Oleh: Mochammad Bayu Tjahono, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Di era digital atau revolusi industri 4.0 saat ini, penggunaan teknologi digital menjadi suatu tuntutan agar suatu usaha tetap mampu bersaing, baik itu perusahaan besar maupun menengah kecil. Beberapa kalangan usahawan telah mengimplementasikan transformasi digital untuk perkembangan usahanya. Dalam teorinya e-marketing didefinisikan sebagai segala upaya untuk memasarkan suatu produk jasa atau barang dengan menggunakan media elektronik atau internet. Sekarang penggunaan e-marketing semakin masif saja, tidak hanya perusahaan yang profit tetapi beberapa perusahaan nonprofit juga menggunakan e-marketing untuk berbagai tujuan.

Perusahaan atau kantor yang menggunakan media elektronik pada dasarnya adalah untuk memberikan fasilitas yang memudahkan penggunaan mengakses sesuatu yang ditawarkan. Sesuatu itu atau informasi tersebut bertujuan untuk menarik seseorang membaca dan tergerak untuk melakukan sesuatu. Apabila hal tersebut berupa barang atau jasa maka diharapkan khalayak ramai dapat tergerak untuk memesannya. Sedangkan untuk kantor pemerintahan, penggunaan media elektronik juga bertujuan untuk memasarkan produk layanannya, sehingga masyarakat mudah untuk mengaksesnya. Selain kemudahan dalam hal mengakses, peningkatan citra positif juga menjadi tujuan dari kantor pemerintahan tersebut.

Selain TNI AU yang terkenal dengan media sosialnya yang bagus dan mengena bagi warganet (sebutan bagi orang yang aktif mengakses internet), media sosial yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga tak kalah diminati. Selain informasi mengenai layanan perpajakan, media sosial juga digunakan untuk meningkatkan citra DJP.

Selain itu ada beberapa perusahaan plat merah juga melakukan transformasi digital, antara lain BPJS dan Pegadaian. BPJS memakai digitalisasi untuk melakukan pengendalian dalam rasio klaim, di mana di tahun pertama premi hanya Rp.80 triliun sedangkan klaim mencapai Rp.90 triliun. Besarnya klaim ini menjadi masalah di BPJS, untuk itu perlu pengendalian dalam klaim. Selain itu pegadaian juga merasakan manfaat digitalisasi yaitu bagaimana cara memberikan kemudahan kepada konsumen untuk bertransaksi dengan pegadaian dengan digital, tidak perlu datang ke pegadaian. Alasan pegadaian adalah untuk menyasar konsumen generasi muda.

Di era revolusi industri, kemudahan dalam melaporkan dan membayar pajak juga menjadi tantangan tersendiri bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk memenuhinya. Beberapa fasilitas sudah diterbitkan, mulai dari e-filing untuk SPT Tahunan, e-billing, pelaporan SPT masa secara elektronik, dan konsultasi perpajakan juga bisa dilakukan secara elektronik. Semua ini dilakukan untuk memberikan kemudahan bagi wajib pajak untuk membayar dan melaporkan kewajiban perpajakannya.

Kemudahan yang dibuat merupakan upaya dari DJP untuk melakukan transformasi digital, transformasi ini selain bentuk pelayanan juga merupakan upaya peningkatan citra. Bila selama ini wajib pajak banyak mengeluhkan kesulitan dalam membayar dan melaporkan kewajiban perpajakannya maka diharapkan hal tersebut akan terkikis. Kritik terhadap DJP tentang kesulitan dalam membayar dan dipersulit dalam melaporkan, membuat pihak DJP melakukan mitigasi, dari hasil mitigasi maka diputuskan transformasi pelaporan ke era elektronik menjadi hal yang penting.

Direktorat Jenderal Pajak saat ini sudah menyediakan hampir semua laporan secara elektronik. Hanya ada 2 (dua) pelaporan yang masih belum yaitu PPh yang bersifat final. Ada beberapa juga yang masih dalam tahap uji coba dalam pelaporannya. Namun apapun itu tujuan utama dari ini semua adalah untuk transformasi menjadi lebih baik, lebih mudah, lebih dekat dengan wajib pajak namun tidak mengurangi isi dan makna dari laporan itu sendiri.

Lalu apa indikator keberhasilan DJP dalam transformasi e-report atau pelaporan secara elektronik? Ada 2 (dua) indikator yang bisa menjadi acuan yaitu indikator proses dan indikator hasil. Indikator proses adalah makin mudahnya wajib pajak dalam melaporkan SPT-nya, sedangkan indikator hasil adalah makin banyaknya wajib pajak yang menggunakan pelaporan secara elektronik. Setiap tahunnya, makin meningkat wajib pajak yang menggunakan media ini. Hal ini mengurangi jumlah wajib pajak yang lapor secara manual di kantor pelayanan pajak sehingga antrian pelaporan tidak menjadi panjang. Bahkan di beberapa Kantor Pelayanan Pajak sudah mulai sepi wajib pajak yang lapor secara manual, baik SPT Tahunan maupun SPT Masa.

Tahun 2017 wajib pajak yang menggunakan e-filing dalam melaporkan SPT Tahunan adalah 4,8 juta sedangkan di tahun 2018 mencapai 5,7 juta, dengan pertumbuhan hampir mencapai 20%. Pertumbuhan ini selain promosi gencar yang dilakukan DJP, dikarenakan juga sudah mulai bergesernya kebiasaan wajib pajak dalam melaporkan SPT. Promosi melalui media sosial, tutorial cara menggunakan e-filing, serta aplikasi yang mudah digunakan turut membantu dalam marketing produk e-filing DJP. Di tahun 2018 ini juga keluhan wajib pajak akan antrean dalam menyampaikan SPT Tahunan sudah tidak ada, hanya dalam aplikasi masih sering error. Hal ini tidak lepas dari kebiasaan wajib pajak yang masih suka melaporkan kewajibannya di akhir episode.

Membuat nyata berbagai kemudahan dalam pembayaran dan pelaporan untuk membangun negeri bisa menjadi semangat DJP untuk terus berinovasi. Generasi milenial sebagai calon pembayar pajak masa depan menjadi target dari inovasi ini. Jadi e-marketing bukan hanya domain perusahaan saja, kantor pemerintah juga harus memasarkan produknya, tentunya produk yang sesuai dengan jamannya. Perubahan itu adalah sesuatu yang pasti terjadi, tinggal bagaimana kita menyikapinya. Sesuatu yang baik hendaknya terus dikembangkan. Lewat transformasi digital, DJP berharap dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam membayar dan melaporkan kewajibannya. (*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja.