Oleh: Mukhamad Wisnu Nagoro, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Pajak merupakan salah satu komponen penting dalam perjalanan suatu bangsa. Hampir semua negara yang ada di dunia ini menerapkan suatu aturan maupun skema tentang pengenaan pajak. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Tak terkecuali di Indonesia ini. Sejarah panjang tentang pengenaan pajak di Indonesia telah berlangsung sejak zaman kerajaan, kolonial sampai dengan sekarang. Sehingga sebetulnya masyarakat Indonesia sendiri tidak asing dengan kata "pajak". Namun, karena pengenaan tiap-tiap zaman berbeda dan di era sebelumnya cenderung merugikan masyarakat akhirnya menimbulkan sifat resistance terhadap pajak itu sendiri. Seperti apa pengenaan pajak dari masa ke masa di Indonesia? Berikut ulasan singkatnya.

Era Pra Kemerdekaan (Dari Masa Kerajaan Sampai Penjajahan)

Bangsa Indonesia telah mengenal pungutan sejenis pajak bahkan sebelum dijajah oleh Bangsa Eropa dan Jepang. Masyarakat telah mengenal upeti yaitu pungutan sejenis pajak yang bersifat memaksa. Perbedaannya adalah upeti diberikan kepada raja sebagai persembahan. Karena pada masa itu raja dianggap sebagai wakil tuhan dan apa yang terjadi di masyarakat dianggap dipengaruhi oleh raja.

Meskipun kemudian masyarakat mendapat imbalannya berupa jaminan keamanan dan ketertiban dari raja. Perlu dicatat bahkan pada masa itu beberapa kerajaan seperti Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram mengenal sistem pembebasan pajak. Terutama pajak atas kepemilikan tanah yang biasa disebut tanah perdikan. Biasanya pembebasan tersebut diatur dalam beleid yang dituangkan baik dalam prasasti ataupun dicatat dalam kitab kesusastraan. Ketika masuk era kolonialisasi oleh Belanda dan bangsa Eropa pajak mulai dikenakan.

Dalam catatan sejarah badan otonomi Belanda yaitu VOC memungut pajak diantaranya Pajak Rumah, Pajak Usaha dan Pajak Kepala kepada pedagang Tionghoa dan pedagang asing lainnya. Namun, VOC tidak memungut pajak di wilayah kekuasaanya seperti Batavia, Maluku dan lainnya. Kemudian pada masa Gubernur Jenderal Daendels juga ada pemungutan pajak yaitu memungut pajak dari pintu gerbang (baik orang dan barang) dan pajak penjualan barang di pasar (bazarregten), termasuk pula pungutan pajak terhadap rumah.

Masuk ke era pendudukan Inggris, Gubernur Jenderal Raffles juga dikenal sistem pemungutan pajak yang dikenal dengan landrent stesel yang mana meniru sistem pengenaan pajak di Bengali, India yaitu pengenaan pajak atas sewa tanah masyarakat kepada pemerintah kolonial. Inilah yang menjadi cikal bakal pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pengenaan pajak landrent stesel ini berdasarkan System Rayatwari yaitu pengenaan pajak secara langsung kepada para petani. Dalam hal ini tarif pajak adalah pendapatan rata-rata petani dalam setahun. Kenapa dikenakan kepada petani? Raffles beranggapan bahwa tanah yang dikelola oleh petani merupakan tanah para raja (sovereign) sedangkan para raja dianggap menyewa tanah tersebut kepada pemerintah kolonial. Dalam hal ini Inggris.

Kemudian terdapat juga aturan mengenai pajak penghasilan pada era kolonial. Aturan pajak atas penghasilan dikenakan kepada pribumi maupun orang non-pribumi yang mendapat penghasilan di Hindia Belanda, sebutan Indonesia kala itu. Aturan ini yang menerapkan adalah pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-19. Pajak pendapatan untuk pribumi dikenakan atas kegiatan usahanya seperti perdagangan sehingga dikenal dengan business tax sedangkan untuk orang non-pribumi dikenakan atas paten usaha bidang industri, pertanian, kerajinan tangan, manufaktur dan sejenisnya sehingga disebut tax patent duty. Contoh aturan pengenaanya adalah Ordonantie op de Inkomstenbelasting 1908 dengan tarif pengenaan pajak pendapatan adalah 2% dari pendapatan.

Pada zaman penjajahan Jepang lebih banyak tidak banyak diketahui. Mengingat pada masa itu pemerintah Jepang lebih memfokuskan semua sumber daya untuk biaya perang. Maka, sulit memisahkan mana yang merupakan pajak dengan rampasan pemerintah itu sendiri kepada rakyat. Namun, di masa itu rakyat selain dibebani dengan kewajiban Romusha juga rakyat dibebani dengan membayar pungutan yang dianggap sebagai pajak. Hal ini sangat memberatkan rakyat Indonesia pada waktu itu meskipun hanya berlangsung selama kurang lebih 3,5 tahun.

Begitu lekatnya masyarakat Indonesia dengan pajak sampai dengan sekarang ini. Namun, ada dampak negatif akibat dari pengenaan pajak di era kolonial dan era sebelumnya. Yaitu menjadikan sebagian masyarakat menganggap pajak itu hanya bentuk superioritas penguasa kepada rakyatnya. Karena bukan hanya ada, bahkan hampir semua sektor pemungutan pajak pada masa itu dilakukan dengan cara manual dan tanpa pengawasan. Hal ini menjadi penyebab rawannya penyelewengan pemungutan pajak pada masa itu yang menimbulkan banyak dilema dan meninggalkan kesan negatif hingga saat ini.

Di era selanjutnya ketika Indonesia sudah merdeka pengenaan pajak sudah lebih konservatif dan berkeadilan yang dituangkan dalam berbagai aturan yang sah diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Akan dibahas dalam lanjutan artikel ini.(*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.