Oleh : Rika Sari Sjafri, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Pemerintah mulai 1 Januari 2022 s.d. 30 Juni 2022 menyelenggarakan  Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang memberi kesempatan wajib pajak untuk mengungkapkan harta yang belum diungkapkan secara sukarela melalui dua alternatif kebijakan.

Pertama, Pengungkapan harta bersih (harta dikurangi hutang sesuai UU Tax Amnesty) oleh peserta program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty/TA) baik WP badan maupun orang pribadi (OP) yang menyebabkan timbulnya pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) dengan tarif 11%, 8%, dan 6%.

KeduaPengungkapan harta bersih (harta dikurangi hutang) perolehan 2016-2020 yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh OP Tahun Pajak 2020 yang menyebabkan timbulnya pembayaran PPh dengan tarif 18%, 14%, dan 12%.

Yang menjadi patokan adalah pedoman nilai harta. Pedoman nilai harta adalah keadaan pada akhir Tahun Pajak terakhir. Untuk Kebijakan I adalah sebesar nilai nominal untuk kas atau setara kas atau sebesar Nilai Jual Objek Pajak,  Nilai Jual Kendaraan Bermotor, dan nilai yang dipublikasikan oleh PT Aneka Tambang Tbk, PT BEI, PT Penilai Harga Efek Indonesia. Bila tidak ada nilai pedoman maka menggunakan hasil penilaian kantor jasa penilai publik (KJPP).

Sedangkan untuk Kebijakan II adalah sebesar nilai nominal untuk kas atau setara kas atau harga perolehan, untuk selain kas atau setara kas. Bila tidak diketahui, menggunakan nilai wajar per 31 Desember 2020 dari aset yang sejenis atau setara berdasarkan penilaian wajib pajak.

Dari semua itu yang menarik dalam program PPS ini adalah perlindungan data dan tidak dikenai sanksi Pasal 18 ayat (3) UU TA (untuk Kebijakan I) dan/atau tidak diterbitkan ketetapan untuk kewajiban pajak tahun 2016-2020 (untuk Kebijakan II). Perlindungan data berupa data/informasi yang diadministrasikan yang berkaitan dengan pelaksanaan UU HPP tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau  penuntutan pidana terhadap wajib pajak.

 

Menarik untuk Dicoba

Kebijakan I dikhususkan untuk peserta TA, baik badan maupun orang pribadi. Sebagaimana diketahui apabila DJP menemukan harta lainnya (s.d 2015) yang kurang/belum diungkap saat TA maka atas harta dimaksud akan dikenai PPh Final dengan tarif 30% (PP No 36 Tahun 2017) ditambah sanksi 200%  berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UU TA. Aturan ini mengikat peserta TA tanpa ada batas waktu, jika DJP menemukan harta dimaksud pada tahun 2030 dan DJP dapat mengenakan pajak ditambah sanksi atas penemuan harta dimaksud.

Misalkan Tn. A (bukan kriteria wajib pajak tertentu berdasarkan PP 36 Tahun 2017) adalah peserta TA yang kurang melaporkan harta (yang diperoleh s.d. 2015) dengan nilai perolehan Rp1 miliar dan nilai bersih sebesar Rp1,5 miliar pada akhir tahun pajak terakhir, harta ini ada di dalam negeri dan tidak diniatkan untuk diinvestasikan dalam SBN/hilirisasi/renewable energy.

Tn. A memiliki dua pilihan, mengikuti PPS atau menunggu DJP menemukan harta dimaksud dan menetapkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).

Mengikuti PPS, pajak yang harus dibayar Tn. A adalah sebesar 8% dikali Rp1,5 miliar (nilai bersih akhir tahun pajak terakhir) sebesar Rp120 juta.

Sedangkan bila DJP menemukan harta dimaksud dan menetapkan SKPKB, maka pokok pajak yang harus dibayar Tn. A adalah sebesar tarif final 30% dikalikan harga perolehan Rp1 miliar sebesar Rp300 Juta. Ditambah sanksi 200% dikalikan Rp300 Juta menjadi Rp600 juta. Sehingga total pajak yang harus dibayar Tn. A sebesar Rp900 juta.

Dari ilustrasi di atas, besaran pajak yang harus dibayar Tn. A melalui PPS hanya 13.33%% bila dibandingkan yang harus dibayar apabila DJP menemukan harta dimaksud.

Pertanyaan berikutnya, seberapa besar kemungkinan DJP menemukan harta yang belum diungkapkan ini?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, mari kita simak bersama PPS Kebijakan II.

PPS Kebijakan II diperuntukkan untuk wajib pajak orang pribadi yang belum mengungkapkan harta secara benar di SPT tahun 2016 s.d. 2020. Sebagaimana kita ketahui apabila DJP menemukan harta dimaksud maka akan dikenai PPh dengan tarif pasal 17 UU PPh dan sanksi bunga per bulan ditambah uplift factor 15% (sanksi Pasal 13 ayat (2) UU KUP).

Misalkan Tn. B bukan peserta TA kurang melaporkan harta selain kas pada tahun 2019, dengan nilai perolehan Rp1 miliar dan nilai bersih sebesar Rp1.5 miliar pada akhir tahun pajak terakhir, harta ini ada di dalam negeri dan tidak diniatkan untuk diinvestasikan dalam SBN/hilirisasi/renewable energy.

Tn. B memiliki dua pilihan, mengikuti PPS atau menunggu DJP menemukan harta dimaksud dan menetapkan SKPKB.

Menngikuti PPS, pajak yang harus dibayar Tn. B adalah sebesar 14% dikali Rp1 miliar (harga perolehan) berjumlah Rp140 juta.

Sedangkan apabila DJP menemukan harta dimaksud dan menetapkan SKPKB di tahun 2022, maka pokok pajak yang harus dibayar Tn. B adalah sebesar tarif pasal 17 (misalkan di SPT terakhir penghasilan kena pajak Tn. B adalah Rp300 Juta) dikalikan  Rp1.300 juta (tambahan harta ditambah penghasilan kena pajak) yaitu Rp334 juta, dikurangi pajak yang telah dibayar sekitar Rp44 Juta sehingga pokok pajak yang masih harus dibayar sekitar Rp290 juta. Sanksi anggaplah kurang lebih sebesar 1,75% dikali 24 bulan berjumlah 43.75% dikalikan pokok pajak Rp290 Juta sehingga menjadi Rp126.875 juta. Sehingga total pajak yang harus dibayar Tn. B adalah sebesar Rp416.875 juta.

Dari ilustrasi di atas, besaran pajak yang harus dibayar Tn. B melalui PPS kurang lebih hanya sebesar 33.5% dibandingkan yang harus dibayar apabila DJP menemukan harta dimaksud.

 

Peluang DJP Menemukan Harta yang Disembunyikan

Jawaban pastinya tentu saja ada di tangan DJP. Namun demikian saat ini DJP memiliki akses data eksternal yang cukup besar, sebagaimana tergambarkan dengan peraturan-peraturan berikut.

Perpu Nomor 1 Tahun 2017 yang mewajibkan perbankan, asuransi dan entitas jasa keuangan lainnya untuk melaporkan informasi keuangan yang paling sedikit mengandung ID pemegang rekening, nomor rekening, ID badan penerbit, saldo akhir rekening dan pendapatan terkait dengan rekening.

Ada juga Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2017 yang mengatur pertukaran informasi yang berkaitan dengan perpajakan berdasarkan Perjanjian Internasional atau Exchange of Information (EOI) yang bertujuan untuk mencegah penghindaran pajak, pengelakan pajak, penyalahgunaan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) oleh pihak-pihak yang tidak berhak,  dan/atau mendapatkan informasi terkait pemenuhan kewajiban perpajakan WP.

Atau Peraturan Menteri Keuangan Nomor 228/PMK.03/2017 yang memandatkan 69 instansi pemerintah, departemen, asosiasi dan institusi lainnya termasuk perbankan dan penerbit kartu kredit untuk menyerahkan data dan/atau informasi yang terkait perpajakan ke DJP berupa kumpulan angka, huruf, kata, dan/atau citra, yang bentuknya dapat berupa surat, dokumen, buku, atau catatan serta keterangan tertulis, yang dapat memberikan petunjuk mengenai penghasilan dan/atau kekayaan/harta orang pribadi atau badan, termasuk kegiatan usaha atau pekerjaan bebas orang pribadi atau badan.

Kelimpahan data dan informasi memberikan kesempatan DJP untuk memanfaatkannya antara lain melalui data mining. Data mining adalah multidisiplin yang menggabungkan statistik, machine learning, artificial intelligence dan teknologi database. Data mining menjelaskan masa lalu dan memprediksi masa depan dengan menggunakan teknik analisis data.

DJP saat ini telah mempunyai Compliance Risk Management (CRM) yaitu suatu proses pengelolaan risiko kepatuhan wajib pajak secara menyeluruh yang meliputi identifikasi, pemetaan, pemodelan, dan mitigasi atas risiko kepatuhan wajib pajak serta evaluasinya sehingga menjadi kerangka kerja yang sistematis, terukur, dan objektif.  

CRM ini terus menerus mengalami pengembangan berkelanjutan dan diimplementasikan bersama-sama dengan business intelligence dalam kegiatan ekstensifikasi, pelayanan, edukasi perpajakan, pengawasan, pemeriksaan, penagihan, dan pengujian transfer pricing di unit kerja DJP.

Jadi, seberapa besar kemungkinan DJP menemukan harta yang belum dilaporkan, menurut hemat penulis, kemungkinan besar DJP sudah menemukannya. Jadi sekarang, bola ada di tangan wajib pajak yang belum melaporkan harta dengan benar. Apakah akan memanfaatkan PPS yang memberikan jaminan atau menunggu saat DJP menyampaikan temuan atas harta dimaksud.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.