PPS, Komitmen Pemerintah Terhadap Lingkungan

Oleh: Gabiela Gumilang, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau Voluntary Disclosure Program (VDP) diatur tersendiri dalam Bab V Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Apakah ini dejavu dari Tax Amnesty tahun 2016 silam?
Staf Khusus Menteri Keuangan (Stafsus Menkeu) Yustinus Prastowo mengatakan PPS berbeda dengan program Tax Amnesty tahun 2016 lalu. Perbedaannya antara lain terletak pada kondisi dan tarif, “Ketika Tax Amnesty, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak memiliki akses informasi. Maka dulu dilakukan rekonsiliasi, tarifnya rendah supaya mau ikut,” ungkap Yustinus saat sosialisasi UU HPP (Rabu, 3/11).
Selain perbedaan kondisi, PPS dan Tax Amnesty juga berbeda pada tarif. Pada kebijakan I, tarif paling rendah adalah 6% sedangkan tarif paling rendah pada kebijakan II adalah 12%. Kedua tarif terendah tersebut diimplementasikan untuk aset luar negeri yang direpatriasi atau aset di dalam negeri dan aset tersebut diinvestasikan pada Surat Berharga Negara atau hilirisasi atau renewable energy. Di sini kita terfokus pada istilah renewable energy atau energi terbarukan.
Target Net-Zero Emissions
Paris Agreement atau Perjanjian Paris tahun 2016 menyepakati komitmen global untuk menahan laju kenaikan kenaikan suhu bumi rata-rata tidak lebih dari dua derajat celsius di atas suhu bumi pada masa pra-industrial dan melanjutkan upaya untuk menekan kenaikan suhu bumi hingga 1,5 derajat celsius di atas suhu bumi pada masa pra-industrial. Negara industri dan maju juga diwajibkan untuk mencapai target Net-Zero Emissions (NZE) pada 2050.
Dikutip dari Carbon Brief Indonesia, total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan Indonesia mencapai angka 2,4 miliar ton setara CO2 (GtCO2e) di tahun 2015. Adapun sumber emisi terbesar berasal dari deforestasi, bahan bakar fosil (sektor energi) dan kebakaran lahan gambut. Sektor energi menyumbang 40% dari total emisi gas rumah kaca tahun 2016 dan 91% dari total energi yang dihasilkan Indonesia masih bersumber dari bahan bakar fosil. Sehingga komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca melalui transisi energi dari basis fosil menjadi energi terbarukan merupakan sebuah urgensi untuk mewujudkan target Net-Zero Emissions.
Menurut International Energy Agency (IEA), energi terbarukan adalah energi yang berasal dari proses alam yang diisi ulang terus menerus. IEA mengklasifikasikan energi terbarukan yaitu matahari, angin, biomassa (bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintetik), panas bumi, hydropower (air mengalir), laut, biofuel, dan hidrogen. Energi terbarukan dapat mengurangi polusi udara dan dapat melindungi masyarakat dari bahaya perubahan iklim yang mengakibatkan kenaikan suhu bumi.
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Roma, Italia Oktober 2021 silam menyatakan bahwa Indonesia sebetulnya memiliki potensi yang besar dalam sektor energi terbarukan, yang dapat mencapai 418 gigawatt, contohnya Indonesia memiliki sebanyak 4.400 sungai yang dapat dimanfaatkan sebagai hydropower. Presiden Jokowi juga menegaskan peran Indonesia yang sangat penting karena menjadi salah satu negara dengan hutan tropis dan mangrove terbesar. Pemerintah sudah mencanangkan percepatan transisi energi menuju energi terbarukan. Pada Konferensi Iklim di Glasglow bulan November 2021, Presiden Jokowi juga menyampaikan komitmen Indonesia dalam menyusun strategi peralihan pembangkit listrik dari batubara ke energi terbarukan dan mempercepat pembangunan infrastruktur energi terbarukan, salah satunya adalah Green Industrial Park di Kalimantan Utara yang sumber energinya akan berasal dari air Sungai Kayan.
Komitmen Indonesia dalam menanggulangi perubahan iklim ini juga tercermin pada Peraturan Presiden nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Isu perubahan iklim menjadi Prioritas Nasional ke-6 (PN-6) yaitu: Membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim.
Salah satu program dari PN-6 adalah Program Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon (PPRK). Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan RI dalam Laporan Anggaran Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim 2018-2020 menyatakan salah satu skenario PPRK adalah dengan melakukan transisi energi ke sumber energi terbarukan dan mengurangi penggunaan batu bara sampai 23% pada tahun 2030 dan 30% pada tahun 2045.
Dampak Ekonomi Investasi Energi Terbarukan
Salah satu alasan masih tingginya penggunaan sumber energi tak terbarukan, seperti batu bara, di Indonesia adalah persepsi bahwa biaya yang dibutuhkan oleh sumber energi tak terbarukan adalah opsi yang paling murah. Padahal terdapat eksternalitas yang tidak ikut diperhitungkan ketika penentuan harga, seperti biaya kesehatan dan biaya kerusakan lingkungan akibat pembakaran energi tak terbarukan. Panas ekstrim dan kekeringan akibat kerusakan lingkungan dapat mengakibatkan penurunan aktivitas masyarakat, belum lagi kenaikan air laut yang mengharuskan migrasi penduduk yang mendiami pesisir, serta eksternalitas lain akibat tingginya emisi yang dihasilkan.
International Renewables Outlook 2020 dari International Renewable Energy (IRENA) menunjukan skenario transformasi energi akan memakan biaya US$19 triliun lebih besar namun dapat menghasilkan pendapatan sebesar US$50-142 triliun pada tahun 2050, yang artinya dapat memberikan pendapatan sampai 8 kali lebih besar dari investasi awal. Lebih jauh lagi, transisi energi dapat menekan pengeluaran negara dengan menurunnya biaya kesehatan dan biaya kerusakan lingkungan sehingga transisi energi dapat memberikan multiplier effect yang besar.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) menyatakan bahwa untuk merealisasikan transisi energi, Indonesia membutuhkan investasi hingga Rp306 triliun per tahun. Adapun investasi tersebut harus dipenuhi baik oleh pemerintah maupun swasta. Sejauh ini belum banyak keterlibatan swasta dalam pembangunan transisi energi, sehingga peluang investasi swasta perlu untuk digalakkan. Salah satu upaya pemerintah adalah dengan penetapan tarif terendah pada PPS ini.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 550 kali dilihat