara yang lama tak kunjung menghadirkan mentari yang terbit indah seperti masa yang lalu.Saatnya berubah, atau perubahan yang akan menggilas impian-impian kita. (*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 594 kali dilihat