Oleh: Ilham Agista Putranto, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Sudah satu tahun sejak Indonesia dilanda krisis multidimensional yang disebabkan oleh pandemi Covid-19. Tentunya, kondisi ini kembali membawa Indonesia pada krisis simtomatik yang tidak berujung. Hal ini menjadi tantangan yang sangat rumit terutama bagi pemerintah untuk menciptakan stabilitas ekonomi serta mengembalikan sektor-sektor yang terdampak ke kondisi semula. 

Program pemulihan ekonomi tidak lepas dari yang namanya pembiayaan. Oleh karena itu, otoritas sebagai policy maker tentu diharapkan mampu melaksanakan kebijakan yang bisa menghimpun penerimaan. Selain untuk mengimbangi belanja negara yang cukup besar, langkah ini juga sebagai solusi jangka panjang agar keuangan negara tidak terkontraksi cukup dalam. 

Sejauh ini perlu dipahami bahwa kebijakan moneter yang dilaksanakan oleh pemerintah sudah cukup baik namun akan lebih baik jika diimbangi dengan kebijakan fiskal untuk satu tujuan yang sama. Salah satu opsi yang relevan dalam kondisi saat ini adalah pelaksanaan tax amnesty seperti yang populer dibicarakan di kalangan akademisi. 

Tax amnesty cukup menjanjikan mengingat banyak manfaat yang bisa didapatkan pemerintah. Uang tebusan tax amnesty dapat menjadi tambahan anggaran program pemulihan. Sementara itu, pemerintah punya kesempatan untuk mengoptimalkan komitmen repatriasi yang mana dalam jangka panjang akan membantu akselerasi pemulihan ekonomi dalam negeri. Terakhir, harus diakui bahwa tax amnesty ini bisa menjadi win win solution bagi wajib pajak yang tidak patuh yang mana di sisi lain otoritas mengalami keterbatasan untuk menegakan hukum pajak akibat keterbatasan di masa pandemi.

Selain itu, program ini sebelumnya pernah dilaksanakan di Indonesia dimana berhasil memberikan tren yang positif. Data mengatakan bahwa setelah periode pelaksanaan tax amnesty, rasio peningkatan kepatuhan penyampaian surat pemberitahuan (SPT) tahunan wajib pajak peserta tax amnesty lebih tinggi dibandingkan rasio kepatuhan nasional. Di sisi lain, Pajak Penghasilan (PPh) tahunan orang pribadi peserta tax amnesty melonjak jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan wajib pajak bukan peserta tax amnesty di tahun yang sama. 

 

Tentang Program PPS

Kebijakan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan dalam BAB V dan PMK Nomor 196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak. Program ini diselenggarakan sejak 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022 dengan sebutan baru yakni PPS. Meskipun sering dianggap demikian, perlu diketahui bahwa kedua program ini tidaklah sama karena terdapat beberapa perbedaan khususnya dari segi tarif dan kondisi pelaksanaannya.

Laman resmi DJP mendefinisikan program PPS sebagai pemberian kesempatan kepada wajib pajak untuk melaporkan/mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta. 

PPS sendiri terdiri atas dua kebijakan. Kebijakan pertama dikhususkan untuk para peserta tax amnesty berupa pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan. 

Para peserta kebijakan ini hanya perlu menanggung tarif PPh Final sebesar:

  1. 11% untuk deklarasi luar negeri
  2. 8% untuk aset luar negeri repatriasi dan aset dalam negeri, serta 
  3. 6% untuk aset luar negeri repatriasi dan aset dalam negeri yang diinvestasikan dalam SBN/hilirisasi/renewable energy.

Kebijakan kedua ditujukan kepada seluruh Wajib Pajak Orang Pribadi berupa pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak. Tarif PPH Final yang dikenakan adalah sebagai berikut:

  1. 18% diberikan untuk deklarasi luar negeri
  2. 14% untuk aset luar negeri repatriasi dan aset dalam negeri
  3. 12% untuk aset luar negeri dan aset dalam negeri yang diinvestasikan dalam SBN/hiliriasi/renewable energy.

 

Capaian Kinerja Sementara

Meninjau hasil publikasi DJP bertajuk PPS dalam angka per Senin (14/02) pukul 08.00 WIB, 12.934 wajib pajak telah memanfaatkan fasilitas pengampunan pajak ini. Hal ini dibarengi dengan telah dikumpulkannya 14.317 surat keterangan dari wajib pajak.

Sementara itu, Rp1,44 triliun dari setoran PPh telah masuk ke rekening kas negara serta telah mendapat pengungkapan harta bersih senilai Rp13,68 triliun.

Dari kacamata lain, program PPS telah berhasil mencatat deklarasi dalam negeri dan komitmen repatriasi sebesar Rp11,9 triliun serta deklarasi luar negeri sebesar Rp885,26 miliar. Dari angka tersebut, sebesar Rp894,3 miliar akan diinvestasikan ke instrumen surat berharga negara (SBN).

Jika kembali menengok kebelakang dengan mengingat kembali tax amnesty, capaian sementara ini secara rata rata bahkan belum mencapai angka 5%-nya.  Sebelumnya DJP mampu mencatatkan pengungkapan harta hingga sebesar Rp4.854,63 triliun dari 956.793 peserta tax amnesty.

Benar memang, tidak adil untuk membandingkan kedua program ini secara langsung mengingat target dan tujuan masing-masing program yang berbeda. Namun setidaknya, hal ini dapat dijadikan gambaran untuk mengukur seberapa optimal serapan fasilitas program pengungkapan sukarela yang telah diberikan.

Tidak dapat dimungkiri, kebijakan dengan domain skala besar akan sering menemui jalan terjal dalam meraih target yang ditetapkan. Evaluasi rutin yang dilakukan sering kali mampu menemukan pokok masalah dan ide-ide baru yang sebelumnya mungkin terlewatkan.

Apakah benar sebagian besar target peserta PPS belum mengetahui tentang adanya fasilitas PPS yang yang bisa dimanfaaatkan karena kurang efektifnya sosialisasi atau justru mereka tidak tertarik akan fasilitas keringanan tarif pajak yang diberikan? 

Evaluasi sedini mungkin akan mendorong semakin efisiennya pelaksanaan beleid tersebut mengingat program ini merupakan salah satu pilar pemerintah dalam mendongkrak target penerimaan perpajakan.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.