Promosi untuk Peningkatan Pajak

Oleh: Anandita Budi Suryana, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencanangkan tanggal 25 September 2018 yang lalu sebagai program Kemenkeu Mengajar. Program ini diadakan menyambut Hari Oeang Tahun 2018 dan untuk meningkatkan kepedulian anak-anak pada tingkat pendidikan dasar terkait peranan negara dan khususnya Kemenkeu. Termasuk dalam penjelasan itu tentang peranan pajak.
Jika disebut kata pajak, apa yang terbayang di masyarakat? Pajak PBB, pajak mobil atau bisa jadi kerepotan lapor pajak dan buat apa uang pajak. Suatu saat ketika penyuluhan pengisian SPT (Surat Pemberitahuan) Tahunan pajak penghasilan, seorang pendidik bertanya untuk apa ada pajak. Wajib pajak tersebut merasa repot harus mengisi SPT dan harus merelakan sebagian gajinya dipotong pajak penghasilan. Ini fenomena nyata dan menjadi tantangan bersama.
Berbeda dengan Indonesia, penarikan pajak di banyak negara maju sudah tersistem secara benar dengan adanya non cash payment (pembayaran non tunai). Sumber-sumber penghasilan bisa diketahui kantor pajak karena melibatkan trasfer bank atau payment gateway. Wajib pajak bisa meminta kelebihan pembayaran pajak, jika pemotongan pajak atas penghasilan mereka, melebihi jumlah pajak yang harus disetor.
Sementara Indonesia belum sepenuhnya tersistem. Pembayaran tunai masih dilakukan secara masif sehingga sulit terdeteksi berapa penghasilan sebenarnya wajib pajak. Untuk meningkatkan pembayaran pajak, perlu dilakukan sosialisasi atau penyuluhan. Asumsinya dasar penyuluhan ini, adalah jika masyarakat tahu pajak, maka akan membayar pajak. Apakah benar demikian?
Sulit untuk menjawab secara tepat, karena peningkatan pelayanan kantor pajak belum berkorelasi dengan peningkatan kesadaran masyarakat. Psikologis masyarakat berusaha, kalau bisa, tidak perlu bayar pajak. Padahal Pemerintah jelas sekali berpesan pada masyarakat agar membayar pajak secara tepat sesuai kemampuan ekonomi. Ini tercermin, contohnya, dengan penurunan tarif Pajak Penghasilan untuk UKM dari 1 persen menjadi setengah persen agar masyarakat lebih ringan dalam bayar pajak.
Jadi di mana masalahnya? Pertama, bisa jadi kendala biaya penyuluhan yang sangat terbatas. Kedua, masyarakat belum tergerak dengan sistem iklan perpajakan. Ketiga, psikologi masyarakat yang tidak merasa ada konteks atau dorongan harus membayar pajak. Masyarakat baru tahu pajak itu dua: Pajak kendaraan bermotor dan pajak bumi dan bangunan sedangkan PPh (Pajak Penghasilan) dan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) belum banyak yang tahu.
Program APBN
Kalau melihat program APBN, mayoritas kementerian menganggarkan program ke masyarakat. Di sektor industri, ada program bantuan revitalisasi mesin industri tekstil. Sektor perikanan juga membantu tahun 2018, berupa 522 kapal bantuan bagi nelayan dan 1.702 API (Alat Penangkap Ikan) ramah lingkungan. Yang fantastis tentu saja dana desa, sebesar Rp20,6 triliun (2015), Rp49,6 triliun (2016) dan Rp60 triliun (2017). Dana desa bertujuan untuk perekonomian desa dan infrastruktur yang dampaknya diperlukan masyarakat desa.
Belum lagi bicara dana transfer untuk pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, sekolah dan kesehatan yang dibangun tiap tahun. Juga dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk pendidikan dasar dan menengah, termasuk bidik misi. Bahkan Pemerintah memberikan kuota jumlah PBI (Penerima Bantuan Iuran) untuk masyarakat tidak mampu mencapai 107,2 juta jiwa pada 2019. Bahkan untuk kereta api listrik di Jabodetabek pun masih mendapat alokasi Rp1,29 triliun di 2018.
Lalu, apakah ada kementerian yang menyebut semua bantuan itu bersumber dari uang pajak PPh dan PPN? Atau paling tidak mengingatkan agar penerima bantuan untuk taat dan bayar pajak? Sepertinya hal itu belum ada ataupun kalau ada sangat jarang. Dan masyarakat menganggap itu sebagai "gratis" dari negara tanpa memikirkan sumbernya.
Di teori psikologi sosial, ada stimulus dan respon. Secara berkelanjutan, stimulus terjadi berulang-ulang yang akan diikuti oleh respon. Ini akan berhubungan dengan pemecahan masalah terkait keterbatasan anggaran penyuluhan dan konten iklan perpajakan.
Tagar dan Baliho
Kantor pajak tidak bisa memberi bantuan finansial atau program pemberdayaan ke masyarakat. Makanya stimulus berupa bantuan bantuan finansial dan sosial lainnya perlu dilengkapi statemen dari kementerian terkait bahwa "Program ini dibiayai dari Pajak PPh dan PPN". Perlu juga di setiap bangunan fisik, dipasang baliho sesuai statement di atas.
Beruntung ini era media sosial. Rilis proyek perlu juga di media sosial kementerian terkait berupa tagar #Program ini dibiayai dari Pajak PPh dan PPN atau semacamnya, untuk awareness generasi milenial akan pajak. Beda rasa, jika yang bicara PPh dan PPN adalah kementerian penyalur bantuan.
Bahkan guru atau dosen mengingatkan bahwa biaya BOS dan bidik misi dibiayai dari pajak PPh dan PPN. Khusus disebut PPh dan PPN untuk membedakan dengan pajak daerah berupa pajak kendaraan bermotor dan PBB. Ini sebagai edukasi ke masyarakat dan membenamkan persepsi adanya jenis pajak lain berupa PPN dan PPh. Stimulus yang berulang akan terekam dalam psikologis masyarakat sehingga ketika diajak berbicara PPh dan PPN akan terhubung.
Yang akan menjadi daya ungkit lainnya dalah penetapan konteks membayar pajak. Misalnya ketika BPJS perlu kenaikan iuran bagi PBI, maka kantor pajak bisa membuat tagar #Bantu BPJS dengan bayar PPh dan PPN secara benar. Atau untuk bantuan BOS, bisa dengan tagar #Bantu BOS siswa dengan bayar PPh dan PPN Anda.
Lebih jauh lagi, kantor pajak bisa mengusulkan untuk mengundang wajib pajak dalam peresmian proyek-proyek pemerintah agar ada kebanggaan bahwa uang pajak digunakan untuk kemaslahatan rakyat. Keikutsertaan aktif dalam peresmian proyek akan menjadi tipping point (pemicu) di era media sosial bahwa uang pajak dibelanjakan untuk kepentingan luas.
Tidak perlu lagi Pemerintah yang beriklan layanan masyarakat agar bayar pajak. Itu akan cepat terlupakan. Justru adanya berita atau tautan media sosial dari sesama masyarakat (netizen) secara masif lebih ampuh sebagai stimulus dalam menggerakkan respon masyarakat ikut serta dalam membayar pajak.
Solusinya hanya inklusi pajak, atau jika tidak, opsi penegakan hukum secara tegas kepada pengemplang pajak. Membuka wawasan masyarakat bahwa pajak hadir secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.
- 696 kali dilihat